Dua minggu telah berlalu sejak pertemuan Aman dengan Pak Heri di rumah sakit. Selama dua minggu itu, Sani dan Aman juga sering bertemu untuk membahas perihal persiapan pernikahan mereka. Bahkan Sani telah mengemasi barang-barangnya dan membawanya ke kamar Aman dengan bantuan Sahir.
Dan setelah seluruh dokumen yang mereka perlukan untuk pernikahan lengkap, kini saatnya Aman dan Sani melangsungkan pernikahan.
Tak ingin Sani dan keluarganya khawatir akan mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya, Aman memutuskan untuk datang ke rumah Pak Heri dan menjemput Sani bersama Sahir dan Pak Adi, sang sopir.
Sesampainya di depan rumah Pak Heri, Aman, Sahir dan juga Pak Adi bergegas turun dari mobil dan menunggu Sani serta keluarganya di luar rumah.
Berbeda dari biasanya, aura yang dipancarkan Aman saat keluar dari mobil di hari itu sangat mempesona. Penampilannya begitu menawan dalam balutan sherwani dan shalwar berwarna gold.
Sahir sangat bangga melihatnya. Dia lah orang yang menyiapkan pakaian pernikahan mewah khas India itu untuk dikenakan Aman dan Sani di hari spesial mereka.
Meski Aman dan Sani telah sepakat menikah secara sederhana dan hanya dihadiri oleh orang terdekat mereka, namun Sahir tak ingin pernikahan sang atasan hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang mendalam bagi keduanya. Dan pakaian yang ia siapkan ini, akan menjadi saksi awal perjalanan rumah tangga mereka yang bisa dikenang saat tua nanti.
"Bagaimana perasaan anda, Tuan?" Tanya Sahir, berusaha mengusir kebosanan.
"Gugup, tapi bisa ku atasi!" Jawab Aman dengan wajah datarnya seperti biasa.
"Pastikan anda tidak mengulang ijab kabul!" Goda Sahir.
"Kau kira aku sebodoh itu? Percuma aku menjadi seorang komisaris kalau hal seperti ijab kabul saja tidak bisa ku atasi."
"Siapa tahu kali ini berbeda! Kebanyakan laki-laki mengalaminya. Rasa gugup yang berlebihan membuat mereka lupa dengan apa yang akan mereka ucapkan. Tapi itu hal yang wajar, jadi anda tidak perlu malu."
Mendadak Aman terdiam mendengar celotehan Sahir. 'Hal itu mungkin saja terjadi jika aku jatuh cinta teramat dalam dengan calon istriku. Masalahnya kami menikah bukan atas dasar cinta. Aku ingin menikah dengan Sani karena dia yang duluan melamarku!'
Tak bisa di pungkiri jika saat ini Aman belum mencintai Sani. Bahkan setelah beberapa kali bertemu sebelum menikah, ia belum bisa menumbuhkan rasa cinta dihatinya.
Namun bukan berarti Aman tidak memiliki perasaan suka terhadap Sani. Sikapnya yang dewasa dan hangat, membuat Aman merasa nyaman berada di dekatnya. Ia seakan mendapatkan teman hidup yang mampu mewarnai hidupnya yang monoton.
Selain itu, alasan Aman mantap menikahi Sani karena ia ingin melengkapi ibadahnya, merasakan hidup berumah tangga, tinggal bersama seorang wanita di satu atap yang sama dan menjadi imam untuknya.
Toh, Sani yang menawarkan lebih dulu untuk sama-sama mencoba menjalani hubungan dalam ikatan yang sah sebagai pasangan suami istri. Plusnya, ia bisa merasakan hubungan percintaan yang halal dengan gadis itu.
...****************...
Beberapa menit berlalu, Sani bersama Ayah dan Neneknya terlihat keluar dari dalam rumah. Mereka tampak sangat bahagia melihat sosok Aman yang berdiri di depan pintu mobil menunggu kedatangan mereka.
Momen itu sungguh mengharukan bagi mereka. Bagaimana tidak, masih sangat membekas dalam ingatan mereka ketika mempelai pria yang mereka tunggu kehadirannya tak kunjung datang, dan justru menyampaikan kabar buruk dengan cara yang tak pernah mereka duga.
Karena itu, sepanjang langkah menuju Aman, Pak Heri dan Nenek Hanum tak berhenti memanjatkan syukur atas kesediaan pria itu meminang putri dan cucu kesayangan mereka tanpa syarat apapun.
"Kalian sudah lama menunggu?" Tanya Pak Heri begitu ia berdiri di hadapan Aman dan Sahir.
"Belum terlalu lama, Pak!", Jawab Sahir.
"Kita berangkat sekarang?" Tanya Pak Heri setelah memastikan tak ada lagi yang mereka tunggu.
"Iya, Pak. Kami akan berangkat bersama Sani" Jawab Aman yang kemudian memberi isyarat pada Sani untuk berjalan ke arahnya.
Dengan langkah kecil, Sani berjalan menghampiri Aman. Ia terlihat sangat cantik dalam balutan Lehenga Choli berwarna gold dengan dupatta merah tergerai di punggungnya.
"Sudah siap untuk hari ini?" Aman tersenyum tipis pada Sani.
"Iya." Jawab Sani malu-malu.
"Kamu gugup?"
"Sedikit!"
"Kalian berangkat duluan. Kami akan menyusul dari belakang." Pak Heri menyela percakapan calon suami istri itu.
"Baik, Pak!" Jawab Aman lagi.
Setelah sepakat, mereka langsung berjalan ke kendaraan masing-masing.
Dengan cekatan, Pak Adi membuka pintu mobil untuk kedua calon pengantin, sementara Sahir sudah masuk lebih dulu melalui pintu depan kiri.
Pak Heri dan Nenek Hanum juga sudah masuk ke dalam mobilnya dan bersiap-siap menuju KUA.
...****************...
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, mereka akhirnya tiba di KUA dengan selamat dan tanpa hambatan. Pak Adi turun lebih dulu untuk membuka pintu, sementara Sahir sudah menunggu mereka di luar.
"Pak penghulu sudah mengirim pesan. Beliau menanyakan keberadaan kita. Sebaiknya kita masuk sekarang dan menunggu Pak Heri di dalam." Ajak Sahir
"Baiklah!" Jawab Aman, lalu mengalihkan pandangannya pada Sani.
"Kamu tidak keberatan kalau kita menemui penghulu duluan?"
"Tidak. Lagipula Ayah masih lumayan lama karena harus singgah di satu tempat."
"Kalau begitu kita masuk sekarang." Ajak Aman.
Sani mengangguk setuju dan mengikuti Aman yang berjalan selangkah di depannya, bersama Sahir dan Pak Adi.
Disaat mereka sedang berjalan menuju kantor KUA, pandangan orang-orang disekitar mendadak tertuju pada mereka.
Bukan tanpa alasan, ini pertama kalinya orang-orang melihat sepasang pengantin dengan pakaian mewah datang ke KUA untuk menikah. Biasanya pengantin dengan pakaian semewah itu akan mengadakan pernikahan di sebuah Hotel ataupun di Resort mewah. Terlebih pasangan itu datang dengan mengendarai mobil mewah.
Merasakan tatapan aneh itu, Sani merasa sedikit malu. Ia pun menarik ujung sherwani Aman, bermaksud menghentikannya dan memintanya untuk berjalan bersamanya.
Untungnya Aman langsung sadar dan langsung berbalik ke belakang
"Ada apa?" Tanya Aman dengan lembut.
"Boleh aku berjalan di sampingmu?" Tanya Sani sungkan.
Menyadari jika Sani merasa tidak nyaman, Aman pun mengulurkan tangannya.
"Tentu saja. Kau bisa memegang lengan bajuku."
Sani tersenyum lega. Dengan cepat ia melingkarkan tangannya di lengan Aman. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan segera menemui Pak Penghulu.
...****************...
"Kalian sudah siap?" Tanya Pak Mukadi, sang penghulu, setibanya Pak Heri dan Nenek Hanum di ruang akad. Kali ini wajah sang Penghulu tampak berseri-seri.
Pak Mukadi adalah Penghulu yang sebelumnya akan menikahkan Sani dengan mantan calon suaminya. Jadi alasan ia begitu senang hari ini, karena calon pengantin cantik yang gagal ia nikahkan waktu itu, akan ia nikahkan dengan pria yang jauh lebih tampan dari mantan calon suami yang dulu.
"Sudah, Pak!" Jawab mereka kompak.
"Kali ini harus langgeng sampai maut memisahkan yah!" Pak Mukadi melirik ke arah Sani dengan tatapan yang begitu dalam maknanya.
"Iya, Pak!"Jawab Sani dengan senyum miris.
"Kalau begitu, kita segera mulai akadnya."
Setelah duduk di masing-masing tempat, mereka pun memulai rangkaian proses ijab kabul.Pak Heri terlihat tak dapat menahan kesedihannya, ketika menyerahkan tanggung jawabnya menikahkan sang putri pada sang penghulu.
Pak Adi dan Sahir yang menjadi saksi, tampak serius mengikuti rangkaian demi rangkaian proses ijab kabul Aman dan Sani. Hingga tiba saat dimana Pak penghulu menanyakan kata sah pada mereka berdua.
Setelah saksi mengatakan sah, air mata Sani perlahan mengalir membasahi kedua pipinya. Tak dapat ia lukiskan bagaimana perasaannya saat mendengar kata sah dari bibir Pak Penghulu.
Sementara Aman terlihat begitu tenang dan tak berhenti mengucap rasa syukur dalam hati karena telah berhasil melewatinya dengan lancar tanpa hambatan.
"Sekarang kalian sudah sah sebagai sepasang suami istri. Silahkan pakaikan cincin di jari manis suamimu, lalu kecup punggung tangannya, nak Sani," ucap Pak Mukadi
Sani meraih cincin yang ada di atas meja dan berbalik ke arah Aman. Ia dengan lembut meraih tangan Aman, menyematkan cincin di jari manisnya dan mengecup punggung tangannya. Seketika ia merasakan debaran aneh di jantungnya. Seolah darahnya berdesir, memenuhi seluruh rongga tubuhnya.
"Kini giliran nak Aman yang memasangkan cincin di jari manis nak Sani dan mengecup keningnya sebagai tanda awal hubungan kalian sebagai sepasang suami istri yang halal."
Aman meraih cincin di atas meja dan menyematkan cincin bermahkota kan berlian ke jari manis gadis yang telah sah menjadi istrinya. Ia memegang pipi Sani, lalu dengan lembut mengecup keningnya. Ini pertama kalinya ia mencium seorang wanita, selain Ibu dan Neneknya.Karena itu, jantung Aman berdegup dengan kencang.
Setelahnya, mereka melanjutkan sisa rangkaian proses ijab kabul hingga selesai.
...****************...
"Apa kamu akan langsung ke rumah nak Aman?" Tanya Nenek Hanum pada Sani usai makan siang bersama di sebuah Restaurant.
"Iya, Nek. Semua barang-barang Sani kan sudah ada di sana."
"Apa mau kami antar?" Gantian Pak Heri yang bertanya.
Baru saja Aman ingin mengiyakan, Sani sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Ayahnya.
"Tidak usah, Yah! Lebih baik Ayah dan Nenek pulang dan beristirahat. Besok Ayah pasti akan sibuk di kantor karena Sani sudah tidak bekerja. Om Gilang juga baru datang tiga hari lagi." Sani mengingatkan
"Kalau begitu kami pulang ya!" Pamit sang Nenek sambil memeluk dan mengecup pipi cucunya.
Sebelum pergi, Pak Heri berjalan sebentar ke mobilnya untuk mengambil sebuah tas tenteng, lalu memberikannya pada Sani.
"Ini tas yang tadi kamu titip di mobil Ayah."
"Terima kasih, Yah!" Sani memeluk Pak Heri, lalu mengecup kedua pipinya.
"Ayah baik-baik ya di rumah. Sani akan datang berkunjung ke rumah kalau Aman ada waktu."
"Iya. Hati-hati ya, nak. Telepon Ayah kalau ada apa-apa."
"Nak Aman, tolong jaga Sani ya!" Kata Pak Heri lagi.
"Tentu, Ayah!" Ucap Aman
Setelah berpamitan, Pak Heri dan Nenek Hanum segera naik ke mobil dan meninggalkan Sani dan Aman yang masih berdiri di tempatnya.
Sani tak berhenti melambaikan tangan, hingga mobil Ayahnya tak nampak lagi. Air matanya tampak menggenang, namun ia berusaha menahannya.
"Kita pulang sekarang?" Ajak Aman, berusaha mengalihkan perhatian Sani. Ia meraih tangan Sani dan menggenggamnya dengan erat.
Sani mengangguk sambil memperlihatkan senyum manisnya pada Aman.
Keduanya pun segera menuju ke mobil, dimana Sahir dan Pak Adi sudah menunggu sejak tadi.
Begitu mereka masuk, Pak Adi bergegas menyalakan mesin mobil dan melaju menuju gedung perusahaan yang juga menjadi rumah bagi Aman.
...****************...
Aman baru saja membuka pintu kamarnya yang berada di lantai lima puluh satu gedung miliknya dan mengajak Sani masuk ke dalam.
Ini pertama kalinya Sani melangkahkan kaki ke dalam kamar itu. Sebelumnya, barang-barang miliknya dibawa oleh Sahir dan disusun dengan rapi di ruang ganti oleh asisten rumah tangga Aman.
Begitu masuk ke dalam kamar, Sani langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Wajanya tampak takjub melihat kamar yang lebih cocok disebut apartemen.
Dinding luar yang mengelilingi seluruh ruangan terbuat dari kaca, hingga pemandangan kota Jakarta yang dipadati oleh gedung pencakar langit, perkantoran dan hotel dapat terlihat dari dalam.
Terdapat dapur yang cukup luas, tepat di samping pintu masuk dan berhadapan langsung dengan foyer. Dapur itu dilengkapi meja bar, perabot modern dan kitchen set berwarna silver. Di depannya ada meja makan panjang yang terbuat dari kaca berwarna hitam, dengan jumlah keseluruhan kursinya dua belas buah.
Di area tengah, terdapat ruang tamu tanpa sekat yang juga berfungsi sebagai ruang tengah dan ruang nonton. Sofa besar berwarna coklat gelap mengelilingi ruangan tersebut membentuk huruf U dan mengarah ke sebuah meja dengan TV ukuran 115 inchi di atasnya.
Sementara di belakang meja TV, terdapat sebuah pintu dan juga tangga yang menuju ke lantai dua. Dari tempat Sani berdiri, ia bisa melihat balkon lantai dua yang dipenuhi alat fitness, serta dua ruangan yang berdampingan. Di sebelahnya, ada sebuah tangga yang mengarah ke sebuah lorong.
"Kamar kita tepat di belakang meja TV. Ruangan diatas itu adalah kamar khusus dan ruang laundry. Tangga disebelahnya mengarah ke rooftop. Disana ada kolam renang juga tempat menjemur pakaian." Aman menjelaskan dengan detail kepada Sani.
"Kamu tidak masalah kan kita tidur sekamar?"
Pertanyaan Aman berikutnya berhasil membuat wajah Sani merona. Ia mengerjapkan matanya dan memalingkan wajahnya dari Aman.
Melihat reaksi Sani, Aman pun tersenyum tipis seperti biasa. Ia meraih tangan Sani, lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar mereka yang ternyata sangat luas.
Aman membawa Sani ke ruang ganti, dimana sebagian wardrobe nya telah di isi oleh barang-barang Sani. Bahkan ada beberapa tas, sepatu dan long dress yang setahu Sani bukan miliknya, ikut dijejer dengan barang-barangnya.
"Sahir sangat antusias menyambutmu, sampai-sampai membeli beberapa barang baru untukmu. Maaf kalau seleranya tidak sesuai dengan seleramu. Aku harap kamu tidak keberatan dan mau memakainya"
"Pfft", Sani berusaha menahan tawa dengan membekap mulutnya.
Melihat Sani berusaha menahan tawa, Aman hanya mengernyitkan sebelah alisnya.
"Ini ide Sahir ya?!" Tanya Sani.
Menyadari maksud pertanyaan Sani, Aman langsung tertunduk malu dan menepuk jidatnya pelan.
"Maaf! Harusnya aku yang menyiapkan semua ini untukmu. Sebelumnya aku tidak punya pengalaman dengan wanita, jadi....."
Belum sempat Aman menyelesaikan ucapannya, Sani sudah lebih dulu bersandar di dadanya. Ia melingkarkan tangannya yang kecil ke pinggang Aman tanpa rasa canggung sedikit pun.
"Terima kasih karena telah menerimaku dengan tangan terbuka." Sani mempererat pelukannya. Ia memejamkan mata, merasakan kenyamanan dalam pelukan Aman.
Mendapat perlakuan yang tiba-tiba seperti itu, Aman cukup terkejut. Jantungnya berdegup kencang, seperti saat ia pertama kali mengecup kening Sani.
Meski terlihat gugup, namun Aman berusaha untuk tetap tenang dan menggunakan instingnya sebagai seorang pria. Dengan pelan ia melingkarkan tangannya ke tubuh Sani, lalu membelai rambut belakangnya sambil mengatur nafas.
"Karena kita menikah tanpa saling mengenal satu sama lain, aku ingin kita memulainya dari sekarang. Aku akan menunjukkan diriku yang sebenarnya padamu secara perlahan dan ku harap kamu tidak terkejut."
Sani mengangguk lalu mendongak untuk melihat wajah Aman. Ia berjinjit , lalu mengecup bibir Aman sekilas. Setelah itu, ia kembali membenamkan wajahnya di dada Aman sambil tersenyum malu.
Mendapat serangan tiba-tiba dari Sani, Aman sempat tercengang sesaat. Namun tak lama kemudian, ia tersenyum, meski lagi-lagi senyumnya begitu tipis.
"Bagaimana kalau kita salat Zuhur dulu? Kita belum sempat salat di Restaurant tadi." Ajak Aman, berusaha meredakan debaran jantungnya karena Sani masih saja memeluknya.
Sani mengangguk pelan, lalu melepaskan pelukannya. Ia terus menunduk, tak berani menatap wajah Aman. Membuat Aman gemas akan tingkah istrinya yang malu-malu kucing.
'Ternyata dia punya sisi kekanak-kanakan!'
"Kamu ke kamar mandi duluan"
Dengan patuh Sani mengikuti perkataan Aman.
Sementara itu, Aman hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Sani. 'Sepertinya aku yang lebih banyak terkejut dengan sikapnya.Ternyata banyak hal yang berbeda dari sikap yang dia tunjukkan padaku beberapa minggu ini '
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments