Transmigrasi : Menjadi Ibu Di Dunia Seribu Pintu
*
*
"Emang gabisa gitu bulan ini libur aja perginya?" Tanya wanita paruh baya, menatap seorang gadis yang sedang mengemasi baju ke dalam koper.
"Aduh, Ma. Gabisa, lah, kan udah biasa setiap tanggal 1 sampai 5 aku selalu pergi. Aku juga gak sabar banget mau lihat gedung seribu pintu di wisata Lawang Sewu! Ugh, apa nanti bakal kelihatan kayak gedung hantu atau enggak ya, Ma?" Balas gadis tersebut, pura-pura excited dengan perjalanan yang akan dijalaninya dalam beberapa jam.
"Karina, entah kenapa tapi Mama kayak gak ikhlas deh ngijinin kamu keluar kali ini. Bulan depan aja gimana? Oke? Mama lipatin deh uangnya, hmm?" Bujuk wanita paruh baya, alias ibu dari Karina.
"Ma, aku udah beli tiket kereta loh, sayang uangnya nih. Masa mau dibuang? Papa capek-capek kerja tau, Ma." Balas Karina.
"Ma, jangan capek-capek bujuk adek. Dia gak akan mau batalin jadwal perjalanannya. Kemarin Abang suruh batalin juga malah ngerajuk, marah-marah gak jelas. Biarin aja dia, biarin lihat nanti akibat dari ngebantah permintaan Mama." Ucap lelaki dewasa yang melongokkan kepala ke kamar Karina.
Akhirnya, ibu Karina menyerah. Anak sulungnya benar, Karina keras kepala jika sudah menyangkut jadwal perjalanannya. Ia hanya bisa menghela nafas dan mengangguk membiarkan anak bungsunya pergi dengan beberapa nasihat agar Karina tidak berlaku dan bersikap sembarangan di tempat bersejarah tersebut.
Berdebat dengan anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di depannya memang tidak akan pernah membuat dirinya menang. Apapun, selalu kalah telak karena ibu Karina sendiri tidak akan pernah bisa menolak permintaan putri bungsunya.
Baik ibunya, kakaknya, dan ayahnya, tidak akan ada yang menang melawan keinginan Karina jika ia sudah bersikeras.
Dan disinilah Karina berada sekarang, setelah menempuh perjalanan berjam-jam dengan kereta, ia akhirnya sampai di kota tujuan dengan aman.
Membuka kamar di hotel terdekat untuk menyimpan barang, Karina lalu pergi istirahat sebelum akhirnya besok pergi ke tempat tujuan untuk sekadar berfoto.
"Cih! Siapa yang mau lama-lama ke tempat kayak gedung hantu begini? Mending jalan-jalan ke taman Salokanya buat seneng-seneng!" Gumam Karina yang saat ini sedang berbaring, seraya membuka situs pencarian yang menampilkan lokasi gedung seribu pintu di wisata Lawang Sewu.
Nama tempat wisatanya adalah Lawang Sewu, sedangkan Lawang Sewu sendiri secara harfiah adalah gedung seribu pintu. Sebetulnya sama saja, tapi orang-orang juga banyak menyebut gedung seribu pintu. Jadi untuk membedakan nama wisata dan nama gedungnya, Karina sengaja menyebut Wisata Lawang Sewu dan Gedung Seribu pintu.
Untuk apa Karina melakukan hal ini? Tidak ada tujuan, hanya menambah pencitraan dan menjaga nama baik Ayahnya. Yah, jika dirinya bersikap baik, nama orang tuanya yang akan melambung kan?
Begitu saja, Karina yang saat itu kelas dua sekolah menengah atas, pertama kali berpikir tentang mengunjungi tempat-tempat bersejarah sebagai kedok atas hobinya yang senang menghamburkan uang.
"Udahlah, lagian aku foto doang besok, habis foto cus ke taman saloka!" Pekik Karina senang, ia kemudian menarik selimut sebatas dada lalu memejamkan mata.
Keesokan Harinya.
"Wow, rame juga. Gak nyangka, bakal serame ini?! Ah, harusnya aku ngambil hari kerja aja buat kesini." Gerutu Karina setelah berada di depan pintu masuk wisata Lawang Sewu. Terlihat sedikit kesal karena harus mengantri untuk sekadar masuk saja.
Setelah beberapa menit, akhirnya Karina dapat masuk dan menghela nafas segar. Di dalam ternyata sangat luas, dan Karina takjub melihat pemandangan didepannya.
"Gila, baru kali ini aku kagum sama tempat wisata. Bukan main, ini gede banget, dan bener-bener pintunya banyak!" Gumam Karina dengan mata memindai keseluruhan gedung dengan banyak pintu di depannya.
Karina berjalan masuk, kini dirinya berada di tengah gedung. Melihat sekeliling, meski tampak seperti gedung hantu benaran, tapi Karina takjub, gedungnya terurus. Ia bahkan lupa dengan tujuan awal yang hanya mau sekedar berfoto saja.
Karina pikir, kali ini saja, biarkan dirinya masuk dan berkeliling untuk melihat gedung tersebut. Tidak ada salahnya, lagipula bagus juga jika Karina benar-benar tertarik dengan tempat bersejarah. Banyak pengetahuan yang masuk ke otaknya.
"Lihat! Burung di dalam gedung!"
"Cantik sekali, kejar!"
"Jangan sampai lepas!"
"Milikku, hahaha!"
"Jangan rebut, itu milikku, biarkan aku menangkapnya!"
"Ah, jangan menghalangi!"
"Jangan kejar, untukku, untukku!"
Pekikan-pekikan kecil terdengar sangat ribut di telinga Karina yang sedang Asyik mengamati gedung. Karina kemudian berbalik untuk melihat keramaian.
Tapi kedua bola mata Karina melebar ketika berbalik, mendapati burung terbang ke wajahnya, ia tak siap dan akhirnya jatuh. Anak-anak yang berlarian juga seolah tidak peduli dengan keberadaannya, dan terus berlari mengejar burung, menginjaki Arina.
Arina yang setelah terjatuh membenturkan kepalanya ke lantai gedung, akhirnya tak sadarkan diri setelahnya. Dengan rasa sakit yang mengiringi, dan suara berisik anak-anak nakal yang menginjaknya, mengumpat dalam hati, sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.
Satu yang tidak di sadari Arina, adalah bahasa dari anak-anak tersebut yang terdengar baku. Tapi siapa yang peduli? Karina yang kejatuhan musibah, bahkan tidak sempat menyelamatkan dirinya sendiri.
*
"Ugh, sakit banget. Sialan, tau gini aku gak akan masuk gedung tadi!" Kesalnya seraya memegangi kepala. Ia kemudian bangun, dan melihat sekeliling.
Membelalakkan kedua matanya, ia terkejut, kenapa dirinya masih ada di gedung? Apa tidakada orang yang menolongnya? Tidak mungkin, gedung begitu ramai, kenapa dirinya ditinggalkan sendirian?
Mengingat empati dan simpati orang-orang di negaranya, tidak mungkin Karina ditinggalkan sendirian dalam keadaan tidak sadarkan diri. Setidaknya akan ada satu orang yang menolong dan membawanya ke rumah sakit, bukan?
Tapi, apa ini?
Melihat sekitar lagi, Karina refleks menggigil. Giginya gemetar, rasa takut menyeruak masuk ke dalam hatinya.
Sepi sekali. Gedung juga masih terlihat terang. Ini masih siang hari. Tapi kenapa tiba-tiba menjadi sepi? Apa gedung tiba-tiba ditutup dan Karina tidak tahu?
"Apapun itu, aku harus cepat pergi dari sini." Gumamnya, kemudian bangkit dengan tubuh yang sakit, kakinya bahkan tertatih ketika ia berjalan dua langkah.
"Gara-gara anak-anak nakal tadi! Kalau aja aku bisa ngehindarin mereka, ugh! Mama, aku kesakitan." Ucapnya berjalan tertatih ke pintu keluar.
Tapi ia tidak kunjung sampai, entah sejak kapan ia berputar di tempat yang sama. Dan ia baru menyadari semuanya.
"Apa-apaan ini?!" Pekiknya frustasi.
Tapi ia masih tetap menjaga kondisinya, dan tetap tenang. Memikirkan pintu masuk yang di lewatinya sebelumnya, kemudian ia melihat sekitar, kemudian anak-anak, dan, "Ah! Kenapa anak-anak nakal itu pake bahasa formal? Terus, burung pelangi? Kenapa tiba-tiba ada burung pelangi? Mama.... ugh, Sial! Jangan bilang ini di dimensi lain?!" Teriaknya Frustasi.
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Ajusani Dei Yanti
aku mampir nih thorrrr kuh
2024-02-08
1