Sore ini benar, Ajeng akan menemui
Al, ia sedikit cemas karena ia tahu jika bang Al kini adalah gurunya, tapi rasa
takut akan hukuman yang menumpuk membuatnya yakin untuk melangkah.
“Rit ...., aku
pinjam sepeda mu ya ...” Ajeng memasuki kamar temannya itu tanpa permisi
“Emang kamu mau
ke mana?” tanya Rita, gadis itu sedang tiduran sambil memegang buku di
tangannya.
“kenapa kau
selalu lupa sih ..., kau memberiku solusi, tapi kau yang lupa, kau sungguh membuatku salah, solusimu sungguh membingungkanku ...” keluh
Ajeng.
“Membingungkan
bagaimana?” Rita yang merasa tak melakukan apapun dan di persalahkan tak terima. Ia segera bangun dan mengamati wajah gelisah Ajeng.
“Aku harus
menemui pak Al ...”
"Lalu apa yang salah?" tanya Rita yang masih bingung.
"Coba bayangin aja, kalau sampai si Sisi itu tahu kalau aku deket sama pak Al, bisa ngamuk tuh macan tutul."
"ya maaf ...,
aku kan juga tidak tahu jika dia bakal jadi guru kita, tapi kan kamu juga bisa membatalkan janji ketemunya!"” sekarang Rita baru tahu
apakah maksud temannya itu. Ia pun memberi saran.
“Ya udah aku
berangkat ..., pinjam sepeda mu ya ...” ucap Ajeng.
"Kamu mau naik sepeda? nggak naik angkot saja. Jauh loh ....!" ucap Rita memperingatkan.
"Aghh ...., nggak pa pa, sekalian mau olah raga. Ngirit ongkos!"
"Ya udah hati-hati ...., jangan malam-malam pulangnya, nanti aku bilang sama ibu kos!"
"Makasih ya Rit, kamu memang sahabat terbaikku ....!"
***
Ajeng pun
mengayuh sepedanya memecah panasnya sinar mentari siang itu, seandainya Dika
bisa menemaninya ia tidak akan sebimbang seperti sekarang ini. Ia harus menemui orang yang sama sekali belum ia kenal. Rasanya pasti akan canggung.
Silau karena
cahaya mentari yang menyorot tepat ke depan matanya, sesekali ia menutup
pandangannya, menutupnya dengan topi yang bertengger di kepalanya.
Ajeng gadis
yang cukup tomboy, ia hampir tidak pernah mengenakan riasan jadi tak masalah
baginya panas-panasan.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkan akhirnya Ajeng sampai di depan mini market yang di tunjuk oleh Dika. Ia mengamati mini market itu. Cukup besar untuk ukuran sebuah mini market.
Ia memarkirkan
sepedanya di halaman mini market, keraguan kembali hadir saat ia menatap gedung
mini market itu.
“semangat Ajeng ..., semangat, kamu pasti bisa!”
ia menyemangati dirinya sendiri, kemudian melangkahkan kakinya menuju ke pintu
masuk yang terbuat dari kaca, seluruh dindingnya pun hampir semua terbuat dari
kaca.
Di halaman ada
beberapa bangku yang rest area, sungguh nyaman jika bisa sejenak saja duduk di
sana , pikirnya.
Tapi kemudian
ia kembali teringat dengan tujuannya datang ke tempat itu, ia datang Ki tempat itu bukan untuk bersantai-santai, tatapannya kembali
fokus ke dalam mini market, tanpa dari luar karyawan wanita yang sedang
melayani pembeli. Wanita itu berdiri di belakang meja kasir.
Ajeng segera
mendorong pintu kaca itu sehingga pintu itu terbuka.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita yang berada di balik meja kasir itu.
“kak ...., pak
Al nya ada?” tanya Ajeng pada wanita yang berdiri di belakang meja kasir itu. karyawan mini market itu menatap ajeng dengan penuh selidik.
“Maaf. kak .., saya
temannya Dika”
“Ada perlu apa
dengan mas Al?”
Tapi belum
sempat Ajeng menjawabnya, dari kejauhan Al sudah berjalan mendekat.
“itu pak
Al nya ..., terimakasih kak ......” ucap Ajeng, ia segera menghampiri Al, ia mendapat
tatapan tidak menyenangkan dari karyawan wanita itu, tapi abaikan saja, itu
sudah kebiasaan Ajeng. Ia pasti mengira jika Ajeng adalah salah satu fans Al. Memang Al begitu banyak penggemarnya.
“pak Al
....” sapa Ajeng
“Ajeng ..., aku
kira kamu tak datang!”
“mana mungkin
....., ini masalah hidup dan mati ku pak ...”
“separah itu ya
...”
“ya ,.....”
“tidak datang
bersama Dika?”
“tidak, Dika
nya ada turnamen basket antar sekolah ...”
“oh ..., ya
udah enaknya di mana nih...?”
“terserah bapak
saja, aku ngikut aja ...”
“ya udah..., di
luar sana saja ya ....”
“ok .....”
Al berjalan
mendahului Ajeng, ia berjalan menuju ke luar mini market melewati karyawan
wanita tadi, saat melihat Al ia tampak tersenyum begitu manis, berbeda dari
yang di tampakkan kepada Ajeng, ia menampakkan wajah sinisnya.
Mereka menuju
ke bangku yang sama yang begitu ingin Ajeng duduki tadi, di bawah pohon
Trengguli, begitu sejuk, bunganya yang berguguran jatuh di atas meja, semilir
angin sore menambah kenyamanan bagi dua manusia yang sedang berkecimpung dengan
rumus-rumus.
Sesekali nampak
Ajeng memperhatikan penjelasan Al, tak jarang yang masuk dalam pikirannya
malah wajah ganteng bapak guru itu. Pesonanya memang tak bisa di pungkiri.
“ok ...., gimana
sudah paham kan?” ucapan Al, seketika membuyarkan keterkesimaan Ajeng pada
wajah tampan nan mempesona Al.
“oh ..., astaga
..., apa yang aku lakukan, wajahku..., wajahku panas sekali ....., pasti
keliatan banget ...” batin Ajeng
“hallo .....,
gimana? Sudah paham?” Al mengulang kembali pertanyaannya.
“i-iya ....,
sedikit ...” Ajeng nyengir sendiri, sambil menyembunyikan wajahnya yang sudah
memerah.
“minumlah ...,
sepertinya kau sangat kepanasan ...” perintah Al sambil menyodorkan segelas
es jus yang sudah di siapkan Al untuknya.
“kelihatan
sekali ya ....” gumam Ajeng sambil menyambar minumannya.
‘wajahmu
memerah ..., aku kira kau kepanasan ...”
“dasar es batu
....” gerutu Ajeng pelan tapi masih bisa di jangkau pendengaran Al.
“apa?”
“ti-tidak ...,
ini es nya kena gigi ....” Ajeng hanya tersenyum menampakkan gigi-giginya yang
berjejer rapi.
“kalau belajar
itu fokus ..., Jangan melihat yang lain.”
“iya ....”
jawab Ajeng ketus.
Mereka kembali
melanjutkan kegiatannya hingga tanpa terasa langit sudah berubah menjadi gelap,
bintang-bintang saling berebut untuk bermunculan. Langit senja yang menampakkan sinar jingganya sudah memudar.
“ah ....,
akhirnya selesai ...” Ajeng tampak meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena begitu banyak tugas yang harus ia kerjakan.
“ini tidak
gratis ...” ucapan Al dengan santainya, seketika menghentikan kegiatan Ajeng. Ajeng begitu terkejut.
Astaga ....., aku tak punya uang untuk membayarnya ....
“hah ...., apa
...?”
“ya ...., semua
tidak gratis ...” ucapan Al sedikit di tekankan
“apa?” Ajeng menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Tenang saja, aku tidak meminta uang darimu, aku tahu kau tidak punya uang!"
Cehhh ....., singing sekali sih nih abangnya Dika ...., nyesel aku mengagumi dia.
"Bagaimana?" tanya Al lagi.
"Lalu aku harus bayar pakek apa?"
“kau harus
membantuku di percetakan selama satu minggu, jika kau meminta bantuan ku lagi
sebelum hutangmu lunas, maka kau harus menambahnya lagi, satu kali meminta
bantuan, berarti satu minggu magang di tempatku”
“hah ..., bapak
perhitungan sekali ...”
“ini
alamatnya...” Al tak peduli dengan protes Ajeng, ia menyerahkan sebuah kartu pada Ajeng
“ satu minggu di mulai
dari besok, jika satu hari tidak datang berarti hutang di tambah”
Dia benar-benar memerasku, untung ganteng, kalau tidak jangan harap bisa lolos dari aku ....
“baiklah ...,
aku pulang ..” Ajeng begitu kesal, ia menyambar tasnya dan mengenakan kembali
topinya, menghampiri sepedahnya yang
terparkir tak jauh dari tempatnya
Ajeng mengayuh
sepedahnya dengan penuh kesal, ternyata bukan Cuma wajahnya yang dingin tapi
hatinya juga sekeras batu, pikirnya.
**BERSAMBUNG
Jangan lupa untuk kasih dukungan ke author dengan memberikan like dan komentarnya ya kasih Vote juga yang banyak ya
Happy Reading 😘😘😘😘**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Kasi Ani
modus tu bang Al
2023-01-19
0
Moms Nada
kayaknya si Al ini temannya kakanya Ajeng si diah yg minta tolong sama Al tuk merubah Ajeng yg bandel🤭😂
2021-09-21
0
Sunarty Narty
alasan Al aj biar bisa dekat ma Ajeng..
2021-05-05
2