...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...----------------...
Pria bertubuh tinggi tegap itu membentangkan kedua tangannya, dadanya menebarkan jiwa sumarah. Jika hari ini kehidupannya berakhir karena pembunuhan seperti yang dikatakan oleh buku pusaka itu, maka biarlah alam, karena tuhan yang akan membalas semua kekejian itu semua.
Kedua telapak tangan yang terkatup itu perlahan terdedah bersamaan dengan pancaran sinar biru yang ikut keluar dari dalam telapak tangan lelaki itu yang lebar, dari dalam dadanya keluar beberapa permata biru yang mengapung di depannya. Tangan kirinya dia putar searah jarum jam sembilan, seketika kerang Montana yang terlepas itu bergerak untuk mendekat.
Pria itu mengambang dengan dikelilingi permata biru dan satu bola kecil yang terbuat dari kristal biru di dalam singgasana sana. Tangannya yang lain bergulir membuka kerang yang berisikan berlian biru pekat tanpa menyentuhnya, di saat bersamaan pancaran sinar itu semakin mengembang dan perlahan menjadi pecah.
Bola mata birunya menguar binar yang menggerakkan berlian yang terkapar di dalam kerang tersebut, satu per satu permata dan bola kecil kristal biru itu berkumpul dengan di dekap oleh cahaya yang berpendaran berwarna putih bercampur dengan warna biru khas dari sang pusaka lautan itu.
"Seluruh kekuatan sang raja dan ratu duyung legenda bersatulah ... Jadilah sebuah bingkai indah untuk pewaris singgasana kristal biru, dia akan menyelamatkan keseimbangan lautan di muka bumi ini, Dewa Dewi ... Restuilah kami ...."
Pergerakan semua benda itu perlahan melemah bersatu dengan sinar yang bergerak kesana-kemari, ia berputar-putar di atas kolam kecil merah muda di sana. Dinding ruangan itu bergetar, begitupun dengan air yang selalu nampak tenang di dalam kolam bercorak para kerang Montana dan ekor para duyung.
Pria gagah itu turun dengan lembut di atas kolam. Tak lama dari itu, setelah pancaran binar itu tenggelam kembali ke dalam raganya, sebuah kalung permata berbentuk hati dengan di tengah-tengah bola kecil bening dan gradasi biru bercahaya terjatuh di telapak tangan lelaki gagah itu.
"Kalung ini akan melindungi Ellena dan kami akan selalu berada di dekatnya," papar pria gagah itu.
Dia menganyam langkah lagi keluar dari ruangan berdinding aroma mawar itu, dia membelah tangannya yang terkatup dan menggeser pintu putih yang besar itu untuk kembali tertutup rapat. Pria itu bergerak ke lantai satu untuk menemui ke-lima belas pelayannya.
"Rumah ini akan tenggelam malam ini," tegasnya merekam setiap jejak netra para pelayan yang meredup.
Mereka menunduk, membungkukkan punggungnya sambil melipat kedua tangannya di bawah dengan sopan. Salah satu pelayan melonjak, langkahnya mendekati pria gagah itu.
"Yang mulia ... Apakah sudah saatnya kami tenggelam?" tanyanya demikian.
Pria itu melepaskan embusan napasnya kasar. "Iya, kembalilah ke dalam singgasana dan pastikan rumah ini tidak akan ada yang menemukannya, kecuali Ellena, wajah putri tercintaku tidak akan pernah berubah walau kelahiran kedua dan ketiganya," terangnya pada semua pelayan yang ada di sana.
Sendu menjalari wajah para pelayan itu. Desakan buih kepedihan menyeruak di dalam dada para pelayan. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menuruti perintah pria itu, takdir telah tertuliskan di kertas putih dari tangan Tuhan. Kematian telah digambarkan sejak kelahiran sepasang suami-istri itu.
"Baiklah yang mulia, kami akan berdiri di setiap sudut untuk membawa rumah ini tenggelam pada ruang hampa di antara daratan dan lautan, wilayah ini akan menjelma menjadi danau cermin yang tidak akan bisa dimasuki oleh siapapun terkecuali tuan putri Ellena," ungkap panjang salah satu pelayan itu.
Pria berambut indigo blue itu mengangguk sumarah. "Lakukan pekerjaan kalian, jika kami tidak kembali, satu pun di antara kalian jangan ada yang pernah menampakkan diri sampai kelahiran Ellena menginjak usia 20 tahun," titahnya lagi.
"Baik yang mulia," sahut semuanya serempak.
Seketika para pelayan itu berlari ke setiap sudut dari rumah itu, rumah tersebut terdiri dari tiga lantai, para pelayan membagi tugasnya, lima pelayan berada di lantai satu dan begitu seterusnya.
Perlahan pria gagah itu keluar tanpa membawa apapun dari dalam rumahnya kecuali kalung yang baru dibuatnya tadi. Dia berdiri di rumahnya yang kini tengah memancarkan cahaya yang menyilaukan, warna biru berada di antaranya.
Tak lama dari itu rumahnya menjelma menjadi bening layaknya air di lautan, para pelayan yang ada di dalam berubah wujud kembali ke asalnya, ya! Mereka adalah bagian dari para duyung legenda yang akan tersisa, mereka menghilang bersamaan dengan tenggelamnya rumah megah itu.
Dalam sekejap mata, wilayah luas yang diisi oleh rumah berlian tersebut mengejawantah menjadi sebuah danau bening yang menyerupai kaca tembus pandang, lukisan langit yang memukau memantul di sana.
"Ayah ...," seru Ellena yang sedari tadi menunggu lelaki itu keluar dari rumahnya, dia berlari menghampiri sang ayah. "Ayah, kenapa rumah kita tenggelam? Kita akan tinggal di mana Ayah?" tanya gadis kecil itu.
Pria bertubuh kekar itu tercenung mendekap sesak yang bergerak cepat di dalam dadanya, ia terus bergerak sampai menumbuhkan butiran embun berkumpul di bola mata birunya.
Dia berputar mengarah pada sang putri tercinta, lututnya mengendur sampai berlutut di hadapan Ellena. "Sayangnya Ayah anak yang penurut kan?" Suara pria itu bergetar, dia belai lembut rambut panjang gadis kecil itu.
"Euum ...," gumam Ellena menganggukkan kepalanya dalam kebingungan."
Pria itu mengurai napasnya lagi, sesak dalam dadanya semakin berat. "Pakai ini ya sayang," ucapnya lagi. lelaki itu memakaikan kalung bola kecil dengan bingkai hati di sekelilingnya pada leher sang putri.
Sambil berpeluh air mata di pelipisnya, pria berpenampilan gagah itu membelai lembut rambut dan wajah Ellena, dia pasati paras cantik sang putri dalam-dalam, lamat-lama desir ketakutan kembali merisak jiwanya.
Pria itu jatuhkan satu tangannya di pangkal kepala Ellena sehingga gadis kecil itu tak memindahkan posisi perhatiannya dari bola mata biru sang ayah. "Ingat ini ya putri ku yang cantik, jangan pernah kamu lepaskan kalung ini dari leher mu sampai kapanpun, bawalah dia terus bersama mu, kalung ini akan membawamu kembali ke rumah," beber pria itu penuh harap.
"Iya Ayah ... Aku akan selalu mengingat perkataan Ayah." Gadis kecil itu kembali mengangguk sambil dia mengusap halus kalung yang sudah melingkari lehernya.
Wanita dewasa yang masih menahan buih-buih butiran kristalnya segera mendekat dan mengelus punggung putrinya. "Sayangnya Bunda ... Kamu harus kuat dalam keadaan apapun ya sayang, kehidupanmu masih terus berjalan sampai kamu menempati singgasana mu," ujarnya, yang akhirnya peluh air matanya berderai deras.
Gadis kecil itu limpung. Dia tak tahu mengapa kedua orangtuanya berderai, sampai akhirnya Ellena ikut menangis, gadis itu menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan wanita dewasa itu, lekas pria gagah itu menimpali punggung gadis kecilnya dengan pelukan erat.
"Ke-kenapa Ayah dan Bunda menangis ... Apakah karena rumah kita tenggelam Ayah ... Bunda ...."
Wanita dewasa itu mendengkus, mengurai senyuman tipisnya dalam balutan tangisan yang semakin lebat. Dia eratkan pelukannya pada sang putri bersamaan dengan genggamannya pada tangan sang suami yang ikut mengerat.
Perkaranya tidak sesederhana itu sayang ... Kematian telah ditentukan tuhan untuk kami, ramalan dalam buku pusaka duyung legenda tidak pernah salah, sekeras apapun kita menghindari kematian, hal buruk itu akan terus datang menjadi hantu, kematian kita hanya bisa diundur, tetapi tidak untuk dihilangkan.
Batin wanita dewasa itu menggema, menggetarkan jiwanya yang ketakutan.
Bertahun-tahun kedua makhluk itu hidup dalam bayang-bayang kematian, sang dewa penguasa lautan pun menyerah dengan semua ramalan itu, bahkan Dewa Baruna sendiri pun berjuang keras menjaga sistem lautan di muka bumi ini dengan bertapa ribuan tahun.
Seperti saat ini sang dewa tengah berada di bawah gunung Viyara tengah bertapa untuk keseimbangan dunia lautan tetap terjaga untuk kesejahteraan para umat manusia di daratan. Kematian kedua makhluk kepercayaannya tidak akan di saksikan olehnya, semuanya telah tertulis dalam buku ramalan pusaka para duyung legenda.
Namun, ada satu hal yang tak pernah diketahui oleh Dewa Baruna begitupun dengan para duyung legenda yang kini hanya tersisa sepuluh ekor di dasar lautan tepatnya di singgasana sang kristal biru, lima belas di dalam rumah yang menghilang itu.
Dari sudut tergelap di sekitar sana, gelombang petaka bergerak cepat mendekati satu keluarga itu, netra keempat makhluk mitologi itu bergerak cepat ke arah kepulan gelap itu. Gerombolan lima belas pria berbadan kekar nan bengis bersama satu orang wanita yang tak lagi asing bagi wanita cantik dan pria gagah itu.
"Hola ...," sapa Rainero tersenyum miring dengan suara baritonnya.
Lelaki berparas bengis itu tengah meremehkan dua mahkluk mitologi itu, yang sebenarnya Rainero tidak pernah mengetahui wujud asli dari lawannya ini, termasuk sang istri Mylan.
Wanita itu ... Ternyata dia lari ke alam ini, kenapa dia berjiwa hitam. Bagaimana bisa?
Batin pria gagah itu bergumam.
Pelan-pelan dia sembunyikan putri tercintanya ke balik tubuhnya yang tinggi tegap, sang istri ikut melangkah untuk menyembunyikan wajah dari putrinya. Mereka tidak ingin para manusia kejam itu mengenali wajah cantik sang putri tercinta.
Dengan terbata-bata dia mendekap ketakutannya menjadi sebuah keberanian yang sengaja dia bangun dari detik-detiknya yang bergetar. Kedua makhluk itu menajamkan kerlingannya pada semua orang yang ada di hadapannya.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya wanita itu penuh tekad seraya dia menggerakkan satu tangannya menguarkan cahaya putih dengan gradasi biru, lalu dia usapkan pada wajah Ellena dengan lembut.
Seketika kelompok mafia yang terkenal dengan sebutan DCN tersebut, penglihatannya menjadi kabur, wajah Ellena tak terbaca oleh mereka semua, tanpa terkecuali termasuk istri pimpinan mafia itu, Mylan menyipitkan bola matanya, mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa di dirinya.
Sial! Mereka memiliki pergerakan yang sangat cepat. Sebenarnya siapa mereka? Kenapa mereka memiliki ilmu layaknya para duyung yang ada dalam legenda negeri ini.
Mylan bergumam dengan tatapannya yang meruncing, lalu dia melipat kedua tangannya di depan sembari merakit ribuan dugaan yang berkumpul di dalam pikirannya.
"Seperti yang kalian ketahui," ujar Rainero tiba-tiba saja melangkah ke depan. Tawa tipisnya menduri. "Anak buah saya telah masuk ke dalam perusahaan berlian kalian, ah ...," pungkasnya penuh kemangkakan sambil dia menggesek kedua telapak tangannya yang terus melangkah mendekati kedua makhluk mitologi itu.
"Apa yang kalian inginkan? Katakan saja, jangan mengulur waktu," tegas pria berparas tampan nan gagah itu. Desir tatapan getirnya kembali melokapnya.
"Oke!" jawab Rainero menikam tatapan pria itu, "serahkan berlian Quarios," pungkasnya kemudian.
Degh!
Pria dan wanita itu saling melempar tatapannya sambil mereka menelan ludahnya secara kasar, tak mungkin mereka memberikan berlian itu begitu saja, berlian itu hanya di dapat di pedalaman laut Lanzeiruz. Dan laut itu tak pernah ada yang mengetahui selain para makhluk yang memang berasal dari laut itu, yaitu para duyung legenda dan para peri duyung.
"Berlian itu sulit untuk didapatkan, dan kami tidak memilikinya lagi."
Rainero tiba-tiba saja tertawa keras, begitupun dengan Mylan yang ikut tenggelam dalam tawa sang suami. "Lantas, bagaimana kalian bisa mendapatkan berlian langka itu dengan mudah, tidak ada yang kembali dalam keadaan hidup ketika memburu berlian itu."
Pria gagah itu mengurai napasnya geram. "Itu adalah rahasia perusahaan," celetuknya, karena dia tak tahu harus menjawab apa lagi.
Berlian itu tersembunyi di singgasana sang kristal biru. Kedua makhluk itu akan melindungi tempat itu walau dalam kematiannya. Keadaan di sana semakin mencekam dan pria gagah itu sudah tak memiliki kekuatan yang diwariskan oleh leluhurnya, karena semuanya telah berpindah pada kalung yang dikenakan oleh Ellena.
"Jadi kalian memilih kematian datang lebih cepat dibanding menyelamatkan nyawa kalian?" tanya Rainero mengerut dalam.
Ya tuhan ... Oh Dewa ... Apakah ini kematian yang diramal oleh buku pusaka itu, kami mati di tangan para manusia berhati hitam dan berjiwa keji ini.
"Kalian adalah orang-orang serakah yang tidak akan pernah puas dengan hasil yang sudah membuat kalian bahagia," tukas pria itu lagi.
Rainero mengeras, amarahnya dengan cepat membuncah, tak lama dari itu pria bengis itu menarik senyumannya. "Manusia adalah makhluk yang paling serakah, manusia tidak akan pernah puas dengan satu pencapaian, inilah manusia. Kalian juga manusia yang juga memiliki banyak keinginan bukan?" urai Rainero penuh keyakinan.
"Tidak! Kami hanya ingin hidup tenang tanpa mengusik kehidupan orang lain."
"Basi!" pekik Rainero dengan tatapan getirnya. "Kalian adalah makhluk yang munafik! Jika kalian tidak menyerahkan berlian Quarios itu, maka lenyaplah kalian di sini bersama putri tercinta kalian," sambung Rainero mengalihkan kerlingannya pada Ellena yang bergetar ketakutan.
...----------------...
...Next .......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments