Ternyata Berjodoh
Acara reuni almamater terasa meriah saat Alina baru saja memasuki aula pertemuan. Tidak ada yang berubah menurutnya, karena memang dirinya tidak begitu peduli dengan perkembangan pergaulan teman-temannya. Itulah sebabnya, selama berada di universitas, Alina hanya memiliki satu sahabat sampai sekarang. Sayangnya, sahabatnya tersebut sedang berhalangan hadir saat ini karena sedang berada di luar kota. Alina merasa tidak perlu menghadiri reuni ini, akan tetapi sang ibu memaksanya untuk hadir agar dapat mencari pasangan. Akhirnya Alina setuju untuk menghadiri acara reuni, daripada harus mendengar ocehan sang ibu mengenai pendamping.
Setelah berbasa-basi dengan beberapa kenalan, Alina memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Akan tetapi belum sampai di kamar mandi, Alina bertemu dengan Ega, kakak tingkat yang pernah menyatakan perasaan kepadanya Bersama seorang perempuan cantik.
“Aku kira kamu sudah menikah dengan ustadz pesantren. Tapi ternyata kamu masih belum laku.” Sindir Ega.
“Siapa dia sayang?” tanya perempuan yang Bersama Ega.
“Bukan siapa-siapa sayang, hanya kenalan yang tidak laku-laku karena merasa dirinya sok suci.” Jawab Ega dengan nada sarkasnya.
Alina hanya diam mendengarkan kedua orang tersebut. Dirinya paling malas meladeni orang-orang seperti mereka.
“Mengapa kamu diam saja Alina? Apa kamu benar-benar tidak menyukai laki-laki?”
“Bukan hak kamu untuk menilai apakah aku menyukai laki-laki atau tidak.” Alina akhirnya menjawab perkataan Ega.
“Yang jadi masalah, apakah ada laki-laki yang mau denganmu? Sedangkan kamu berdekatan dengan laki-laki saja tidak mau.”
“Jika Allah berkehendak, maka tidak ada hal mustahil. Saya permisi dulu.” Alina segera menghindar dari kedua orang tersebut, akan tetapi Ega menghentikannya dengan menarik tangannya. Seketika Alina menyentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Ega.
“Aku belum selesai bicara!” bentak Ega, seketika membuat perempuan yang sedang Bersamanya terkejut.
Tanpa mereka sadari, ada sosok yang memperhatikan mereka sedari tadi.
“Maaf saya merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, jadi saya permisi undur diri.” Jawab Alina dengan nada tenang. Baginya meladeni seseorang seperti Ega tidak perlu sampai menguras emosinya.
“Ada apa ini?” tanya seorang laki-laki bertubuh tegap yang datang menghampiri. Lelaki inilah yang sedari tadi memperhatikan mereka tanpa diketahui.
“Senior, anda datang menghadiri reuni? Hal yang luar biasa.” Sapa Ega yang kemudian berniat menyalami tangan laki-laki tersebut namun tidak dihiraukan. Laki-laki tersebut justru berjalan mendekati Alina.
“Kenapa kamu lama sekali?” tanya laki-laki tersebut seraya menggenggam tangan Alina dan mengetuknya dengan jarinya.
Alina sendiri membatu mendapat perlakuan seperti itu. Dirinya tidak mengenal laki-laki tersebut, jika Ega memanggilnya senior sudah pasti laki-laki ini berada di tingkat yang jauh darinya. Anehnya, ia tidak merasa risih malah merasa nyaman dengan genggaman tangan laki-laki tersebut. Baru kali ini ia merasakan hangat genggaman tangan laki-laki yang bukan mukhrim. Dan ketukan jari laki-laki tersebut seakan mengisyaratkan jika dirinya akan membantu membuat Alina merasa tenang. Alina segera menguasai diri dan menjawab pertanyaan laki-laki tersebut.
“Maaf.” Hanya kata-kata tersebut yang keluar dari mulut Alina.
“Tak apa,mari kita pulang.” Ajak laki-laki tersebut yang ditanggapi anggukan Alina.
“Maaf senior, apakah senior mengenal Alina?” tanya Ega dengan heran. Pasalnya seniornya yang satu ini terkenal tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun dan jarang sekali mengikuti acara berkumpul seperti sekarang ini.
“Ya, apa ada masalah?” tanya balik laki-laki tersebut.
“Tidak, tapi saya hanya heran saja karena Alina bukan seseorang yang dengan mudah menggenggam tangan lawan jenis dan tidak mungkin juga baginya untuk berpacaran.”
“Kamu sepertinya sangat mengenalnya?” tanya laki-laki tersebut dengan seringai licik.
“Tidak senior, hanya tahu beberapa.” Jawab Ega kelabakan. Aura seniornya yang satu ini sangat mendominasi, itu sebabnya ia merasa sungkan di hadapannya sedari dulu.
“Kami bertunangan, apa salahnya kami bergandengan tangan?” kata laki-laki tersebut dengan senyum yang menurut Ega menakutkan. Ega pun segera berpamitan, ia tidak ingin terlibat masalah dengan seniornya yang satu ini.
Setelah kepergian Ega, Alina meminta laki-laki tersebut melepaskan tangannya. Laki-laki tersebut pun melepaskannya dan meminta maaf.
“Maaf, perkenalkan namaku Brian.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangannya.
“Alina.” Jawab Alina dengan menangkupkan kedua tangannya didada. “Terima kasih atas bantuan Kak Brian.”
“Tak apa, tapi jika kamu ingin menjadi tunanganku yang sebenarnya aku juga tidak menolak.” Gurau Brian. Melihat Alina hanya diam tidak memberikan respon, Brian merutuki dirinya sendiri. Selama ini dirinya tidak pernah tertarik dengan lawan jenis karena menurutnya mereka adalah manusia paling merepotkan yang hanya bisa
menghabiskan uang.
“Di mana alamat rumah kamu?” pertanyaan Brian tersebut berhasil mengejutkan Alina.
“Untuk apa kakak menanyakan alamat rumahku?” Tanya Alina balik.
“Tidak ada maksud apa pun, aku hanya ingin mengantarkanmu pulang. Karena aku tadi secara tidak sengaja sudah mengucapkan janji untuk mengantarkanmu pulang.” Jelas Brian sambil memperhatikan raut wajah Alina, takut Alina semakin salah paham terhadap dirinya.
“Tidak perlu repot-repot kak, aku bisa pergi dengan taksi.”
“Tidak repot, aku yang berjanji maka aku yang akan menepatinya.” Alina terlihat berpikir sebentar, kemudian mengiyakan perkataan Brian.
Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan aula pertemuan menuju tempat parkir. Kemalangan memang berada dimana-mana, di tempat parkir mereka kembali bertemu dengan Ega. Bedanya, Ega terlihat menahan amarah melihat Brian dan tidak berani berkomentar saat melihat Brian membukakan pintu untuk Alina.
Mobil Brian meninggalkan tempat parkir dan melaju menembus padatnya lalu lintas di kota malam itu. Akan tetapi Brian tidak langsung mengantarkan Alina ke apartemennya, melainkan singgah di sebuah restoran untuk makan malam. Selama di perjalanan, mereka sepakat untuk makan terlebih dahulu. Karena baik Alina maupun Brian, keduanya belum ada makan selama acara reuni tadi.
“Pesan menu lengkap untuk 2 orang.” Ucap Brian kepada salah satu pramusaji yang menghampirinya. Sambil menunggu pesanan datang, Alina permisi untuk pergi ke kamar mandi sedangkan Brian melakukan panggilan telepon kepada asistennya untuk membatalkan semua jadwalnya malam ini.
Alina Kembali ke tempat duduk bertepatan dengan pesanan mereka yang disajikan di atas meja. Mereka pun mulai makan malam tanpa ada pembicaraan. Selesai makan, mereka langsung menuju apartemen tempat tinggal Alina. Sesampainya di sana, Alina hendak mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil, namun ada panggilan
telepon masuk di ponselnya.
“Assalamualaikum ibu…” Alinan mengangkat panggilan tersebut dan mendengarkan lawan bicaranya yang tidak lain adalah ibunya.
Brian hanya diam memperhatikan Alina dari kaca spionnya, akan tetapi ia merasa ada yang tidak beres karena raut muka Alina berubah menjadi raut khawatir hingga Alina menyudahi sambungan ponselnya.
“Kak, bisa minta tolong antarkan aku ke rumah sakit? Tapi jika kakak sibuk, aku turun di sini saja.”
“Aku belum menjawab pertanyaanmu, mengapa kamu menyimpulkannya seperti itu?” tanya Brian. “Aku tidak sibuk, aku akan mengantarkanmu berikan alamatnya.” Imbuhnya.
Alina mengucapkan terima kasih, kemudian menyebutkan alamat rumah sakit yang dimaksudkan. Brian segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit yang dimaksud Alina. Setelah memarkirkan mobilnya, Brian menawarkan diri untuk menemani Alina masuk ke dalam rumah sakit. Alina tidak menolaknya karena pusat perhatiannya saat ini adalah orang yang berada di rumah sakit, mereka pun berjalan beriringan memasuki Kawasan Unit Gawat Darurat. Setelah bertanya kepada seorang perawat, Alina menuju sebuah brankar di mana adik laki-lakinya terbaring. Brian
pun bertanya kepada salah satu dokter yang ia temui tentang keadaan laki-laki yang menyita perhatian Alina.
Dokter menjelaskan jika laki-laki tersebut merupakan korban tabrak lari setelah pulang dari perpustakaan. Tidak ada luka serius, hanya saja perlu memastikannya dengan melakukan CT-Scan karena korban mengalami benturan dikepala dan belum sadarkan diri. Brian pun menghampiri Alina dan menyampaikan apa yang diberitahukan dokter kepada Alina. Kemudian ada seorang perawat menghampiri mereka mengatakan akan memindahkan pasien ke ruang perawatan dan menyarankan pihak keluarga untuk menyelesaikan administrasi.
Alina meninggalkan Brian untuk pergi ke ruang administrasi, sedangkan Brian duduk dengan tenang di sebelah brankar sambil memperhatikan laki-laki yang ada di hadapannya. Jika diperhatikan secara sekilas ada kemiripan dari wajah laki-laki tersebut dengan Alina, ia menebak jika mereka bersaudara. Sampai akhirnya Alina datang Bersama beberapa perawat yang akan membantu memindahkan pasien ke ruang perawatan.
“Dia adalah adikku.” Kata Alina yang kini tengah duduk di sofa Bersama Brian.
“Ya, kalian mirip.”
“Maaf kak, aku merepotkan kakak.”
“Tak apa, istirahatlah aku akan menjaga kalian.”
“Kakak pulang saja, aku tidak apa-apa sendirian menjaga adikku. Kemungkinan besok pagi ayah dan ibu sudah sampai.”
“Tak baik anak perempuan menunggu sendirian.”
“Tidak baik lagi jika kakak di sini, karena kita bukan mukhrim.”
“Aku tidak akan berbuat macam-macam. Tidurlah, sebentar lagi temanku akan datang membawakan selimut dan beberapa keperluan. Sementara itu, pakai jas ini terlebih dulu.” Brian menyerahkan jasnya, Alina pun menerima jas tersebut tanpa penolakan.
Alina merasakan Lelah di tubuhnya dan kantuknya tidak dapat lagi ditahan, sehingga ia memejamkan matanya. Melihat Alina sudah terlelap, Brian menggelengkan kepalanya. Baru kali ini ia melihat perempuan sepolos Alina yang bisa tertidur di hadapan laki-laki yang baru dikenalnya. Akan tetapi, memang dirinyalah yang menyuruh Alina untuk beristirahat. Brian mengeluarkan ponselnya, dan mulai berselancar di sana. Dirinya tidak dapat tidur karena ada seseorang yang harus ia jaga. Apalagi akan ada kunjungan dokter tengah malam nanti untuk mengecek
keadaan adik Alina.
Tepat pukul 02.00 dini hari, Alina terbangun karena mendengar suara pintu tertutup. Alina memperhatikan sekitar, saat ini tubuhnya telah tertutup selimut. Alina menegakkan tubuhnya, kemudian berdiri ingin ke kamar mandi bertepatan dengan Brian yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Kakak masih di sini?” tanya Alina.
“Apa kamu mau mengusirku?”
“Saya kira kakak sudah pergi karena tidak ada orang tadi.” Jawab Alina sungkan.
“Oh…” jawab Brian singkat, yang kemudian meninggalkan Alina yang masih berdiri di depan kamar mandi.
Melihat Brian berjalan melewatinya, Alina segera masuk ke dalam kamar mandi menyelesaikan urusannya dan keluar dengan keadaan sudah berwudhu. Ia mulai melaksanakan sholat tahajud di sudut ruangan, sedangkan Brian hanya memperhatikan Alina dalam diam. Tak lama kemudian, datang dokter Bersama perawat yang mengecek keadaan adik Alina, dokter menjadwalkan pemeriksaan CT-scan pukul 08.00. Akan ada perawat yang datang untuk menjemput pasien nantinya. Setelah itu dokter pergi meninggalkan ruangan, bertepatan dengan Alina yang telah selesai melaksanakan sholat.
Brian menyampaikan apa yang telah dokter katakan, Alina mengangguk mengerti. Mereka Kembali diam tanpa ada perbincangan dan sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.
Alina meletakkan ponselnya di meja dan berniat untuk berdiri untuk melaksanakan sholat subuh, dilihatnya Brian yang duduk terpejam. Mungkin Brian kelelahan menjaganya, ia pun berinisiatif untuk memasangkan jas yang sempat ia pakai dan dengan pelan berjalan menuju kamar mandi dan melaksanakan kewajibannya.
“Tok.. tok.. tok.. “ Terdengar suara ketukan pintu, Alina berjalan menuju ke arah pintu dan membukanya. Terlihat seorang laki-laki dengan tubuh tinggi berdiri di hadapan.
“Dia temanku” kata Brian yang saat ini sudah berada di belakang Alina. Alina pun mundur memberikan ruang untuk Brian. Melihat Brian berbincang, Alina memilih duduk di sofa dan membuka ponselnya.
“Aku harus pergi, ada penerbangan yang tidak bisa aku lewatkan pagi ini.” Kata Brian yang kini ada di hadapan Alina. Belum sempat Alina menjawab, Brian menyerahkan 2 paperbag kepadanya. Alina dengan bingung menerima paperbag tersebut. Brian yang melihat kebingungan Alina menjelaskan, jika paperbag tersebut berisi pakaian
ganti dan sarapan.
“Terima kasih atas bantuan Kakak. Semoga Allah membalas kebaikan kakak.” Alina kehabisan kata-kata atas perhatian dan sikap Brian kepadanya. “Semoga dilancarkan semua urusan kakak.” Imbuhnya.
“Sama-sama, aku juga berterima kasih kepadamu.” Jawab Brian sambil tersenyum. Alina hendak menanyakan terima kasih tentang apa, tetapi Brian sudah berpamitan terlebih dahulu dan mengucapkan salam, sehingga Alina hanya bisa menjawab salam tersebut dan melihat Brian Bersama dengan temannya menjauh.
Alina masih merasa bingung dengan hal yang dialaminya, dalam hati ada ketidakrelaan untuk berpisah. Baru kali
ini aku merasa dekat dengan seseorang yang baru saja aku kenal, apalagi lawan jenis. Selama ini aku menjauhi lawan jenis karena menurutku belum ada sosok yang membuatku tertarik. Meskipun ibu sudah mendesakku untuk mencari pendamping dan ingin menjodohkanku dengan anak teman baiknya. Aku merasa hidupku yang sekarang ini masih baik-baik saja. "Tapi… perasaan apakah ini?” tanyanya dalam hati.
Akan tetapi, ia menepisnya. Mungkin Allah memberikan bantuan melalui Brian sebagai perantara. Alina mulai melantunkan dzikir sebagai rasa terima kasihnya kepada kuasa Allah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Bilqies
mampir ya Thor, salam kenal...
mampir juga ya di karyaku
terima kasih 🙏/Smile/
2024-04-27
1
IdDesiRswt
semangat nulisnya kak, yu saling mendukung dan belajar
2024-01-26
1
Rinjani Putri
lanjutkan yuk saling mendukung dan sama" belajar ya
2024-01-24
1