Pagi hari.
Akbar yang terbiasa bangun pagi selalu menjalankan rutinitas olahraga paginya, dengan berlari di sekitaran komplek perumahan Arumi setelah selesai menjalankan kewajibannya. Sementara Arumi yang sudah bangun, sekarang berkutat di dapur membantu sang Mama memasak.
"Kamu itu anak gadis. Harusnya bangun lebih dulu dari suamimu. Tapi kamu enggak, masih aja molor. Kalau bukan Mama yang bangunin, pasti kamu masih tidur." Pagi-pagi Arumi sudah mendapat omelan dari Bu Erin.
"Kamu sekarang bukan tanggung jawab Mama Papa lagi. Tapi tanggung jawabnya Nak Akbar. Harus rajin kamu jadi istri di rumahmu nanti. Jangan bersikap males."
Arumi lebih memilih diam, dibiarkan saja Mamanya itu bicara. Nanti kalau sudah lelah pasti berhenti juga.
"Kamu dengerin Mama kan?"
"Iya, Ma. Aku dengerin." Jawab Arumi sambil menahan tangis.
"Kenapa kamu? Baru juga Mama nasehatin, gitu aja udah nangis?"
"Aku nangis bukan karena Mama. Tapi karena ini nih.." Arumi menunjuk bawang merah yang ia iris di atas talenan hingga menyebabkan matanya perih.
"Oh, Mama kira kamu nangis beneran."
"Nggak lah." Jawab Arumi.
"Ya sudah kamu terusin masaknya. Mama mau lihat Papa kamu dulu." Bu Erin meninggalkan Arumi di dapur sendirian.
Sibuk berkutat dengan masaknya, Arumi sampai tidak sadar jika Akbar sudah di belakangnya. Mengambil air minum di kulkas.
"Masak apa kamu?" Tanya Akbar hingga Arumi tersentak kaget.
Arumi membalik badan. "Ngagetin orang aja."
Akbar tersenyum tipis merasa lucu dengan wajah kagetnya Arumi.
"Rum, tolong buatin kopi ya. Gulanya dua sendok teh saja." Pinta Akbar sambil menarik kursi. Duduk di samping meja makan.
"Kamu nggak lihat aku lagi sibuk gini. Bikin sendiri sana." Tolak Arumi.
"Rum.."
"Ck, iya-iya. Bikin susah aja." Meski menggerutu Arumi tetap membuatkan Akbar kopi.
"Nih kopinya."
"Terima kasih sayang." Akbar menyematkan senyum menawannya membuat Arumi memutar bola matanya jengah.
"Enak juga kopi buatanmu." Puji Akbar setelah menyeruput kopi di dalam cangkir batik.
"Enak lah, Arumi gitu."
"Kamu sudah berkemas-kemas?" Tanya Akbar.
"Nggak, aku tetap di sini. Ini rumahku dan aku nggak akan ke mana-mana!" Tegas Arumi.
"Mau tidak mau, kamu tetap ikut saya pulang. Tidak ada bantahan!" Kata Akbar lalu bangkit dari duduknya setelah menghabiskan kopinya.
"Egois." Arumi memandang punggung Akbar dengan kesal.
***
"Bagaimana, masih dikunci juga pintunya?" Tanya Bu Erin.
"Masih Ma." Jawab Akbar.
"Seperti anak kecil saja." Sahut Pak Iwan, ayah Arumi sambil membaca koran.
Arumi mengunci diri di kamar lantaran tidak mau pindah ke rumahnya Akbar. Rumah yang berjarak setengah jam dari rumahnya. Harusnya siang ini mereka sudah pindah tapi dengan kekeuh Arumi menolak.
"Coba Mama bujuk Arumi." Pinta Pak Iwan.
Bu Erin berjalan ke kamar Arumi sesuai perintah suaminya lalu mengetuk pintu itu. "Arumi, ini Mama sayang. Buka pintunya, Nak?"
"Arumi.." Lagi, Bu Erin mengetuk pintu itu.
Arumi bangkit sambil malas-malasan, Bu Erin berdiri di depan pintu kamarnya dengan senyum keibuan.
"Boleh Mama masuk?"
Tanpa menjawab Arumi menggeser tubuhnya memberi Mamanya jalan. Bu Erin memilih duduk di kursi rias. Sementara Arumi duduk di tepi ranjang. Menunggu Bu Erin bersuara.
"Kamu tahu, kenapa kamu Papa nikahkan sekarang meski kamu belum lulus kuliah?" Tanya Bu Erin pelan.
Arumi menggeleng dengan kepala tertunduk. Ia tidak tahu alasannya.
"Itu karena sebuah wasiat dari Papanya Akbar, Nak. Dulu, Papamu dan alm. Om Ihsan pernah berjanji satu sama lain agar anak-anaknya kelak bisa dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Sebelum meninggal, Om Ihsan minta sama Papamu untuk mewujudkan janji tersebut. Papamu juga tidak bisa menolak waktu itu, karena janji tetaplah janji dan harus ditepati."
"Tapi kenapa harus mengobarkan perasaanku, Ma. Mama kan tahu sendiri aku ini nggak pernah suka sama Akbar. Usia kita juga jauh." Suara Arumi lirih.
"Usia kalian hanya berjarak tujuh tahun. Nggak jauh-jauh amat kok." Bu Erin menggenggam lembut tangan Arumi.
"Tetep aja Akbar ketuaan."
"Bukan tua, Akbar itu pria dewasa. Percaya sama Mama, Akbar akan selalu membuatmu bahagia."
"Segitu yakinnya Mama?" Arumi tertawa kecut.
"Yakin, Nak. Karena sejak dulu, Mama sudah mengenal Akbar sebelum kamu lahir." Jawab Bu Erin lembut.
.
Dukung author dong.. Biar rame🤗🤗
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Sabiya
gpp Rum yg penting cakep.
2024-01-05
1
Sabiya
cara aman ya gitu, kunci kamar.
2024-01-05
1
Sabiya
wkwk.. kita sama Rum. kalo gue bangun kesiangan emak gue jga langsung ngomel. tapi gue diem aja, tahu lah..
2024-01-05
1