Pengantin Pria Yang Tak Terduga
Rania Malik mestinya menikah hari ini, tapi pengantin prianya tidak kunjung datang. Tepat di tengah kebingungan nya harus berbuat apa, Amira berseru dari depan pintu kamarnya.
"Raniaaaa, ayok buka pintunya. Kamu harus siap-siap untuk melangsungkan pernikahan mu sekarang."
Di dalam kamar, Rania tertegun mendengar seruan Amira. Seolah mama nya itu membawa angin segar untuknya. Dan untuk memastikan jika ucapan Amira bukan lah sekedar mimpi, Rania mencoba mencubit pipinya "Aww" Rania merintih kecil saat merasa sakit di area yang dicubit. Itu artinya Rania tidak sedang bermimpi. Bibir mungil yang sejak pagi cemberut pun perlahan tersenyum.
Setelah itu, Rania buru-buru menata riasan kepalanya yang sudah acak-acakan. Diacak-acak oleh dirinya sendiri saat merasa sangat kecewa menunggu calon mempelai prianya yang tak kunjung datang. Menyesal? tentu saja. Andai Rania sedikit bersabar menunggu kedatangan calon suaminya, Rania tidak harus repot menata riasan nya kembali. Amarah Rania tak hanya dilampiaskan pada riasannya saja, tapi juga pada seorang make up artis. Rania telah mengusir orang itu, dan sekarang dia malah repot sendiri.
Saat Rania baru selesai membenarkan riasannya, Amira masuk sambil menggerutu kecil. Andai Amira tahu jika kamar Rania tidak dikunci, Amira akan langsung masuk tanpa harus berteriak kencang dan menunggu lama sang puteri yang tak kunjung membalas seruannya.
Rania menoleh ke arah Amira." Mama!" Amira tersenyum sambil berjalan ke arahnya.
"Apa calon suamiku sudah datang, ma?" Tanya Rania saat Amira sudah berdiri dibelakangnya. Amira memegang pundak Rania dan menatap wajahnya melalui pantulan cermin. Melihat sorot mata binar Rania, Amira mengangguk disertai senyuman tanpa sepatah kata.
Melihat ekspresi sang mama yang cukup meyakinkan, Rania menunduk malu. Deg degan sudah pasti. Saking deg degannya, Rania sampai me re mas buku-buku jarinya yang berkeringat dingin. Sebentar lagi, ya sebentar lagi dia akan dinikahi oleh pria yang amat sangat dicintainya.
"Kamu sudah siap?" Tanya Amira. Dan pertanyaan nya langsung di angguk kan oleh Rania dengan mantap tanpa keraguan. Setelah itu, Amira menuntun Rania menuju tempat berlangsungnya acara pernikahan. Pernikahan sederhana yang tak banyak mengundang orang, termasuk teman-teman Rania.
Sepanjang menuju meja ijab qobul, Rania hanya menundukkan pandangannya. Setelah sampai di meja yang akan mengubah statusnya, Rania didudukan disamping mempelai pria dengan pandangan tetap menunduk. Hingga pengantin pria berjabat tangan dengan seorang yang akan menikahkan nya pun Rania tetap tidak mengubah pandangannya.
"Saya terima nikahnya Rania Malik binti Hamid Malik dengan mas kawin seratus gram emas dibayar tunai."
Pada saat yang sama, Rania mengangkat wajahnya dengan raut wajah tercengang. Suara itu, ya suara bariton yang sedang mengucapkan ijab qobul bukan lah suara kekasihnya melainkan....Rania menoleh ke arah samping dimana pria yang sedang menikahinya itu duduk. Dan detik itu pula bola mata Rania membelalak sempurna.
"Bagaimana para saksi?"
"Sah."
"Sah."
Bersamaan dengan ucapan pengesahan para saksi yang saling bersahut-sahutan, pandangan Rania berkunang-kunang, lalu dalam hitungan detik berubah gelap.
Dua jam berlalu. Rania membuka matanya. Pemandangan pertama yang Rania lihat adalah langit-langit berwarna putih. Rania tersenyum. Ternyata, kejadian yang menimpanya tadi hanyalah mimpi buruk. Tapi "krek" suara pintu kamar mandi terbuka menandakan bahwa Rania tidak sedang sendirian didalam kamarnya.
Tap
Tap
Dan suara langkah kaki pun kian terdengar dengan jelas. Rania memejamkan matanya. Berpura-pura belum sadarkan diri. Semakin langkah kaki terdengar mendekatinya, Rania semakin mengendus aroma wangi bunga lili yang menjadi aroma favorit Rania menguar dari tubuh orang itu.
"Maafkan saya. Sungguh bukan maksud saya ingin membuatmu seperti ini. Tapi saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan orang tuamu."
Gumaman pria itu, ya tuhan apa ini? Rania ingin berteriak sekencang kencangnya. Ternyata, apa yang terjadi padanya bukan lah sebuah mimpi buruk melainkan kenyataan yang amat sangat buruk.
Tok
Tok
Belum sempat Rania bangun dan mencekik pria itu, terdengar suara pintu diketuk. Selang beberapa detik, suara langkah kaki pun terdengar mendekati ranjang tidurnya.
"Bagaimana, pak Dave. Apa Rania sudah sadar?"
"Belum, pak Hamid."
"Kalau begitu ambilkan air satu ember saja, ma. Papa yakin Rania pasti sadar kalau kita siram pakai air."
"Jangan ngaco, pa. Rania sedang pingsan. Kenapa harus disiram dengan air?"
"Kalau tidak begitu dia tidak akan bangun sampai esok hari atau mungkin sampai setahun."
"Paa..."
"Sudah. Sana ambilkan air."
Mendengar ancaman Hamid yang hendak menyiramnya dengan air, Rania menjadi was-was. Bagaimana jika papanya itu beneran nekat menyiramnya dengan air.
"Cepat, ma. Ambilkan air sekarang."
"Tidaaaaaak."
Raut wajah pria yang bernama Dave berubah terkejut atas kebangkitan sekaligus teriakan keras Rania yang secara tiba-tiba. Sementara Hamid dan Amira hanya mengulum senyum mereka.
Rania menatap nyalang ke arah Hamid. Rania pikir ini pasti ulah papanya. Menikahkan dirinya dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai. Melihat kilatan sorot mata Rania, Hamid hanya bergeming dan menyilangkan kedua tangan diatas perutnya yang sedikit buncit." Apa? mau marah?"
Rania tergugu. Hati ingin memaki sang papa tapi mulut seperti terkunci. Tidak ada yang bisa Rania ucapkan selain mengeluarkan air matanya. Tega sekali papanya itu menikahkan Rania dengan pria yang seharusnya menjadi papa mertuanya hanya karena putranya kabur entah kemana.
Melihat Rania menangis terisak-isak, Dave merasa semakin bersalah. Meskipun sebenarnya bukan kesalahan Dave seutuhnya, tapi tetap saja Dave merasa semua kesalahannya. Gara-gara dirinya yang tidak becus mendidik kevin dengan benar, putranya itu membuat masalah besar di keluarga Hamid Malik. Kevin kabur entah kemana dihari pernikahan nya dengan Rania. Dave sendiri terpaksa menerima pernikahan ini, karena Hamid menuntut sebuah pertanggung jawaban darinya. Tanggung jawab untuk menggantikan Kevin menikahi Rania yang konon katanya sudah dirusak oleh putranya itu.
"Tidak perlu menangis. Kamu terima saja apa yang sudah terjadi. Semua kesalahan asalnya di kamu, Rania. Papa sudah bilang berulang kali jangan berhubungan sama si anak bragajulan itu, tapi kamu kekeh sampai kalian pacaran sembunyi-sembunyi."
Mendengar kalimat ucapan Hamid yang seolah menyalahkan nya, Rania semakin mengencangkan tangisnya. Amira buru-buru mendekati Rania. Dia duduk di sampingnya lalu mendekap serta mengelus elus kepala Rania.
"Papa bilang tidak perlu menangis. Masih untung pak Dave mau bertanggung jawab. Kalau tidak bagaimana dengan nasibmu ke depannya?"
"Ta-tapi ke-napa ha-rus sa-ma om Dave, pa?" Tanya Rania di sela Isak tangis dan dengan suara terputus-putus.
"Karena cuma pak Dave yang bersedia menikahi mu."
"Tapi om Dave sudah tua, pa. Dia..." Hamid melototi Rania. Dan pada saat itu pula ucapan Rania terputus, lalu menyembunyikan wajahnya kembali pada pundak Amira.
Dave termangu. Apa yang dikatakan Rania benar bahwa dirinya sudah tua. Lebih pantas menjadi ayahnya dari pada suaminya. Tapi apa yang bisa Dave lakukan saat ini. Semuanya sudah terjadi. Rania sudah sah menjadi istrinya secara agama. Apakah harus bercerai?
"Em, pak Hamid. Apa tidak sebaiknya kami...."
"Tidak!" ucap lantang Hamid dengan tatapan tegas pada Dave. Dave yang belum selesai berbicara pun terdiam.
"Tidak ada perceraian. Saya mau kalian tetap menjadi pasangan suami istri sampai saya memutuskannya nanti. Anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawab anda, pak Dave."
Dave mengangkat sebelah alisnya. Dari mana pria baruh baya yang baru saja menjadi mertuanya itu bisa tahu apa yang akan diutarakan olehnya padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
RizQiella
wah kasihan
2024-06-10
0
nuraeinieni
aq mampir thor
2024-03-07
1
Chen Aya
mampir thor
2024-02-09
1