Gadis itu langsung tersenyum, "Hum oke, kau harus terus memanggilku seperti itu. Bagiku tidak ada kasta yang lebih tinggi antara pelayan dan majikan." ucapnya sembari mengibaskan rambut.
Eca meringis sekaligus takjub dengan majikan barunya. Karena sama sekali tak menganggap rendah seorang pelayan, karena biasanya pelayan akan selalu ditindas oleh majikan. Seperti teman-teman nya yang lain, apalagi nyonya Ameera terus memerintah dan menghukum para pelayan.
"Eca, apakah nenek lampir itu ada di rumah?."
"Maksud anda, nyonya Ameera!." tanya Eca sambil mengerutkan dahi mendapat pertanyaan itu.
Shasa memutar bola matanya malas, mendengar nama menjijikkan terdengar di telinganya. "Hem siapa lagi."
"Tidak ada nona, nyonya Ameera pergi keluar. Hanya ada tuan Emran di rumah."
"Cih apa kau tuli Eca, aku sudah bilang berbicara denganku tidak usah terlalu formal." gerutu Shasa.
Eca meringis, "Baiklah Shasa aku minta maaf, tapi jika ada tuan besar dan yang lainnya aku akan berbicara layaknya pelayan lainnya."
"Ah sudahlah terserah kau saja."
"Mari temani aku makan, aku sangat lapar." ucap Shasa sembari mengelus perutnya. Eca mengangguk lalu mereka berjalan menuju ruang makan.
"Eca, kau berjalan di samping ku tidak usah di belakang." perintahnya.
"Tapi non.. eh Shasa."
"Tidak ada bantahan Eca." bentak Shasa, ia sangat kesal saat ini. Eca terbelalak lalu ia langsung, berjalan di samping Shasa.
"Astaga nona ini." batin Eca, sepertinya dia harus membiasakan diri terhadap gadis yang berada di sampingnya.
Setelah menuruni lift, Shasa bersama Eca berpapasan dengan Dirga. Keduanya saling menatap sengit, layaknya sudah bermusuhan sedari lama.
"Heh om tua, kenapa menatapku begitu. Terpesona yah liat bidadari baru turun dari kayangan." ucap Shasa mengibaskan rambutnya.
Tentu saja Dirga tercengang, ia melirik penampilan gadis di hadapannya dari atas sampai bawah. Ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah narsis, istri Jaevano.
"Hah, Jaevano pungut dari mana gadis tengil ini." ucapnya membatin.
"Eh om, minimal kedip dong. Jangan terpesona yah, aku sudah punya suami soalnya, suami aku lebih tampan dari om tua. Jenggotnya banyak sekali tuh, di cukur dong om kayak kakek kakek bae!."
Celetuk Shasa. Eca melebarkan matanya, ia sungguh tak percaya gadis itu akan berucap seperti itu
Jangan di tanya bagaimana wajah Dirga saat ini. Pria itu mengeraskan rahangnya, menatap tajam. Baru kali ini ada yang menilai penampilannya, sumpah demi apapun Dirga ingin sekali membanting gadis ini.
Dirga menganggukkan kepalanya pelan, ia menghela nafas pelan menahan emosinya agar tidak meledak.
"Heh, bocah kematian. Jenggot tipis ini menambah kesan tampan dan dewasa. Apakah matamu minus, situ nyadar tidak sudah jelek pendek kurus kerempeng, seenaknya saja mengomentari penampilan." ujar Dirga pedas.
Shasa membulatkan matanya, "Heh enak saja kalau ngomong, dasar om om. Mati saja kau sana aku akan ngelayat dengan suka rela."
Dirga mengepalkan tangannya erat, wajahnya memerah seperti asap yang keluar dari kedua telinganya. Dia sangat kesal dengan Shasa.
"I Hate You penyedap rasa." bentak Dirga, dia langsung memasuki lift, agar emosinya tak membludak dan menyerang gadis itu. Bisa bisanya Dirga langsung headshot jika mencelakai istri kecil Jaevano.
"Argh, aku paling benci dengan mu om tua." pekik Shasa. Eca lagi lagi meringis,
"Sudahlah Shasa mending kamu makan dulu, nanti dulu marah marahnya." ucap Eca, dia sudah memberanikan diri berinteraksi dengan berucap biasa.
Shasa menghentakkan kakinya, gadis itu menggeram. "Cih lihat saja, tunggu pembalasanku. Enak saja dia memanggilku bocah kematian dan apa itu berani sekali dia memanggilku penyedap rasa."
Gerutunya. Ia berjalan seraya terus misuh misuh, Eca yang mendengarnya hanya bisa mengelus dada.
"Ck ck, gadis itu selain narsis dia sangat pandai membuat orang emosi. Kalau bukan istri Jaevano, sudah lama ku cincang kau." gerutu Dirga.
*
"Sayang, kenapa kamu diam saja?." ucap Mauren bergelayut manja kepada Samuel.
"Hem." jawab pria itu, entahlah akhir akhir ini dia lebih banyak diam, seperti hatinya terasa hampa dan kehilangan.
"Ck, kamu kok cuek begitu?, kamu sudah tidak sayang lagi sama aku ya." Mauren cemberut.
Samuel menghela nafas kasar, saat ini kepalanya sangat pusing mendengar ocehan kekasihnya. "Tidak Mauren, kepalaku pusing. Lagian ini masih pagi, jangan mengajakku berdebat."
Mauren melepaskan tangannya, "Kamu kok gitu."
Samuel memejamkan matanya menahan kegeraman. "Tidak sayang, aku minta maaf." ucapnya pelan sembari mengelus lengan Mauren.
Tentu saja wanita yang seumuran dengan Shasa itu, langsung mengembangkan senyumannya. "Jangan begitu lagi yah." rengek Mauren manja, dia langsung menyadarkan kepalanya ke bahu sang kekasih.
Hari masih pagi, namun mereka sudah bermesraan. Karena Mauren sudah berani terus berkunjung ke rumah Samuel.
"Sayang, kamu tau tidak?."
"Tidak." jawab Samuel.
"Dengerin dulu, aku punya berita bagus. Shasa sudah di usir dari rumah oleh papa. Kamu tau, aku sangat bahagia sekali, tidak akan ada yang mengganggu pemandangan di rumah." ucap Mauren antusias.
Samuel hanya terdiam, mendengar nama Shasa entah mengapa dia sangat tidak rela melepaskan gadis itu. Sudah tiga hari tidak melihatnya, Samuel merasa hampa.
*
Selesai makan, Shasa langsung mengangkat piring kotor untuk mencucinya, karena sudah terbiasa.
"Biar kami saja nona, anda tidak usah membawanya." ucap pelayan yang lain.
"Hm baiklah." Shasa mengangguk, lalu kembali meletakkan piring ke atas meja.
"Uh aku sangat bosan Eca." ucap Shasa berjalan ke arah ruang tamu. Dari kejauhan ia melihat pria paruh baya duduk di kursi roda, seorang diri tanpa ada yang menemaninya.
Gadis itu mengerutkan dahinya, sungguh saat ini Shasa belum mengetahui apapun tentang keluarga ini.
"Ca, Eca." panggilnya.
"Iya Sha ada apa." jawab Eca sudah mengakrabkan diri.
"Itu tuan Emran bukan?, ayahnya Jaevano. Kenapa dia bisa seperti itu." ucapnya pelan, menatap ayah mertuanya itu.
Eca melebarkan matanya, pelayan muda itu langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling arah. Lalu dia menarik Shasa ke tempat sepi.
"Eh, kenapa kamu menarik ku."
"Shut, diam. Kau ingin mengetahui tentang keluarga ini kan?." Shasa langsung mengangguk cepat.
"Hem aku akan memberitahumu, tapi jangan bilang ke siapa siapa." bisik nya.
"Ini." ucap Dirga menghempaskan berkas, ke atas meja kerja Jaevano. Pria itu langsung duduk menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Sungguh dia masih sangat kesal dengan kejadian tadi.
Jaevano mengerutkan dahinya, melihat wajah Dirga yang tak biasa. "Kenapa?."
Dirga langsung mengangkat tubuhnya, menatap kesal pria berwajah dingin itu. "Vano dimana kamu memungut gadis kematian itu." gerutunya.
"Gadis kematian?." tanya Jaevano menautkan alisnya.
"Cih, istri kecil mu itu sangat menyebalkan. Darahku bisa bisanya jadi tinggi jika terus berhadapan dengan gadis tengil itu, enak saja dia memanggilku om tua. Apa aku setua itu, dia juga mengomentari jenggot tipisku, katanya aku mirip kakek kakek."
Gerutu Dirga. Pria itu memang memiliki jenggot, namun. tidak terlalu tebal sehingga tampak tampan dan dewasa.
Jaevano menarik sudut bibirnya. Entahlah dia merasa, gadis itu sangat unik di matanya, jika orang lain akan takut dan segan kepadanya, namun istri kecilnya itu terus menentangnya.
"Jaevano, apa kau mendengarkan ku?."
"Hem, ini masih di jam kerja Dirga. Kenapa kau terus bersikap seperti itu, jika di jam kerja kita sebagai atasan dan bawahan. Jadi cepat kembali bekerja." tegasnya.
Dirga berdecak kesal, dia langsung bangkit. "Dasar suami dan istri sama saja, sangat menyebalkan." gerutu Dirga. Jaevano menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus bekerja, asistennya itu sungguh cerewet.
"Shasa." gumam Jaevano.
_To Be Continue_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Febby Fadila
iya sha sama aku juga kepo sama keluarga jaevano
2024-11-20
0
Anonymous
Shasa centil sih🤩
2024-12-27
0
reza indrayana
Menarik banget nich kisah....🥰🥰🥰👍🏻👍👍🏻💙💙💛💙💙🫰🏻🫰🏻🫰🏻😘😘😘
2024-11-26
0