Hanya Bisa Percaya

Hanya Bisa Percaya

Canda

"Rekas kecelakaan!" jerit salah satu siswa seraya berlari menyusuri lorong Sekolah.

Teriakan itu sontak membuat seisi Sekolah gempar, mereka berhamburan menuju jalan untuk melihat kejadian kecelakaan itu.

"Nada! Ada apa?" tanya guru.

"Rekas kecelakaan, Bu!"

"Dimana?"

"Di depan, ayo cepat!"

Mereka menyusul paling akhir, di luar sama sudah begitu banyak orang yang mengelilingi Rekas. Anak lelaki itu tak sadarkan diri dengan bersimbah darah, mereka justru sibuk berbisik satu sama lain bukannya membantu korban.

"Permisi, permisi," ucap guru yang menerobos kerumunan tersebut.

"Ya Tuhan, Rekas."

Dengan cepat ia meminta mereka untuk membantu membawa Rekas ke UKS Sekolah, dan segera memanggil ambulan karena lukanya yang pasti serius.

Tanpa perlu menunggu lama karena ambulan pun datang, Mereka ribut ingin ikut mengantarkan Rekas ke Rumah Sakit. Tapi jam pelajaran telah dimulai, sehingga mereka harus kembali ke kelas masing-masing.

Dua ambulance datang bersamaan ke halaman Rumah Sakit, dari dalam sana dua brankar pun turut di dorong beriringan. Rupanya ada dua pasien yang datang diwaktu bersamaan, Rekas dan pasien lainnya dikeluarkan dari ambulan dan dibaringkan di brankar.

"Tolong! Cepat selamat anak ini," ucap guru.

"Anak saya, tolong selamatkan dia terlebih dahulu," sela seorang ibu di sampingnya.

Sedikit keributan terjadi diantara mereka, guru yang ingin anak didiknya selamat dan seorang ibu yang ingin anak kandungnya juga selamat.

Keributan itu membuat kesadaran Rekas kembali, mata Rekas perlahan terbuka dan bisa melihat wajah di sampingnya. Cantik dengan hidung mancung, bulu mata yang panjang dan lentik, juga bibir tipis yang berwarna pink.

Rekas kembali memejamkan matanya, lebih tepatnya kesadarannya kembali hilang. Petugas rumah sakit itu melerai keributan antar guru dan ibu tersebut, mereka mengatakan jika dokter akan menangani keduanya bersamaan, karena ada beberapa dokter yang memang sedang kosong jamnya.

"Ayo segera!" ucap guru.

Brankar yang telah berpenghuni itu kembali didorong memasuki rumah sakit, mereka membawa pasiennya untuk segera mendapatkan penanganan medis.

"Ada apa dengan Anak itu?" tanya ibu tersebut.

"Dia kecelakaan ketika menyebrangi jalan saat hendak memasuki halaman Sekolah."

"Semoga dia baik-baik saja."

"Lalu, ada apa dengan Anaknya?"

Ibu itu tersenyum pilu, membuat sang guru merasa heran sendiri. Benarkah pertanyaan dirinya menyinggung? Atau mungkin keadaannya yang terlalu buruk.

"Anak saya menderita tumor otak stadium 3, dia tidak mau operasi, dia ingin menjalani hidupnya seperti apa yang terjadi saja."

"Ya Tuhan, saya turut sedih Bu."

"Dia begitu keras menolak untuk pengobatan lanjutan, dia merasa jika hidupnya memang sudah harus seperti itu. Dia akan meninggal karena penyakit tersebut."

Ibu itu mendadak terisak, bagaimana bisa pasien berfikir seperti itu, itu terdengar amat putus asa. Guru tersebut berusaha menenangkannya, memberi dukungan jika semua pasti akan ada jalan terbaiknya.

Anak perempuan itu pasti sangat berarti baginya, sama seperti Rekas yang amat disayangi sang guru. Rekas adalah siswa kelas satu yang berprestasi, kerap terlibat dalam kegiatan Sekolah sehingga membuat dia begitu dipandang oleh seisi Sekolah.

Rekas adalah anak pintar, dia aktif dalam olahraga, sejak Rekas masuk ke Sekolah tersebut, suasana Sekolah menjadi sangat menyenangkan.

"Keluarga pasien Anak Sekolah," ucap Dokter.

"Iya, saya Gurunya, Dokter."

"Pasien kehilangan banyak darah, golongan darahnya B, tapi sayang di sini golongan darah tersebut sedang kosong."

"Saya akan hubungi keluarganya."

"Silahkan, untuk setengah jam saja, jangan sampai terlambat."

"Baik, Dokter."

Guru tersebut lantas menghubungi pihak keluarga Rekas, jika saja golongan darahnya sama maka tidak akan berfikir dua kali untuk mendonorkannya.

Tak berselang lama, dokter kedua datang dan memberi informasi jika anak perempuan itu telah sadar dan ingin bertemu. Dengan segera wanita tersebut memasuki ruangan untuk menemui putrinya.

Kebisingan terdengar di kelas Rekas, mereka begitu asik bergibah soal Rekas. Kelas Rekas memang dianggap sebagai kelas urakan tapi taat aturan, saat ini kelas itu sedang lepas dari pengawasan karena gurunya yang sedang mengantarkan Rekas ke rumah sakit.

"Dia fikir dia punya nyawa sembilan?"

"Hey! Kau tidak tahu? Nyawanya justru ada 11."

"Dan dia sedang berusaha menghilangkan salah satu nyawanya?"

Gelak tawa terdengar riang karena celotehan tersebut, itu adalah candaan dari kawanan Rekas sendiri. Rekas memang anak yang menyenangkan, tidak gampang tersinggung, sehingga ia memiliki teman yang asyik juga.

"Kalian fikir usahanya akan berhasil?"

"Tentu saja, bukankah tadi dia tak sadarkan diri? Itu artinya, satu dari nyawanya telah hilang."

"Itu berarti jika nyawanya ada 11, maka sekarang hanya tersisa 10?"

Mereka kembali tertawa masih karena celotehan yang sama, anak-anak yang lain juga ikut menikmati candaan tersebut. Mereka tidak mau berfikir buruk tentang kemungkin jika Rekas meninggal dunia, jadi biarkan mereka menenangkan fikirannya dengan hal-hal bodoh seperti itu.

"Fasya," panggil seseorang di ambang pintu.

Mereka semua menoleh kompak, hingga akhirnya bersorak kompak juga. Itu adalah Naura, Naura adalah kakak kelas mereka sekaligus kekasih Rekas sejak Rekas memasuki Sekolah.

Duduk di bangku SMA bisakah menyebut cinta mereka serius? Tentu saja tidak, hubungan mereka kerap jadi lelucon bagi teman-teman Rekas, ditambah lagi dengan Rekas yang mendapatkan seorang Kakak kelas.

"Bagaimana keadaan Rekas?"

"Wooowww .... Ini luar biasa, tenanglah Darling karena Kekasihmu itu pasti akan baik-baik saja."

"Fasya!" tegas Naura.

"Oke oke oke, santai! Rekas dibawa ke Rumah Sakit sama Bu Mega, kami belum tahu kabarnya seperti apa karena Bu Mega juga belum kembali."

Dengan sedikit berdecak, Naura menghentakan kakinya kesal. Kenapa Naura harus terlambat datang, Naura jadi tidak tahu kejadiannya.

Kawan Rekas tampak saling lirik satu sama lain, mereka tersenyum bersamaan, fikirannya sama-sama menerka jika Naura akan menangis karena pangerannya terluka di sana.

"Apa? Kalian fikir ini lucu? Ahh bagaimana bisa Rekas memiliki teman seperti kalian?"

Naura berlalu dengan kekesalannya, kenapa Naura tidak melihat sedikit saja keperdulian mereka tentang keadaan Rekas saat ini. Naura kerap merasa kesal karena kawan Rekas itu, entah kenapa Rekas bisa nyaman berteman dengan orang-orang seperti mereka.

"Apa gunanya marah-marah seperti itu?" tanya Fasya.

"Mungkin saja dia berfikir dengan begitu, Rekas bisa langsung cliiiinggg ada di hadapannya."

"Dan langsung memeluknya sambil mengatakan, oohh Baby jangan bersedih karena aku baik-baik saja."

Seolah tak pernah habis topik candaan mereka, kelas Rekas selalu ramai gelak tawa setiap kali kosong dari mata pelajara.

Bagi sebagian orang itu mungkin tidaklah benar, tapi bagi satu penghuni kelas tersebut, candaan adalah hal utama yang harus ada dalam setiap keadaan. Bahkan meski keadaan buruk seperti saat ini, merasa khawatir tentu saja mereka rasakan, tapi tidak ada gunanya juga untuk murung apa lagi menangis, toh mereka belum mendapatkan kabar pasti soal keadaan Rekas saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!