Edna membuka matanya. Bau minyak kayu putih menyengat penciumannya.
"Edna, kamu ngga apa apa?" Luna masih menatap khawatir. Dia terus menggenggam tangan Edna.
"Ta-tadi aku pusing."
"Apa kamu belum sarapan? Nih, Eriel tadi beliin bubur ayam buat kamu. Tapi dia udah pergi lagi. Tadi dia gendong kamu loh pas kamu pingsan. Ya ampun Ednaaa...... Eriel perhatian banget," cerita Luna dengan menggebu.gebu. Mungkin hanya satu tarikan nafas saja saat dia mengucapkan kalimat sepanjang itu.
Edna masih coba mencerna sambil berusaha menegakkan tubuhnya sedikit. Luna dengan sigap mengatur bantal kepala untuknya bersandar.
Tadi.... Eriel? batinnya ngga percaya.
Kok, bisa?
Seakan mengerti apa yang dipikirkan Edna, Luna pun meneruskan ceritanya dengan penuh semangat.
"Kamu hampir aja jatuh. Ngga tau dari mana Eriel datang, terus gendong kamu. Sweat banget. Aku beneran shock. Ngga nyangka Eriel seperhatian itu pada kita yang hanya teman sekelasnya."
Edna terdiam. Hati dan pikirannya masih ngga bisa mempercayainya.
Agak aneh Eriel berada di sekitarnya.
"Nih, makan dulu buburnya, ya. Dari Eriel," senyum Luna sambil mengaduk buburnya. Kemudian dengan telaten menyuapi Edna.
Edna menerima tiap suapan itu dengan berbagai perasaan aneh. Nama Eriel terus bergaung di kepalanya.
"Luna... Makasih, ya." Edna balas menggenggam tangan Luna. Satu satunya sahabatnya di sekolah mewah ini. Selalu saja care padanya, padahal dia ngga setara dengannya. Tanpa terasa matanya memanas.
"Laen kali kalo sakit jangan sekolah. Lebih baik istirahat di rumah."
"Ya." Edna mengusap air matanya yang mau menetes.
"Edna, kamu kenapaaa....? Baru tau, ya, aku orang baik. Telat tau," kekeh Luna membuat senyum Edna pun merekah.
Dibalik pintu, Eriel lagi lagi memperhatikan aktivitas keduanya. Terutama menatap wajah Edna yang pucat.
Dia sakit apa? batinnya sambil pergi. Hatinya sudah tenang karena Edna sudah sadar dan sedang memakan bubur yang dia belikan tadi. Sekelumit senyum terukir di bibirnya.
"Kamu sakit, Riel?" Jeff sudah berdiri di depannya bersama Fazza. Keduanya melihat Eriel dari arah ruang klinik kesehatan sekolah.
"Pusing," bohongnya. Dia berusaha setenang mungkin agar kebohongannya ngga terlihat.
"Tumben." Jef menatap ngga percaya. Sementara Fazza tetap dengan gaya tenangnya berdiri di samping Jef. Kedua tangannya pun dimasukkan ke saku celana sekolahnya.
"Kit maen basket aja. Nathan katanya mau maen juga. Bosan katanya megang buku terus," tukas Fazza sambil membalikkan tubuhnya melangkah pergi tanpa menunggu jawaban keduanya.
Tadi dia dan Jef ke kelas Eriel mencarinya. Ternyata malah dari klinik.
"Oke. Ayo, Riel," ajak Jef sambil menarik tangan Eriel agar mengikutinya.
"Okelah."
Ngga nyampe setengah jam Eriel bermain basket, Edna bersama Luna melewati lapangan basket yang sudah dikelilingi para pemujanya.
Eriel sempat melihatnya saat sedang melompat untuk memasukkan bolanya ke dalam ring basket.
Sepertinya Luna memaksanya untuk menonton. Eriel, Fazza, Jef, dan Nathan memang sudah menjadi ikon yang menciptakan magnet pemikat penonton di mana pun mereka berada.
Edna selalu kagum dengan Eriel dan teman temannya. Mereka berasal dari keluarga tajir melintir yang kekayaannya ngga akan habis sampai delapan turunan, tapi mereka pelajar yang pintar dan berprestasi.
Memang mereka agak songong di matanya dan pelajar lain yang miskin sepertinya, tapi wajarlah. Memang mereka punya segalanya untuk itu.
Jantung Edna berdebar keras saat mata elang Eriel menukik tajam ke arahnya. Hanya sekilas, setelahnya Eriel menangkap bola yang dilemparkan Fazza. Rupanya mereka berdua satu tim. Sedangkan Nathan bersama Jef di tim yang lain.
Edna bisa melihat kembaran Nathan dan csnya juga sedang menonton. Juga ada Zoya, si tak terkalahkan. Edna kagum, padahal dia sudah belajar mati matian, tapi tetap saja masih di bawah mereka. Masih untung dia ngga keluar dari sepuluh besar.
Edna merasa pusing lagi.
"Luna, aku ke kelas dulu, ya. Kamu di sini aja."
"Kenapa? Masih pusing? Aku lupa kalo kita dari klinik. Ayo, kita ke kelas," tuntun Luna penuh perhatian.
"Makasih, Luna."
"Sama sama," senyum Luna sambil menggandeng Edna keluar dari lingkaran para pemuja pemain basket itu.
Eriel agak oleng karena sempat mencari keberadaan Edna yang sudah menjauh.
"Fokus, Riel," sergah Fazza. Untung dia lincah bisa dengan cepat menangkap operan bola Eriel yang ngga jelas arahnya tadi sebelum disambar Nathan.
"Sorry."
Kenapa cewe itu selalu bisa mengacaukan konsentrasinya. Padahal dia sudah ditolak. Dia pun sudah membalasnya dengan sangat kejam. Sampai mengambil miliknya yang paling berharga. Tapi dirinya tetap saja merasa dicampakkan oleh cewe itu.
*
*
*
Luna memaksa Edna untuk mengantarnya pulang. Karena biasanya Edna ikut bis sekolah.
"Makasih, ya, Luna."
"Hati hati, ya. Kuat, kan, jalan sampai rumah?" Luna masih khawatir. Karena dia hanya bisa mengantar Edna sampai ujung gangnya, seperti biasa.
"Kuat," senyum Edna melebar.
"Oke, sampai rumah istirahat, ya," nasehat Luna.
"Iyyyaa.....," kekeh Edna lagi. Luna pun tertawa.
"Daaagh," lambai Luna saat mobilnya melaju pergi meninggalkan Edna yang juga balas melambai.
Setelah mobil Luna sudah ngga kelihatan, Edna melangkahkan kakinya menyusuri gang rumah kontrakannya.
Bunyi mesin jahit mamanya menyambut kedatangannya.
Setelah mengucapkan salam, Edna pun memasuki rumah kontrakan kecilnya. Tapi nyaman karena dia hanya tinggal berdua saja dengan mamanya.
"Kamu agak pucat, sayang," sambut mamanya khawatir.
"Edna tadi pingsan bentar, Ma. Tapi sekarang sudah baikkan," jelasnya sambil melepas jas sekolahnya.
DEG DEG
Mamanya menatapnya dengan sorot tak terbaca dengan debaran jantung yang ngga menentu.
"Sekarang rasanya gimana?" tanya mamanya dengan pikiran sudah melanglang jauh. Hal yang selama ini diyakininya ngga akan terjadi kini muncul lagi membuat suasana hatinya ngga tenang bercampur rasa takut yang datang tiba tiba.
"Pusing sedikit, Mam. Kata dokter di klinik, tensi aku rendah banget." Edna pun menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Matanya agak terpejam.
"Mama buatin teh dulu, ya," ucapnya agak panik.
"Ngga usah, Ma. Aku mau tiduran aja."
Mama Edna mengusap puncak kepala putri kesayangannya dengan perasaan sedih. Dia berharap semoga dugaan ysng muncul tiba tiba ini ngga benar. Hanya ketakutan ngga jelasnya saja.
Beliau terus mengusap puncak kepala Edna dan menciumnya beberapa kali denga lembut sampai Edna tertidur.
Tapi menjelang malam Edna merasa mual. Kepalanya pusing sekali dan tubuhnya mulai terasa dingin lagi.
Edna pun bergegas ke kamar mandi dan muntah muntah di sana.
Mamanya yang sedang ada tamu yang merupakan pemilik kontrakan, bergegas menyusul karena mendengar suara Edna muntah tiada henti.
"Kamu kenapa. Edna?" Mama tampak panik sambil mengurut tengkuk putri kesayangannya. Sementara ibu pemilik kontrakan menatap dengan sorot aneh.
Setelah muntah Edna berhenti, Mama pun memapah Edna ke kamarnya lagi.
"Sebentar, ya, bu."
"Ya."
Setelah membaringkan Edna di atas tempat tidur, mama Edna menemui pemilik kontrakannya yang sudah duduk di ruang tamu sambil menggenggam sesuatu.
"Edna sakit apa, Bu Tia? Saya punya kenalan dokter kalo ibu mau saya panggilkan."
"Jangan, Bu. Paling masuk angin biasa bu. Mungkin kecapekan karena tugasnya sangat banyak menjelang ujian semester," jelas Mama Edna tetap tenang walau sangat jelas ada kepanikan di wajahnya.
"Maaf sebelumnya, Bu. Ini ada testpack. Kebetulan saya beli banyak kemarin buat keponakan saya. Syukurlah positif. Tanda tandanya sama seperti putri Ibu, Edna."
Tubuh mama Edna langsung mematung kaku. Dia bingung, apa yang harus dia lakukan sekarang.
°Ma," panggil.Edna yang sudah berada di depan pintu kamarnya.
"Ya, sayang." Mamanya pun bangkit dari duduknya dan menghampiri Edna yang tampak bertopang pada dinding. Ibu pemilik kontrakan juga mengikuti.
"Mau pipis," bisiknya.
Wajah mama Edna bertambah pucat. Dia semakin panik.
"Edna, nanti pipisnya ditampung dikit, ya, buat dimasukin alat ini."
Jantung Edna berdegup kencang. Dia tau alat apa yang tengah disodorkan ibu pemilik kontrakan padanya. Alat cek kehamilan. Testpack.
Seketika ketakutan hebat melandanya. Teringat kejadian malam mengerikan itu lagi. Padahal sudah susah payah dia lupakan. Tapi sekarang malah terbayang dengan sangat jelas di pelupuk matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Chintya
loh ini cerita wktu Nathan belum nikah ya malah pas SMA q kira setelah Nathan nikah
2024-11-12
2
Itha Fitra
kok pemilik kost"an langsung nebak edna hamil sih,gk tkut orng trsinggung
2024-07-10
1
erinatan
kasian Edna🥺🥺🥺🥺🥺
2024-05-01
3