Seperti biasa aku dan budhe sudah bersiap di balik etalase penuh makanan di ikuti matahari yang mulai menyingsing menunjukkan pesonanya, setiap pagi pelanggan kami adalah ibu-ibu yang sekedar hanya membeli sayur untuk mereka yang menjadi ibu karir tak sempat memasak di rumah. Ada juga yang sekedar membelikan bekal untuk putra putri mereka ke sekolah, di tengah hiruk pikuk suara ibu-ibu yang sedang memilih lauk tiba-tiba dia orang yang menagih hutang kemarin datang dengan suara lantang.
"Anton keluar kau, bayar hutang-hutangmu"
sontak pandangan ibu-ibu yang berada disana menatap ke arah mereka, aku segera berlari menghampirinya untuk meminta menunggu sembari aku memanggilkan mas Anton yang masih tertidur.
"Mas tolong tunggu sebentar disini biar saya panggilkan mas Anton"
"Cepatlah, dan pastikan kakakmu itu membayar hutangnya"
Aku hanya bisa meneguk salifa mendengar suara garang itu.
*
Aku menghampiri kamar mas Anton dan ku ketuk pintu kamarnya lumayan lama, namun tak ada sahutan dari dalam. Ku beranikan diri masuk karena fikir ku mungkin mas Anton tidur terlalu lelap, namun alangkah terkejutnya aku tak ku temui batang hidung laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu.
Aku berusaha mencari kesana kemari namun tak ku temui nya, aku kembali ke depan dan melihat dua orang itu masih menunggu. Ku hampiri mereka dengan rasa takut, takut mereka akan mengamuk seperti kemarin
"Mana Anton? "
"Maaf mas, mas Anton tidak ada" ucapku lirih
"Tidak ada bagaimana? Jangan-jangan kamu kerjasama dengan dia ya? "
"Ti tidak mas, sama sekali tidak"
"Ga itu si Anton dia berusaha melarikan diri" ucap teman si penagih hutang itu
"Sial, ternyata kau mencoba mengalihkan pandangan kami supaya Anton bisa kabur kan" teriaknya lagi sembari keluar mengejar kakakku itu
Aku dan budhe langsung berlari ke depan melihat kondisi mas Anton yang kejar kejaran dengan para preman tersebut, ku lihat wajah budhe penuh khawatir. Aku mencoba memenangkannya
"budhe tunggu sini biar Arra yang mengejar mereka" ucapku sembari berlari meninggalkan warteg
*
Mas Anton tertangkap dan kedua preman itu memukulinya, semua orang yang melihat tidak berani melerainya karena takut akan ikut kena pukul. Aku maju menutupi tubuh mas Anton yang hampir sempoyongan babak belur
"Tolong tolong stop memukuli kakak saya, beri kami waktu lagi untuk membayar hutang-hutang itu" ucapku mencoba menenangkan para preman
"Ah kamu sama saja dengan kakakmu, hanya bermulut manis"
"Saya janji akan melunasinya secepat mungkin" ucapku dengan nada memohon
"Gimana ini Ga?" tanya preman itu pada temannya
"Pasti bos akan marah jika kita tidak mendapatkan uangnya hari ini"
Tanpa pikir panjang preman itu mendorong ku dan kembali memukuli mas Anton, aku yang sedikit kesakitan mencoba melerai mereka. Hampir saja aku kena pukul jika tangan seseorang tidak menepis tangan preman itu
"Siapa kau? jangan ikut campur" ucap preman itu yang membuat ku membuka mata yang sedari tadi tertutup rapat karena takut preman itu akan memukul ku
"Pantang bagi seorang laki-laki memukul perempuan" ucap pria tersebut
"Alah jangan sok jadi pahlawan loe"
Tanpa basa basi preman itu menyerang laki-laki yang membela kami, namun dalam sekejap mata dua preman itu telah dikalahkan olehnya. Mereka tergeletak di tanah sembari memegangi bagian yang sakit, tiba-tiba laki-laki lain menghampirinya
"Tuan ada apa ini? " ucapnya pada laki-laki yang menolongku
"Tidak apa aku sudah membereskannya"
Preman-preman itu berdiri sembari menunjuk ke arahku dan mas Anton
"Awas kau Anton besok aku akan kembali dan siap menyeret keluarga mu dari rumah itu" ucapnya sembari berjalan tergopoh-gopoh
Setelah mereka pergi aku mengucapkan terimakasih pada laki-laki yang menolong kami tadi
"Terima kasih om" ucapku dengan membungkukkan sedikit badan
"Siapa namamu? "
"Saya? "
"Iya kamu"
"Saya Rainarra"
"Kalian tinggal dimana kalau boleh tahu? "
"Di rumah dekat ujung jalan itu, sebuah warung makan kecil"
"Bisa saya berkunjung kesana? "
"Embb boleh" ucapku dengan raut kebingungan
Kami berjalan bersama menuju warung, aku memapah mas Anton yang mau pingsan di bantu oleh teman laki-laki yang menolong kami. Di depan nampak budhe yang masih menunggu dengan wajah khawatir
"Ya Allah Anton kamu kok sampai begini" ucap budhe yang langsung membawa mas Anton masuk ke dalam rumah
"Silahkan duduk om, biar saya ambilkan minum"
Aku segera masuk ke dalam membuatkan minuman untuk mereka berdua lalu meletakkannya di atas meja
"Jadi ini rumah makan kalian? "
"Iya om"
"Sudah lama? "
"Alhamdulillah sudah berjalan sepuluh tahun ini"
Ia tersenyum sambil menatap sekeliling
"Bukan maksud saya mau ikut campur masalah kalian, tetapi saya dengar dari percakap preman-preman itu kakakmu memiliki hutang pada mereka"
Aku mengangguk pelan
"Kalau boleh tahu berapa? "
"Maaf om, tapi untuk apa ya om bertanya soal ini? "
"Sayang juga kalau rumah makan yang sudah berdiri lama harus tutup karena hutang, jika sudah berdiri selama itu berarti kalian mempunyai banyak pelanggan bukan? "
Aku kembali mengangguk
"Akan saya beli rumah makan ini supaya kalian bisa membayar hutang-hutang itu, sebagai gantinya kalian tetap bekerja disini seperti biasa"
"Tapi itu bukan hak saya untuk memberi keputusan om, warung ini milik budhe"
"Kalau begitu kamu bicarakan dengannya, ini kartu nama saya jika kalian setuju hubungi saja"
Laki-laki itu berpamitan lalu pergi meninggalkan secarik kertas kecil di atas meja.
*
Setelah menutup warung aku langsung masuk ke dalam rumah, aku hanya menemukan mas Anton duduk di depan televisi sembari memeluk toples camilan.
"Mas, budhe dimana? "
"Di kamar"
"Mas, apa mas Anton sudah menemukan solusi untuk melunasi hutang itu? "
"Belum"
"Lalu bagaimana mas jika besok preman itu benar datang dan menyita rumah ini? "
"Alah mereka tidak akan berani, mereka itu hanya rentenir ilegal tidak ada hukum"
"Mas jangan begitu, mereka saja berani memukuli kamu sampai seperti ini"
"Sudahlah tidak usah kamu pikirkan, sekarang pikirkan saja bagaimana cara kamu untuk bisa membantuku melunasi hutang-hutang itu"
Aku pergi tanpa bergeming lagi, rasanya hatiku sakit setiap mas Anton mengungkit tentang perihal aku yang masih belum bisa membalas semua kebaikan-kebaikan keluarganya.
*
Setelah mandi aku menemui budhe yang berada di meja makan menyiapkan hidangan, mas Anton yang baru bangun tidur nyelonong duduk dan mengambil piring.
"Ton sebaiknya mandi dulu sebelum makan" suruh budhe
Namun ucapan beliau seperti tak di indahkannya, mas Anton tetap melanjutkan mengambil lauk lalu duduk dengan sebelah kakinya yang di angkat ke atas kursi. Aku hanya menatap budhe yang sudah terbiasa dengan sikap mas Anton
"Budhe ada yang ingin Arra katakan"
"Ada apa ndok? "
"Budhe ingat dua laki-laki yang menolong mas Anton tadi? "
"Iya kenapa ndok? "
"Mereka menawarkan bantuan untuk melunasi hutang mas Anton"
"Bantuan apa Ra? " tanya mas Anton yang langsung menghentikan makannya
"Mereka mau membeli rumah ini untuk melunasi hutang kamu mas, tetapi mereka meminta agar warteg tetap jalan seperti biasa. Sebagai gantinya Arra dan budhe tetap berjualan dan keuntungan akan di bagi dua"
"Baguslah kalau begitu jadi kita tidak perlu pusing mikir hutang sekaligus cari tempat tinggal lain"
"Tapi rumah ini satu-satunya peninggalan bapakmu Ton" ucap budhe yang kembali dengan raut wajah sedihnya
"Lalu mau bagaimana lagi bu? apa ibu punya solusi lain untuk melunasi hutang-hutang itu? "
"Lain kali kalau kamu mau ambil keputusan bicarakan dulu sama ibu Ton"
"Anton sudah tahu pasti ibu tidak akan setuju, makanya Anton tidak membicarakannya dengan ibu"
Budhe sudah kehabisan kata-kata dan memilih meninggalkan meja makan, aku hanya dapat menghela nafas menghadapi sikap mas Anton yang terus menerus membuat ibunya sedih.
"Mas apa tidak kasihan sama ibu? "
"Kamu lagi Ra, ngapain juga harus bingung mikir solusinya kalau semuanya sudah ada di depan mata. Lagi pula kita masih bisa tinggal dirumah ini kok meski sudah di jual"
"Tapi kan beda mas rasanya"
"Kalau begitu kamu saja yang bayar hutang-hutang itu kalau tidak ingin rumah ini terjual, selama ini kamu sama sekali tidak ada kontribusi membantu keluarga ini. Apakah kamu tidak berfikir biaya kuliahmu itu tidaklah sedikit belum lagi kamu tidak menggunakan gelarmu itu untuk mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan"
"Bukannya tidak mau menggunakannya untuk mencari pekerjaan mas, tapi dari pada budhe harus membayar jasa karyawan lebih baik Arra yang membantunya saja"
"Halah banyak alasan kamu, dasar tidak tahu balas budi" ucapnya seraya mendorong kursi dan berlalu pergi
Aku hanya bisa tertunduk meneteskan air mata, menutup mulutku agar tak mengeluarkan suara. Andai saja mama tidak selingkuh dan meninggalkan ayah pasti aku tidak akan menjadi beban untuk orang lain, tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur.
...BU DIAH...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments