Seperti biasa pukul 03.00 aku sudah bangun untuk menemani mbak Yuyun ke pasar sebelum nanti membantu budhe memasak, tetapi ketika aku memasuki dapur tidak ada aktivitas seperti biasa. Budhe tidak ada disana begitu juga dengan mbak Yuyun, apa mungkin ia kesiangan.
Aku segera kembali ke kamar dan mengambil ponsel untuk menghubunginya, lama sekali mbak Yuyun tidak menjawabnya
"Halo mbak Arra"
"Halo mbak, mbak Yuyun kesiangan ya? kok jam segini belum datang? "
"Lho mbak bukannya hari ini libur? "
"Libur?" aku melirik kalender di samping pintu namun angkanya masih berwarna hitam
"Mbak ini tidak hari Minggu kenapa libur? "
"Lho mbak Arra tidak tahu? semalam ibu telfon katanya besok warung tutup saja karena katanya beliau tidak enak badan"
Aku terdiam sejenak, memang sejak kejadian di meja makan budhe tidak lagi keluar kamarnya hingga sekarang
"Ya sudah mbak kalau begitu, maaf kalau Arra mengganggu waktu tidur mbak Yuyun"
"Tidak apa-apa Ra"
Aku kembali ke kamar setelah menutup telefon mbak Yuyun, ingin rasanya pergi ke kamar budhe namun aku juga tidak ingin menganggu waktu istirahatnya apalagi budhe sedang tidak enak badan. Akhirnya aku putuskan kembali tidur sejenak sebelum alarm sholat subuh berbunyi.
*
Keesokan paginya setelah mandi dan menyiapkan sarapan aku masih tidak melihat budhe keluar dari kamar, aku memutuskan untuk membawakan sarapannua ke kamar. Ku ketuk pintu dan masuk meski tak ada jawaban, terlihat budhe duduk di tepi ranjang sembari memandang foto paman dan dirinya di depan rumah ini.
"Budhe" panggil ku pelan
Ia menoleh dan tersenyum kepadaku
"Ndok hari ini warteg tutup saja ya? kita istirahat sejenak"
"Iya budhe, ini Arra bawakan nasi goreng dan juga obat"
"Makasih ndok"
"Budhe masalah rumah ini biar Arra cari solusi, Arra akan meminta pada om itu untuk memberikan kita waktu supaya rumah ini bisa di tebus kembali suatu hari nanti"
Budhe hanya tersenyum kecil, nampak kesedihan di wajah yang sudah tak lagi muda itu. Setelah mencoba menenangkan budhe aku pamit keluar untuk sarapan juga, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari luar rumah. Aku keluar dari pintu samping dan melihat dua preman kemarin yang sudah membawa satu alat berat di depan rumah kami.
"Anton keluar kamu" teriaknya
Aku berlari kedalam rumah dan segera membangunkan mas Anton yang masih tertidur pulas
"Mas, mas Anton bangun"
"Ada apa sih Ra ribut-ribut pagi begini?"
"Itu mas, para preman-preman itu datang lagi"
"Sudah biarkan saja mereka hanya ingin menggertak kita"
"Tidak mas, mereka serius dengan ucapannya kemarin. Mereka membawa alat berat di depan rumah"
"Alat berat? "
"Iya mas.. "
Mas Anton segera beranjak keluar kamar aku mengikutinya yang pergi menghampiri preman-preman itu
"Sekarang kalian kemasi barang-barang kalian, rumah ini akan aku hancurkan" ucap salah satu preman itu
"Bang tolong beri kami waktu sedikit lagi, saya janji besok saya akan bayar bahkan saya antarkan uangnya ke bos"
"Halah Janji-janji saja kau ini"
"Benar bang saya berani sumpah, jika saya bohong ambil saja sekalian nyawa saya ini"
"Mas Anton, mas Anton apa-apaan sih?" teriakku
"Awas ya kau Anton, jika besok belum juga kau bayar siap-siap saja kehilangan nyawa" jawab preman itu
Aku dan mas Anton menghela nafas lega setelah melihat mereka pergi, namun alat berat itu tetap di tinggalkan didepan rumah kami.
"Mas bagaimana mas Anton bisa berkata seperti itu, mereka tidak macam-macam dengan ucapannya"
"Lalu bagaimana lagi Ra? sudah kamu hubungi saja om-om yang katanya mau membeli rumah ini"
"Tapi mas, budhe belum menyetujuinya"
"Ibu pasti setuju daripada harus kehilangan nyawa putra semata wayangnya ini"
*
Kami sampai di depan pintu samping terlihat budhe berdiri di sana dengan air mata yang sudah membasahi pelupuk matanya
"Ndok kamu hubungi saja orang yang mau membeli rumah ini"
"Tapi budhe"
"Sudah dari pada preman-preman itu terus mengganggu kita, apalagi budhe malu sama tetangga jika terus terusan seperti ini"
"Sudah cepat hubungi Ra, lagi pula ibu sudah mengizinkan kok kalau rumah ini di jual"
Aku hanya bisa mengangguk pasrah mengikuti perintah budhe, aku masuk kedalam kamar dan mengambil ponsel serta kartu nama laki-laki itu.
Di depan budhe dan mas Anton aku menghubunginya
"Halo om? "
"Halo siapa ini? "
"Ini saya Arra perempuan yang om tolong kemarin"
"Oh iya, bagaimana sudah mempertimbangkan saran saya? "
"Sudah om, budhe menyetujuinya"
Belum selesai aku berbicara, mas Anton langsung menyahut ponselku
"Halo bro, kalau kamu minat dengan rumahku sebaiknya hari ini segera kita selesaikan transaksinya"
"Baiklah saya akan datang kesana"
"Oke saya tunggu"
Budhe hanya diam menatap keluar pintu, rumah ini banyak kenangan di dalamnya. Rumah yang paman bangun untuknya, rumah yang menjadi tempat berpisah mereka pula.
"Sudahlah bu, lagi pula bangunan rumah ini sudah tak sekuat dulu lagi. Lain kali kita bisa beli rumah kecil-kecilan jika sudah ada uang"
"Mas, harga rumah tidak seperti harga cabai di pasar. Apalagi seiring berjalannya waktu pasti akan semakin mahal"
"Nah itu kamu tahu, makanya kamu juga harus cari kerja supaya bisa bantu kita buat beli rumah lagi. Selama ini kita juga tidak pernah merasakan sedikitpun hasil kerja keras kamu"
*
Suara mobil terdengar berhenti di depan warung, aku segera keluar menemui om itu lewat pintu samping. Nampak ia datang bersama temannya yang kemarin dengan membawa koper di tangannya
"Om silahkan masuk" ucapku
Budhe dan mas Anton sudah menunggu di ruang tamu, nampak jelas wajah budhe yang sedih sembari memegang surat rumah ini di tangannya.
"Halo bro, seperti yang sudah anda bicarakan dengan adik saya kemarin. Kami menyetujuinya" ucap mas Anton yang penuh semangat
"Budhe, budhe yakin untuk menjual rumah ini? " tanyaku sekali lagi
"Sudahlah Ra jangan mempersulit keadaan, kita tidak punya banyak waktu. Kamu sendiri juga yang bilang kalau preman-preman itu tidak akan main-main dengan ucapannya"
"Tapi mas, bagaimanapun rumah ini menyimpan banyak kenangan budhe dan paman. Apa mas Anton tidak merasa sedih harus kehilangan rumah ini? "
"Kalau memang sudah takdirnya kenapa harus di bantah? "
"Sudah ndok budhe tidak apa-apa"
"Kalau begitu silahkan tanda tangan disini, tuan Daniel sudah memberikan harga lebih dari yang kalian jaminkan untuk rentenir itu" ucao teman om yang di panggil dengan sebutan Daniel itu
Mas Anton mengambil kertas tersebut, matanya membelalak melihat harga yang di tuliskan dua kali lipat dari angka yang ia jaminkan. Tanpa ragu ia menandatangani surat tersebut namun om Daniel menghentikannya
"Tunggu.... "
"Ada apalagi? " tanya mas Anton yang sudah tidak sabar
"Apa kamu sudah yakin akan menjual rumah ini? "
"Tentu saja, kenapa anda bertanya lagi? "
"Saya rasa apa yang adik anda katakan ada benarnya juga, rumah ini mempunyai banyak kenangan bersama keluarga apakah tidak sayang jika harus dijual? "
"Jika saya berpikir begitu lalu bagaimana hutang-hutang itu bisa lunas"
Ruangan hening sesaat, om Daniel memandangi ku cukup lama kemudian kembali berbicara
"Kalau begitu saya akan melunasi hutang-hutang anda tanpa harus menjual rumah ini, sebagai gantinya nikahkan saya dengan adik anda"
Ucapan om Daniel membuat semua yang ada di ruangan itu terkejut, terutama teman yang duduk di sampingnya itu.
"Boleh juga, dengan begitu ibu tidak perlu kehilangan rumah ini dan kenangannya"
"Anton, apa-apaan kamu? kamu korbankan Arra sebagai pengganti membayar hutang-hutang mu itu" ucap bu Diah
"Sudahlah bu ini jalan yang terbaik, ibu akan tetap memiliki rumah ini dan Anton tidak akan di kejar-kejar lagi oleh preman-preman itu"
"Mas, mas Anton tega memilih opsi kedua ini? "
"Ayolah Ra, anggap saja ini sebagai bentuk balas budimu kepada keluargaku. Mau menunggu sampai kapan lagi kamu bisa membayar semua yang sudah keluargaku berikan selama ini? "
Lagi-lagi mas Anton mengungkit masalah itu, aku selalu merasa kalah jika ia sudah berkata demikian.
"Baiklah jika itu yang bisa Arra lakukan untuk menebus semua kebaikan-kebaikan yang sudah mas Anton dan keluarga berikan pada Arra"
"Jangan ndok, merawat kamu sudah menjadi amanah ayah kamu pada almarhum suami budhe"
"Budhe, Arra tidak mau seumur hidup harus terbaysng-bayang dengan semua hutang budi yang mas Anton berikan. Lagi pula mas Anton benar, mau sampai kapan Arra bisa membalas kebaikan budhe sekeluarga? Arra tidak akan bisa budhe"
"Budhe mohon ndok, jangan korbankan masa depan kamu demi hal yang tidak kamu lakukan"
"Sudahlah bu, lagi pula Arra juga setuju. Katanya ibu tidak mau kehilangan rumah ini tetapi ibu melarang Arra menikah dengan dia"
"Budhe, tidak apa. Arra dengan senang hati melakukannya, ini semata-mata supaya budhe tetap memiliki rumah ini dan semua kenangan di dalamnya"
"Baiklah jika itu sudah keputusan mu ndok, maafkan budhe tidak bisa berbuat apa-apa lagi"
"Nah gini kan sama-sama enak, rumah tetap jadi milik kita dan hutang pun lunas" imbuh mas Anton
"Kalau begitu besok saya akan kembali lagi dengan surat perjanjian baru dan membawa orang tua saya untuk melamar adik anda, dan ini cek senilai hutang anda"
"Baiklah kalau begitu Terima kasih"
Mas Anton mengantarkan mereka berdua keluar, budhe segera menghampiriku yang masih duduk diam di ujung ruangan.
"Ndok maafkan budhe, seharusnya budhe bisa mencari solusi lain tanpa kamu harus mengorbankan masa depan yang masih panjang ini"
"Tidak apa budhe, mungkin ini memang sudah takdirnya seperti kata mas Anton"
Budhe memeluk tubuhku yang rasanya lemas dan ingin menangis, aku tak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya nanti. Cita-cita yang ingin ku gapai masih belum terwujud, namun aku sudah harus menikah dan harus mengabdi kepada orang yang baru ku kenal kemarin.
...ANTON...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Shanti Siti Nurhayati Nurhayati
lumayan seru, tp untuk visualny artis dlm negeri juga ganteng dan cantik, biar cocok dgn cerita nya Indonesia banget
2024-02-10
1