Seravina sudah keluar dari rumah sakit bersama Raven dan kedua putra mereka. Raven sudah menyuruh supir Seravina untuk pulang duluan, karena dia yang akan mengantar Seravina dan kedua putranya pulang. Kedua putra mereka sejak tadi memilih diam karena keberadaan Raven. Mereka sepertinya merajuk pada pria itu.
Seravina bisa merasakan suasana yang begitu kaku. Leonard dan King, mereka berdua duduk di sisi kanan dan kiri Seravina, tapi keduanya kompak lebih memilih menatap jalanan ketimbang mengajak Seravina bicara.
Seravina menghela napas panjang, Leonard dan King langsung menoleh menatap wanita itu, begitu juga dengan Raven. Raven sesekali melirik Seravina dari spion.
"Ada apa, Bu? Apa kau merasakan tidak nyaman di perutmu," tanya King cemas. Seravina tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya.
"Ibu baik-baik saja. Hanya saja ibu melihat kalian sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dari ibu. Apa ibu boleh tahu?"
King dan Leonard langsung menegang. Tidak mungkin kan mereka menceritakan masalah dengan neneknya? Mereka tidak mau membuat ibunya sedih.
"Kami ... tidak ada apa-apa, Bu. Kami hanya mengantuk." King meringis, menyembunyikan kecemasannya.
"Baiklah, mungkin kalian masih belum mau menceritakan masalah kalian." Seravina langsung mengalihkan pandangannya dari King. Saat dia melirik spion, tanpa sengaja netranya dan Raven bertabrakan. Raven pura-pura tidak memperhatikan Seravina dan kembali fokus pada jalanan.
Setibanya mereka di rumah, Raven hanya menurunkan Seravina, Leonard dan King. Setelah itu dia pergi lagi. Raven hanya mengatakan akan pergi bertemu dengan temannya.
Seravina tidak ambil pusing, dia membebaskan Raven pergi kemana pun, toh mereka juga tidak memiliki ikatan apapun selain dengan adanya kedua anak mereka.
Seravina menggandeng tangan Leonard dan King. Kedua bocah itu sama sekali tidak keberatan diperlakukan seperti anak kecil oleh ibunya.
"Kalian segera cuci tangan dan berganti baju, lalu beristirahat. Ada hal yang harus ibu urus sebentar. Jika kalian perlu sesuatu, kalian bisa mencari ibu di ruang kerja."
"Baiklah, Ibu."
Leonard dan King masuk ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, keduanya tidak lagi memasang wajah tenang seperti tadi. Kesedihan jelas terlihat dari wajah mereka.
"Bagaimana ini, Leon?"
"Apanya yang bagaimana?" tanya Leonard sembari berjalan ke kamar mandi.
"Apakah nenek jadi semakin membenci ibu karena perbuatan kita?"
"Aku juga tidak tahu. Nanti saja kita pikirkan masalah ini. Aku tidak mau jika ibu sampai tahu, jika kita bertengkar dengan nenek karena membela ibu."
King mengangguk dan menyusul Leonard masuk ke kamar mandi. Seravina yang ada di ruang kerjanya menatap layar ponselnya dengan wajah tertegun.
Tanpa sepengetahuan King dan Leonard, sebenarnya di kamar Seravina ada beberapa kamera CCTV tersembunyi dan hanya dia yang bisa mengaksesnya.
Air mata Seravina jatuh bagai hujan meteor yang tak terbendung. Hatinya sakit mendengar ucapan Leonard. Dia sakit karena kedua putranya mengkhawatirkan perasaannya. Padahal selama ini dia tidak pernah merawat mereka berdua.
Betapa mulianya hati kedua bocah itu. Mereka sama sekali tidak membenci dirinya. Namun, bukannya mengurangi perasaan bersalahnya, Seravina justru merasa semakin bersalah pada mereka.
Seravina memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dia lupa jika dokter sudah memperingatkannya untuk selalu berhati-hati.
Mata Seravina terpejam. Ponselnya masih menampilkan pergerakan di kamarnya. Seravina tidak tahu, jika salah satu dari putranya masuk ke ruang kerjanya.
"Bu!"
King mendorong pintu ruang kerja Seravina. Dia terpaksa berbuat tidak sopan karena sejak tadi dia sudah memanggil ibunya, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. King melihat Seravina terpejam di kursi. Bocah kecil itu mendekati ibunya dengan langkah kaki perlahan.
"Bu." King mencoba memanggil lagu ibunya, akan tetapi tidak ada pergerakan. King memandang ibunya dan melihat ada jejak air mata di wajah sang ibu. King sangat terkejut.
Dia berniat membangunkan ibunya. Akan tetapi matanya tidak sengaja menatap ponsel ibunya yang ada di atas meja kerjanya. Mata King seketika melebar.
"I_ini." King tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
King segera keluar dari ruang kerja Seravina. Namun, meski begitu dia tetap berjalan dengan langkah yang sangat pelan dan hati-hati.
"Leon, gawat!" King masuk ke dalam kamar dan buru-buru menguncinya. Dia mengajak Leonard masuk ke kamar mandi.
"Ada apa, kenapa menarik ku ke sini?" tanya Leonard keheranan.
"Ini gawat. Ibu memasang kamera CCTV di kamar ini. Apa itu artinya ibu melihat kita bicara soal tadi?"
King mondar mandir dengan cemas seperti orang dewasa. Leonard juga langsung melotot saat mendengar ucapan King.
"Jadi maksudmu ibu tahu apa yang kita bicarakan tadi?"
"Aku rasa begitu. Tadi aku masuk ke ruang kerja ibu. Aku melihat dia memejamkan matanya, tapi aku bisa melihat jika ibu habis menangis karena wajahnya terlihat sembab."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Leonard juga ikut mondar mandir seperti kembarannya.
Di lain tempat, Raven segera menemui Gallen sahabatnya. Mereka janji bertemu di sebuah lounge n kafe yang ada di daerah yang dekat dengan kediaman Seravina.
"Bagaimana?" tanya Raven begitu dia duduk di sebelah sahabatnya itu.
"Kenapa buru-buru sekali?" keluh Gallen kesal. Raven mendengus dan lalu memesan minuman pada pelayan.
"Kenapa dengan wajah kusutmu itu?" tanya Gallen sembari menggoyangkan gelas whiskey-nya.
"King dan Leonard tadi ribut dengan ibuku?"
"Bukankah itu sudah biasa?" tanya Gallen heran.
"Kali ini Seravina yang dibahas. Ibuku pikir mereka menjadi semakin berani karena Seravina yang mengajari mereka."
"Kenapa tidak pertemukan saja ibumu dengan Seravina?"
"Ibuku tidak mau."
Raven menghela napas panjang. Saat pelayan meletakkan pesanannya, Raven sejenak terdiam dan mengamati gerak gerik pelayan itu.
"Ada apa?" tanya Gallen begitu pelayan tadi pergi.
"Pelayan itu mencurigakan."
"Memang kenapa?"
"Entahlah, aku merasa dia sejak tadi terus mengawasiku."
"Aku akan menyuruh orang untuk memantau gerak geriknya. Percaya saja padaku," ujar Gallen.
Raven mengangguk saja mendengar ucapan Gallen. Sebenarnya dia bisa saja langsung mengeksekusi pelayan itu, hanya saja dia tidak bisa bertindak gegabah sekarang.
Raven dan Gallen membicarakan beberapa urusan bisnis dan juga perihal Daisuke. Menurut laporan dari anak buahnya dan anak buah Gallen, Daisuke untuk saat ini sudah kembali ke negaranya.
"Aku harus pulang."
"Baiklah, sepertinya memang sekarang kau tidak punya waktu untukku," ujar Gallen memasang wajah merajuk. Raven bukannya terbujuk malah memandang Gallen dengan tatapan jijik.
"Kau sangat menjijikkan."
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒑𝒂𝒔𝒕𝒊 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒖𝒓𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒉𝒂𝒕
2024-10-02
0
Femmy Femmy
🤣🤣🤣🤣
2024-07-24
1
Asih Ningsih
haaaah
2024-04-05
1