Keesokan paginya, Laura pergi bekerja seperti biasa. Bedanya, tidak ada semangat dalam dirinya karena pikirannya benar-benar sedang sangat kacau sekarang ini.
“Pagi, Lola,” sapa Laura kepada Lola yang duduk di belakang meja kasir.
“Pagi, Laura. Bagaimana kencanmu dengan Bryan kemarin? Dia sampai meminta izin supaya kau tidak perlu bekerja, loh,” ujar Lola.
Sebagai orang yang mengetahui bagaimana reputasi Bryan, sebetulnya Lola sedikit khawatir dengan Laura. Namun, ada secercah harapan di hatinya kalau Laura bisa meluluhkan hati Bryan yang beku itu.
Laura mengedikkan bahunya. “Tidak ada yang spesial, Lola. Kami hanya menghabiskan waktu di rumahnya. Itu saja,” jawab Laura sambil tersenyum tipis.
Melihat ekspresi Laura, Lola jadi khawatir dengan apa yang terjadi kemarin dengan Laura. Dia takut kalau apa yang dia khawatirkan benar-benar terjadi dan menyakiti Laura.
“Apakah kau baik-baik saja, Laura? Kau terlihat lebih lesu hari ini,” tanya Lola, ingin memastikan.
“Aku baik-baik saja. Aku memang sering seperti ini saat sedang datang bulan,” kilah Laura, mencari alasan paling masuk akal yang bisa dia lakukan. “Kau pasti tahu sendiri, ‘kan, kalau beberapa wanita mengalami nyeri yang sangat parah?” guraunya.
Lola terkekeh. Dia bisa sedikit merasa lega sekarang karena dia pikir penyebab Laura lesu adalah karena sedang datang bulan.
Meskipun Lola bukanlah orang tua atau saudara Laura, wanita paruh baya itu tetap saja peduli dengan Laura. Sebagai seorang bos, dia tidak semerta-merta berhati dingin dan mementingkan kepentingannya sendiri. Dia sangat memerhatikan bagaimana pegawai-pegawai di Secret Garden.
“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan dan langsung hubungi aku saja. Atau kau mungkin ingin hari libur lagi? Aku tidak mau kalau kau sampai pingsan di toko bunga,” ucap Lola.
Laura tersenyum dengan hangat. “Tidak perlu, Lola. Tenang saja, aku tidak akan pingsan, kok. Lagi pula, aku pasti akan lebih memilih untuk berada di sini dan menghabiskan waktu dengan bunga-bunga dari pada sendirian di apartemen,” balas Laura.
“Ya sudah kalau begitu. Kau pergilah ke dalam dan bantu Reyna membuat buket untuk dipajang di tempat display,” perintah Lola.
“Siap, Bos!” balas Laura lalu berjalan masuk.
Reyna tersenyum lebar saat melihat kedatangan Laura.
“Laura, akhirnya kau datang juga. Aku ingin mengangkat telepon ini tapi kalau ibuku tahu, dia pasti akan mengomel karena aku bukannya bekerja malah teleponan,” ucap Reyna.
“Ya sudah, kau angkat dulu saja teleponnya. Ibumu tidak akan tahu,” balas Laura.
Setelah Reyna pergi, Laura kembali termenung. Dia kembali memikirkan tentang masalahnya dengan Bryan. Mungkin, menjauh adalah pilihan terbaik yang bisa dia lakukan.
Seorang pria bertubuh tinggi tegap berdiri menghadap ke arah kaca besar ruang kerjanya. Sejauh mata memandang, dia bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Entah sudah berapa lama dia berdiri di sana sambil sesekali menatap ke arah ponsel yang berada di genggamannya. Dia pun juga tidak tahu dengan pasti.
Pria itu kembali memeriksa ponselnya seolah sedang menunggu seseorang menghubunginya. Karena sebetulnya, dia memang tengah menunggu setidaknya sebuah pesan singkat dari seorang gadis yang beberapa waktu terakhir selalu mengisi pikirannya.
Bryan menempelkan ponsel ke telinga, dengan sabar mendengarkan dering demi dering ponsel yang terdengar. Ia menunggu sahutan dari seberang sana. Namun, lagi dan lagi, yang menyahut adalah suara operator seluler.
“Di mana Laura sebenarnya?” gumam Bryan seiring dia memasukkan ponselnya kembali ke kantung celananya. “Kenapa dia jadi susah sekali dihubungi?”
Dua hari telah berlalu semenjak hari di mana mereka menghabiskan waktu di rumah Bryan. Bryan berkali-kali mencoba untuk menghubungi Laura, namun sayang sekali tidak pernah ada jawaban dari gadis itu.
Bryan merasa gundah. Hal yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya terhadap seorang wanita. Biasanya, kalau teman kencannya tidak dapat dihubungi lagi, Bryan tidak akan memikirkannya sebab dia tahu kalau di luar sana akan ada wanita lain yang mau menjadi teman kencannya. Akan tetapi, entah kenapa hal tersebut tidak berlaku untuk Laura.
Sepertinya Bryan telah melakukan banyak pengecualian untuk Laura. Pertama, membujuk dan merayu gadis itu supaya mau menjadi teman kencan. Kedua, membiarkan gadis itu bermalam di rumahnya. Dan ketiga, merasa gelisah karena gadis itu tidak ada kabar.
“Argh! Aku bisa gila kalau begini caranya,” gerutunya sambil mengusap wajahnya dengan frustrasi.
Pria itu kembali merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Dia lantas menghubungi nomor Secret Garden.
“Halo, dengan Secret Garden di sini. Apakah ada yang bisa kami bantu?” tanya Lola yang mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Lola. Aku Bryan . Aku ingin bertanya apakah Laura ada di Secret Garden saat ini?” tanya Bryan.
“Ya, Laura ada di sini. Dia sedang membuat beberapa buket karena kebetulan dua hari ini sedang banyak pesanan. Ada apa, Bryan?” balas Lola.
“Katakan padanya kalau lima belas menit lagi aku akan menemuinya,” ucap Bryan.
Lola yang tak bisa menolak ucapan Bryan sebab Bryan adalah pelanggan tetap di Secret Garden pun hanya bisa menghela napas dan berkata, “Baik. Nanti akan aku sampaikan,” balasnya.
Bryan yang mendengar kalau Laura berada di Secret Garden bisa bernapas lega. Dan dari cerita Lola tadi, dia menyimpulkan kalau Laura tidak sempat mengabarinya karena dia sedang sibuk dengan pesanan bunga.
Pria itu lantas bergegas pergi meninggalkan kantor menuju ke secret garden. Dia harus segera menemui Laura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments