Seharusnya Percaya

Rekas berusaha duduk karena merasa pegal berbaring terus, saat ini Rekas hanya sendirian saja, semua teman-temannya telah pergi sejak sore tadi.

"Permisi, bagaimana keadaannya? Ada yang dibutuhkan?" tanya suster yang datang.

"Tidak, tapi bisakah aku keluar sebentar saja? Bosan sekali berada di sini."

"Tapi nanti ...."

"Ayolah Suster, Mama aku baru datang jam 9 nanti."

Suster itu diam, ia lantas mengangguk dan pamit untuk membawa kursi roda terlebih dahulu. Rekas tersenyum senang atas respon baiknya itu, sedikit dan sebentar saja Rekas akan bisa menghirup udara di luar sana.

Sekembalinya suster, Rekas dibantu untuk pindah duduk, Rekas berterimakasih ketika kursi roda itu mulai didorong suster. Taman rumah sakit hanya satu-satunya tujuan Rekas, tidak masalah asalkan ada udara luar juga.

"Kenapa banyak sekali orang yang sakit?" tanya Rekas.

"Mungkin ini keuntungan pemilik rumah sakit juga."

"Suster jadi bisa gajian ya kalau banyak yang sakit gini?"

Suster hanya tersenyum, bukan senang, tapi bukankah memang seperti itu sistem kerjanya di rumah sakit. Rekas melihat satu orang yang duduk sendirian di kursi sana, rambutnya panjang lurus, dengan postur tubuh tinggi dan sedikit berisi.

"Kamu mau di sana juga?" tanya suster.

"Dia siapa? Suster tahu?"

"Dia Priska, sudah sering dia ke sini tapi tidak juga mendapat perubahan atas kondisinya."

"Sakit apa?"

"Tumor otak, Dokter sudah menyarankan untuk operasi akan tetapi dia selalu saja menolak. Orang tuanya bilang kalau dia sudah putus asa untuk hidupnya sendiri."

Rekas menyipitkan matanya, itu memang terdengar mengerikan, bukankah itu salah satu penyakit yang mematikan juga. Tapi apa salahnya mencoba jika dokter saja masih mau berusaha, hidup hanya tentang perjuangan, segala sesuatu akan terwujud setelah diperjuangkan.

"Dia selalu seperti itu setiap kali ada di sini, melamun sendirian. Bahkan dia menolak untuk ditemui keluarganya, dia akan bertemu mereka setelah Dokter mengizinkannya pulang."

"Kalau aku kesana, bisa saja dia juga mengusirku."

"Entahlah."

Rekas kembali diam, tapi saat lagit gelap seperti ini rasanya cukup sedih untuk menyendiri, lagi pula banyak orang di tempat tersebut. Rekas melirik suster dan meminta meninggalkannya saja, Rekas akan meminta bantuan nanti kalau memang diperlukan.

"Permisi."

Rekas mengangguk dan membiarkan suster itu pergi, perlahan Rekas menggerakan kursi roda dengan tangannya. Mendekati wanita di sana yang sepertinya amat terpuruk karena kondisinya sendiri, Rekas tersenyum ketika wanita itu menoleh kearahnya.

"Pergilah!" ucapnya tanpa basa-basi.

Rekas mengernyit, wajah itu, hidung itu, bibir itu, bahkan bulu mata lentik itu. Rekas memejamkan matanya sesaat, itu pernah dilihatnya kala itu, tapi dimana?

"Pergilah! Pergi!" ulangnya.

Rekas mengangguk, itu adalah wajah yang dilihatnya saat pertama Rekas datang ke rumah sakit.

"Pergi!"

"Kamu membenci semua orang karena kondisimu?"

"Aku hanya memintamu pergi!"

"Keadaanku juga sama menyedihkan, aku memiliki dua kaki tapi aku hanya bisa duduk di kursi roda seperti ini."

Sesaat wanita itu melihat kaki Rekas, kemudian berpaling tanpa perduli apa pun juga. Meski reaksinya buruk, Rekas justru semakin mendekatinya.

"Priska, itu nama kamu?"

"Pergilah!"

"Tidak ada gunanya seperti itu, kesempatan sembuh masih besar untukmu."

"Kamu tidak tahu apa-apa, jangan banyak bicara dan pergilah cepat!"

"Kamu tidak punya teman? Mungkin itulah alasannya kamu begitu mudah putus asa."

Wanita itu mulai kesal dengan sosok Rekas, berulang kali ia menyuruhnya pergi tapi kenapa lelaki itu terus saja berbicara. Rekas mengangguk saja, apa mungkin tidak ada suport untuknya sama sekali?

"Bagaimana kalau kita berteman? Aku Rekas, aku masih sekolah, masih kelas satu juga. Kalau kamu?"

"Kamu sudah tahu namaku."

Rekas sedikit tertawa, kenapa cuek sekali wanita itu. Mereka sedang berbicara akan tetapi wanita itu tidak melihatnya sama sekali, biarkan saja selagi dia bisa menjawab ucapan Rekas.

"Ini kabar buruk buatku, aku tidak bisa menggunakan kakiku sebebas dulu. Kamu tahu? Aku adalah orang yang begitu aktif dalam segala hal, aku tidak bisa diam selagi aku terbangung. Dan ini sangat mengecewakan aku."

"Kamu bisa tetap hidup meski tanpa kaki, kakimu tidak mengancam nyawamu."

"Kamu tahu, hidup adalah perjuangan! Seburuk apa pun keadaan saat ini, selagi kamu hidup .... Selagi kita hidup, maka perjuangan tidak boleh berhenti."

Priska menoleh, menjengkelkan sekali lelaki di hadapannya itu, dia merasa paling tahu tentang keadaannya saat ini. Lelaki itu hanya sedang menunjukan lelucon padanya, Priska sama sekali tidak menyukainya.

"Aku pernah kehilangan temanku karena tumor otak, sewaktu aku kecil dulu, dia begitu lemah dalam hidupnya setelah mengetahui penyakitnya itu."

"Pada akhirnya dia mati."

"Kamu benar, dan Tuhan memberiku pengganti yang sama. Seorang teman yang juga menderita tumor otak, bedanya temanku yang baru itu tetap semangat menjalani hidup meski penyakit mengancamnya."

"Pada akhirnya dia juga mati."

"Dia ada sampai sekarang, dia satu Sekolah denganku juga."

Priska mengernyit, saat itu pula Rekas tersenyum seraya mengangguk penuh keyakinan. Priska tersenyum acuh, semua masih tetap saja omong kosong, apa Priska harus mendorong kursi rodanya agar lelaki itu pergi dari hadapannya.

"Dia percaya Tuhan, dia percaya tangan Tuhan ada pada Dokter yang merawatnya. Dia yakin dengan segala keajaiban Tuhan, dan semua itu berhasil mengembalikan dia pada keadaan terbaiknya."

"Pergilah!"

"Jangan menyerah!"

Priska kembali melihat Rekas, lelaki itu kembali tersenyum manis padanya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selagi manusia itu percaya dengan kemungkinannya, hidup dan mati seseorang memang tidak ditulis jadwalnya oleh manusia, tapi Tuhan mengetahui segalanya.

"Bertahanlah! Kamu masih muda, percaya pada Tuhan dan percaya pada tangan Tuhan!"

"Kamu terlalu banyak bicara."

"Karena kamu tidak mau mendengarkan aku, sehingga hatimu merasa seperti itu."

Keduanya terdiam, Rekas tidak mau siapa pun menyerah dalam hidupnya. Priska yang memang tidak dikenalnya, tapi Priska juga manusia hidup, Rekas ingin Priska juga semangat menjalani hidupnya saat ini.

"Orang-orang didekatmu pasti terluka melihatmu seperti ini, beberapa atau bahkan mereka semua pasti berharap kamu sehat kembali. Sama seperti dirimu yang kecewa dengan kondisimu, mereka jauh lebih kecewa karena kamu yang menyerah sebelum berusaha."

Tak ada jawaban, Priska hanya diam saja menatap Rekas, meski sesekali Priska meneliti kondisi Rekas, tapi kemudian kembali pada wajah manis itu lagi. Rekas tersenyum seraya mengangguk, semoga saja ucapannya bisa sedikit membantu mengembalikan semangat Priska untuk melawan penyakitnya.

"Masuklah! Temui Dokter yang siap membantu menyelamatkan hidupmu! Bicara dengannya dan mintalah bantuan untuk kesehatanmu dihari esok! Permisi."

Rekas melambaikan tangannya ketika melihat suster tadi di sana, dengan bantuan suster itu, Rekas meninggalkan Priska kembali sendiri di kursi sana.

Priska menatap kepergian Rekas bersama suster tersebut, dia bisa berpindah tempat karena bantuan tangan orang lain. Dan mungkin Rekas akan selamanya duduk di kursi roda seperti itu, sedang Priska masih bisa berjalan bebas dengan kedua kakinya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!