Suasana kembali riuh setelah apa yang Afham ucapkan, orang-orang dari pihak keluarga Afham sampai keheranan karena bagi mereka yang notabene nya tak luput dari ajaran agama merasa tabu akan hal itu.
"Alhamdulillah Pak Edward, Nak Vania masih di berikan keselamatan." Pak Ansell ikut kaget, dia jadi merasa bersalah karena telah marah besar pada putranya itu, semalam Afham tak menceritakan kronologi nya sampai sejelas itu.
"Iya, Pak Ansell, saya benar-benar berterima kasih kala itu Nak Afham mau menolongnya." Suara Edward sampai melemas, dia bisa membayangkan bagaimana perasaan putrinya. Sungguh dia benar-benar ayah yang tak becus sampai tak bisa menjaga keselamatan putrinya sendiri.
Perbincangan terus berlanjut, tekanan yang Vania rasakan kini perlahan memudar, rasa aman dan tenang kini mulai memenuhi hatinya membuat dia perlahan bisa sedikit membuka hatinya untuk orang-orang yang dia anggap begitu asing.
Di tatapnya kini sosok Afham yang sedang fokus dengan ponselnya, Vania kini sampai berkali-kali bertanya benarkah ini suaminya. Bak seperti mimpi, dia sampai merasa antara percaya dan tidak. "Maaf," panggilnya lirih membuat lelaki itu langsung menoleh ke arah nya. "Bisa kita bicara?" tanyanya ragu. Afham terlihat begitu serius saat memandang ponsel nya tapi dia ingin meninggalkan ruangan ini dan hanya suaminya itu yang bisa membantunya.
"Boleh." Seulas senyum Afham perlihatkan, baginya saat Vania sendiri yang berinisiatif mengajak nya bicara itu adalah sebuah kemajuan, dia pun langsung menyimpan ponsel nya dan perlahan berdiri, "Mari, Dek!" ajaknya sambil mengulurkan tangan untuk membantu istrinya itu berdiri.
Vania yang tadinya hendak berdiri sendiri sampai kaget saat uluran tangan itu di depannya. Walau ragu, dia perlahan menerima uluran tangan itu, dan setelah dia berdiri pun dia begitu kaget karena suaminya itu tidak melepaskan genggamannya, malah meminta dia mengikutinya.
Entah akan ke mana, Vania hanya mengikuti saja. Suaminya itu terus berjalan menuntunnya keluar jauh dari ruangan tadi bahkan kini melewati sebuah dapur di mana Ummi Aisyah, Bunda Alika dan Azzura terlihat sibuk dengan pekerjaannya.
"Ummi, kita izin kebelakang dulu." Afham bersuara saat melewati mereka, bahkan mengangguk pelan yang selalu menjadi ciri khas sopan santunnya.
Vania yang tengah berada di belakang Afham hanya bisa melihat, memperhatikan tutur kata dan sikap sang suami yang begitu beradab, dia menjadi malu, haruskah dia juga menyapa orang-orang yang di lewatinya terlebih saat pandanganya dengan Ummi Aisyah saling berpapasan. "Permisi, Ummi." Akh, entahlah, rasanya dengan sendirinya bibirnya itu berbicara, bahkan kepalanya pun mengangguk pelan mengikuti apa yang di lakukan suaminya.
"Iya, silahkan." Ummi Aisyah tersenyum senang, ikut bahagia melihat mereka yang perlahan bisa membuka diri dan belajar mengenal satu sama lain.
"Ki-kita di mana?" Vania sampai terbata-bata, matanya tak henti mengitari keadaan sekitar. Jujur ini merupakan pemandangan yang baru untuk nya. Sebuah mesjid terlihat begitu besar dan megah berdiri paling tengah, di sekelilingnya begitu banyak bangunan tiga lantai bak seperti pengawal yang berdiri tegak di samping kiri kanan mesjid itu.
Afham sampai tersenyum kecil melihat ekspresi wajah Vania, iya dia tahu keindahan sebuah pesantren tidak bisa di nikmati setiap orang karena hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya. "Beginilah keadaan Pesantren Dek, semua orang akan berkumpul di masjid itu untuk melakukan ibadah sholat, dan bangunan di samping nya merupakan kamar asrama santri putra dan di sini lain nya lagi asrama kamar santai putri."
"Oh." Vania hanya bisa melongo detik selanjutnya dia sadar kalau suaminya itu sudah menuntunnya sampai ke sebuah bangunan kecil di belakang rumah tadi. Seperti sebuah kamar kosan tapi di bangunan itu hanya terdapat dua pintu. "Ini?" ucapnya penuh tanya, terlebih dia kaget karena suaminya itu terlihat sedang membuka kunci salah satu pintu itu.
"Masuklah, adek bisa beristirahat di dalam. Ini adalah kamar peristirahatan ku jika sedang di pesantren. Di sini, mungkin akan lebih nyaman." Afham terlebih dahulu masuk, dan saat itu lah genggamannya terlepas, dia harus memeriksa keadaan di dalam, takut dia lupa membereskan nya.
"Peristirahatan?" Vania kaget, jadi maksudnya pesantren bukan tempat tinggal lelaki ini, "Jadi rumah anda tidak di sini?" tanyanya ragu. Yang membuat dia lebih ragu dia tak tahu harus memanggil lelaki ini seperti apa, karena meski mereka berstatus suami istri mereka tetap orang asing yang tak saling mengenal.
"Tidak, Dek. Aku, Ummi dan Abie memang pengurus di pesantren ini, tapi kita tidak tinggal di sini. Paman lah yang tinggal di sini."
Vania masih berdiri mematung melihat keadaan di dalam, walau ruangan ini terbilang kecil tapi terlihat begitu nyaman. Ada sebuah ranjang kecil, sebuah sofa, lemari kecil, bahkan ada sebuah meja di mana berbagai barang terdapat di sana, dan yang paling menarik perhatian nya, di samping buku buku yang entah itu buku apa karena dia baru melihatnya, ada sebuah laptop yang sama-sama bertengger di sana, dari merek nya jelas itu bukan laptop biasa saja, laptop sekelas itu biasanya di gunakan orang-orang pembisnis sekelas Ayahnya.
"Dek, duduklah. Aku mau berganti pakaian dulu."
"Iya." Vania benar-benar duduk, masih dengan memperhatikan keadaan isi kamar ini, bahkan dia tanpa sadar terus memperhatikan Afham, lelaki itu bergerak perlahan mengambil sebuah baju dari lemari kecil itu dan langsung membuka pintu di sudut ruangan itu. "Oh, jadi itu kamar mandi." gumamnya pelan, terjawab sudah rasa penasarannya, dia tadi sempat bertanya-tanya apa di balik pintu itu.
Afham kembali, dia langsung menghampiri Vania karena tadi istri itu ingin bicara padanya. "Boleh aku duduk di sini?" ucapnya minta izin. Sebenarnya walau tak demikian pun tak apa, Vania sudah menjadi istrinya bahkan ruangan itu pun milik nya, hanya saja dia takut Vania akan semakin menutup diri kalau dia bertingkah seenaknya.
"Iya," Vania memberi izin setelah dia menggeser tubuhnya, meski ukuran sofa itu cukup kecil, dia tak keberatan membagi tempat duduk bersama. Melihat di sana tidak ada sofa lagi, untuk di duduki.
"Bicaralah! Bukannya ada yang ingin adek bicarakan."
Vania sesaat terdiam, karena jarak mereka cukup dekat dia baru sadar kalau Afham ternyata tak seperti seorang santri pada umumnya, polesan rambu berwarna pirang itu membuat lelaki ini terlihat seperti lelaki biasa pada umumnya. "Emm, sejak awal Anda pasti menyadari adanya hal mengganjal atas kejadian semalam, tapi kenapa tak menjelaskan semuanya dan lebih memilih jalan ini. Bukannya ini begitu rumit dan merugikan. Aku bukan orang baik, anda pasti tidak mau memiliki istri seperti ku."
Afham tersenyum, cara bicara Vania jelas terdengar begitu kaku dan ragu, sepertinya sebelum mereka melanjutkan bicara dia harus menghilangkan rasa canggung itu. "Dek." panggilnya agar gadis itu menatapnya.
"Iya." Vania sampai reflek menoleh, meski panggilan itu pertama kali dia dengar, dan hanya Afham yang memanggil nya seperti itu, dia begitu nyaman dengan panggilan itu. "Apa?" tanyanya karena lelaki itu hanya menatap nya tanpa bicara.
"Apa adek, akan terus memanggilku dengan panggilan 'anda'?" tanyanya dengan seulas senyum, cobalah mengakrabkan diri dengan panggilan yang lebih nyaman, agar hubungan mereka bisa lebih akrab.
"Maaf." Vania sampai kembali menunduk, antara malu dan canggung, sedari tadi dia juga sadar akan hal itu tapi tak tahu harus memanggil nya seperti apa. Saat bersama kekasihnya dia selalu memanggil Alvero dengan namanya tapi sekarang Afham berbeda, lelaki itu jelas lebih berwibawa bahkan umurnya sepertinya jauh lebih tua dari nya. "Saya bingung harus memanggil nya seperti apa."
Afham lagi-lagi tersenyum, rasa berontak Vania kini mulai memudar, jelas sekarang sedikit berubah dari saat pertama kalinya berbicara dengan nya. "Sebelumnya berapa umur, Adek." tanyanya memastikan. Dia harus tahu banyak dulu tentang istrinya ini.
"Aku, dua puluh dua tahun."
"Oh, sepertinya Adek seumuran dengan Khumaira."
Vania kini kembali menatap suaminya siapa lagi nama itu, sejak tadi dia baru mendengar nya, "Siapa Khumaira?" tanyanya penasaran. Kenapa saat mengucapkan nama itu raut wajah Afham terlihat berbeda.
"Dia adikku, jika adek memang seumuran dengan nya, Adek bisa menggunakan kata Kak ataupun Abang seperti Azzura dan Khumaira."
"Lantas, di mana Khumaira sekarang?" Vania kembali bertanya, kenapa semakin lama berbincang dengan lelaki ini semakin besar rasa penasarannya nya. Terlebih sedari tadi saat dia terbangun sampai sekarang dia tak melihat wanita muda lainnya selain Azzura.
"Khumaira sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota bersama Azzam yang merupakan kakak kembar Azzura. Mereka menjadi utusan dari pesantren membimbing para santri yang sedang Tahfiz Qur'an."
"Oh," Vania lagi-lagi di buat melongo, rupanya keluarga besar Pesantren ini memiliki putra dan putri yang menakjubkan. Masih terkagum kagum karena tahu ternyata Azzura seorang calon Dokter, dan kini tambah kagum lagi karena masih ada anggota keluarga yang lain dan jelas pasti mereka sosok yang baik dan berprestasi. Hanya yang masih membuat dia penasaran, seperti apa sebenarnya sosok suaminya ini.
Dari auranya memang terlihat berwibawa, tutur katanya terdengar begitu sopan, kata-katanya selalu menenangkan, tapi saat berhadapan dengan orang yang menurutnya mengganggu dan seolah sedang memojokkan nya lelaki ini menjadi menakutkan, seperti saat tadi sedang berhadapan dengan bibinya. Ekspresi dan kata-kata memang terdengar biasa saja tapi jelas itu begitu mengintimidasi. Terlebih penampilan nya, bak seperti bunglon yang bisa menyesuaikan dengan keadaan, tadi begitu terlihat rapi dengan setelan baju Koko dan pecin nya, sekarang terlihat lebih santai dengan kemeja yang di kenakan nya, memang anak Milenial pada umumnya. "Tapi samar-samar semalam aku ingat dia menggunakan setelan jas."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Moh Yasin
hahhh bang afham bisa berubah ubah kayak bunglon vania jgn kaget km 😂
2024-08-14
0
Jeny Juwan Alfa
knp sepi ya pdhal seru
2024-02-19
2
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
Thourrrt akuhhh syukak X cerita mu 🤭🤭
2023-12-29
1