KTMC. CEMBURU

Roy menyusul Dina ke atap.

"Apa yang kamu lakukan disini?"

"Jangan di ganggu!"

Roy tetap melangkah maju kedepan.

"Apa kamu menangis?"

"Aku Dina Mariana, seorang Dina Mariana tidak akan pernah menangis."

"Ayo kita kembali kekelas. Jam pelajaran selanjutnya akan segera di mulai. Setelah pulang dari sekolah, aku akan traktir kamu jalan - jalan."

Dina hanya mengangguk mengiyakan.

"Senyum dong, jangan cemberut lagi! Sebelum kita kembali kekelas, cuci dulu muka jelek mu itu." ucap Roy sembari menggandeng tangan Dina. Mereka pun berjalan menuruni anak tangga satu persatu.

Cakra dan teman sebangkunya sedang ada dikeran air sekolah, mereka sedang mengobrol saat Dina dan Roy datang untuk mencuci muka. Dina menyadari hal itu dan mulai membicarakan mengenai pelajaran hari ini yang cukup mudah. Lena kemudian bertanya bagaimana menurut Dina mengenai pelajaran hari ini. Dina kemudian mengatakan pada Lena kalau pelajaran hari ini tidak terlalu rumit. Ia kemudian meninggalkan Cakra dan Lena yang melongo.

Jam pelajaran selanjutnya. Dina di marahi gurunya di depan teman - teman kelasnya untuk yang kesekian kalinya.

"Dina Mariana. Jika kamu seperti ini terus, nilai kamu dari hari ke hari bukannya meningkat malah semakin menurun. Lama - lama jika kamu seperti ini terus bisa jadi kamu jadi siswi dengan nilai paling rendah di kelas ini."

Tiba - tiba bel istirahat berbunyi.

Dina merasa sedih sekali, karena ia dimarahi dikelas, dihadapan teman-temannya terlebih lagi ada Cakra disana. Setelah guru keluar, Dina bahkan masih membatu di kursinya, berdiri menatap punggung Cakra.

Roy mencoba menghibur Dina dengan mengatakan kalau ia dan Dina rankingnya tidak beda jauh, ia bahkan mengatakan kalau ia dan Dina bisa membentuk sebuah geng bernama Dragon Brother Sister dan bla bla bla.

Tapi Dina tidak mendengarkan, ia cemberut sambil menatap punggung Cakra.

Lena kemudian mendekati Cakra untuk belajar mengenai grammar dan Cakra setuju mengajarinya. Dina kesal dan bertanya pada Roy, "Menurut mu wajah siapa yang lebih kecil, dia atau Aku?"

Roy tidak mengerti maksud pertanyaan Dina, "Maksudnya?"

"Aku mengerti. Wajah Lena lebih kecil dari pada kamu."

Dina pun mendesah mendengar jawaban sahabatnya itu.

Sembari memegangi wajahnya, "Apa iya wajah ku sangat besar."

Dina meninggalkan kelas. Roy mengikutinya. Dina tidak sadar kalau sejak tadi sebenarnya Cakra memperhatikan pembicaraan mereka berdua, ia bahkan setuju mengajari teman sekelasnya itu setelah ia sedikit melirik ke arah Dina.

Mereka berjalan kearah parkiran. Hari ini Roy memakai motor kesayangan kesekolah.

Roy melempar sebuah helm kearah Dina, Dina dengan sigap menangkap nya.

"Ayo jalan - jalan!"

🌟🌟🌟

Diperjalanan.

Dina melingkar kan tangannya ke perut Roy. Setelah berkendara cukup jauh, mereka pun singgah makan di pinggir jalan. Mereka duduk di meja paling depan. Makanan yang mereka pesan kini semuanya sudah terhidang kan di atas meja. Mereka makan sembari bercanda.

Dina menyuap Roy, "Makan!"

"Makanannya sangat enak."

Tiba - tiba turun hujan.

"Maaf ya, aku nggak tau kalau hujan bakalan turun." ucap Roy menyesali nya.

"Kamu nggak apa - apa?"

"Aku nggak apa - apa." ucap Dina. Tapi tiba - tiba Dina bersin - bersin.

"Kamu meriang?"

"Hidungku hanya sedikit gatal saja."

Tiba - tiba kepala Dina terasa pusing dan akhirnya terjatuh. Sebelum benar - benar kehilangan kesadaran, Dina merasakan seseorang menangkap tubuhnya dan memanggil - manggil namanya. setelah itu, semua menjadi gelap. Roy panik, ia pun segera menepuk - nepuk pipi Dina yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri.

"Dina, Dina bangun!"

Roy pun segera membawa Dina kerumahnya.

Di apartemen Roy.

Roy berusaha menyadarkan Dina dengan cara menepuk - nepuk pipi nya dan memberi nya kayu putih. Tak lama kemudian, perlahan Dina membuka matanya.

"Dina, kamu sudah sadar?" tanya Roy.

Dina mencoba bangkit.

"Jangan bangun dulu! Kamu masih lemas." ujar Roy.

Dina mengamati setiap sudut ruangan.

"Aku kenapa Roy?" tanya Dina.

"Kamu tadi pingsan." Roy menjelaskan.

"Aku Dina Mariana nggak akan berjuang lagi. Emangnya dia siapa? Aku lupa."

Terngiang - ngiang di benak Dina kejadian kemarin.

"Aku tidak mungkin menyukai mu. Aku belajar buat masuk kuliah. Jadi orang yang berguna."

Dina mencoba bangkit lagi dengan di bantu Roy.

"Terimakasih atas bantuannya."

"Sama - sama. Apa perlu aku antar kerumah sakit?" tanya Roy.

"Nggak perlu. Ini kan cuman flu biasa. Kamu lupa kalau aku manusia terkuat yang ada di muka bumi. Istirahat sebentar juga pasti langsung sembuh."

Dina mencoba bangkit lagi.

"Kamu mau apa? Biar aku ambilkan! Kamu istirahat saja dulu."

"Tolong ambilkan tas dan ponsel ku!"

"Baiklah."

"Aku mau pulang."

"Aku antar kamu pulang."

"Nggak usah. Aku sudah memesan taksi, taksinya nggak lama lagi datang."

"Aku antar kamu kebawah."

"Iya. Ayo!"

Beriringan mereka melangkah menuju life.

🌟🌟🌟

Sesampainya di rumah, Dina langsung masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya. Hari ini ia benar - benar merasa lelah. Tak lama kemudian, ia pun tertidur.

Sore harinya, ia terbangun dengan badan yang sedikit segar. Segera ia menuju kamar mandi untuk berendam. cukup lama ia berendam membuat tubuhnya terasa rileks. Setelah merasa lebih dari cukup, ia pun segera keluar. Di sore hari begini, ia ingin menikmati secangkir teh sembari duduk di gazebo dekat kolam renang. Rasanya pasti menyenangkan.

Dina segera turun dari kamarnya dan mendengar suara ribut - ribut di depan.

"Dina!!"

Seseorang memanggil namanya, begitu ia menginjakkan kaki di tangga terakhir. Dina menghentikan langkahnya.

Ternyata yang datang ayah dan ibunya.

"Ibu, Ayah ada apa?"

Tatapan tajam Ayah dan ibu membuat Dina sadar betul kalau ia akan memarahinya. Dina menelan ludah kasar. Cukup dengan melihat tatapan itu, sesaat Dina membayangkan ketika Ayah dan Ibu menyerangnya. Di depan pintu Ayah dan Ibu berdiri tak mengatakan apapun dengan tatapan yang menakutkan. Dina berjalan dengan detak jantung yang tak karuan.

“Tak akan lagi aku nakal ya allah. Tapi tolong luluhkan hati ibu jangan marah padaku hari ini.” Dina berdoa langkahnya.

Ketika Dina sudah tepat di depan Ibumya, ibunya pun berkata, “kurang sore!”.

"Ah, benar dugaanku."

Dina hanya tertunduk.

"Dari mana saja kamu? Sekarang sudah jam 5 sore. Kamu bisa lihat jam tidak? Pasti kamu pergi main lagi? Dan satu lagi tadi ibu gurumu di sekolah menelepon Ibu, katanya jam terakhir kamu bolos lagi ya? Sekarang kamu sudah mulai pintar Berbohong sama orangtua. Awas ibu tak akan mengijinkan kamu main lagi dan awas saja kalau semester ini nilai mu semakin menurun Ibu dan Ayah nggak akan segan - segan mencopot seluruh fasilitas yang kamu dapatkan dari Ayah dan Ibu. Ibu hanya ingin memberikan kamu yang terbaik, bukan maksud untuk mengekang mu.” lanjut ibu panjang lebar dengan nada bicaranya yang mengancam.

Selama ibu berbicara, Dina mulai menangis namun Dina coba menyembunyikan tangisannya.

"Ibu, tadi benar hujan lebat di sana.” jawab Dina pelan, tak berani menatap mata tajamnya sang Ibu.

"Tak ada ceritanya di sana hujan, di sini tidak Dina.” bantah ibunya

"Memang benar Bu.” sanggah Dina.

"Lalu kenapa kamu bolos di jam terakhir?"

Dina berbalik lalu berjalan menuju kamar. Air mata ini tak tertahan lagi, seperti air sungai yang tanggulnya jebol. Setiap pulang sore, memang seperti ini.

“Aku menyesal pulang.” Dina membatin dengan tangisan yang masih menyertai.

Mata Dina benar-benar sembab. Sudah berapa lama Ia menangis hingga azan magrib berkumandang. Ia melangkah terburu-buru, agar Ibu yang sedang di kamar tak melihatnya. Jangankan membuka buku pelajaran, ia terlalu sibuk dengan tangisannya. Setelah shalat magrib, Dina merebahkan badannya dan mengotak-atik benda putih di tangannya. Ia kembali menangis pecah. Kali ini ia benar - benar rapuh.

Ibu membuka pintu. “Din, makan dulu!” Ucap Ibu Zeila.

“Dina tak lapar bu.” jawab Dina cepat dengan nada pelan.

“Tumben Kamu cengeng banget. Ibu dan Ayah hanya khawatir padamu, takut kamu kenapa-kenapa.” gerutu ibu Zeila lalu menutup pintu.

Jawaban Dina salah lagi, kembali lagi mendapat semprotan perkataan dari ibu. Kalah lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Oh tidak, aku hanya mengalah karena dia adalah ibuku."

Ibu Zeila kembali masuk ke kamar putrinya itu, meletakkan sepiring nasi dan minumnya. Dina tak melirik ibunya, tapi dengan suara, Dina tahu apa yang sedang ibunua lakukan. Ibu tak lagi mengeluarkan suara, hanya hening di antara kami. Tapi benar-benar ia kehilangan selera makan, walau bau makanan kesukaannya begitu kuat masuk ke hidung.

Ia mulai menyadari. Ibu tak salah, ia pun rasanya tak salah. hanya saja keadaan yang membuat ibu memarahinya. Tapi ia sadar, betul benar-benar sadar. Rasa sakit di bagian dada, sesak karena tangisan. Ia merasa bersalah dengan apapun yang Ia lakukan pada ibu dari sore hingga malam. Tak ingin lagi ia melakukan hal itu. Ibu tak akan marah bila Ia tak melawannya. Ibu melakukan itu karena khawatir.

Terpopuler

Comments

Muliana

Muliana

ayo dina, patuhi orangtuamu, itu semua demi kebaikanmu loh 💪

2024-01-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!