"Tuan, sudah cukup!"
Seorang lelaki muda dengan tampilan stylish juga bertubuh kekar meraih minuman yang hendak diteguk oleh pria di sampingnya.
Wanita cantik nan seksi yang sejak tadi mencumbunya sudah pergi sejak beberapa menit lalu, sebab ia tidak mau diajak menghabiskan malam bersama.
Entah apa yang membuatnya begitu tertarik pada pria dewasa itu. Sejak ketidaksengajaan yang tadi terjadi, ia merasa ada sesuatu yang menahan diri untuk tetap berada di sana bersamanya.
Kini kedua mata mereka saling menatap. Dilihatnya mata memerah juga wajah yang basah. Sedikit lelaki muda itu mengerutkan keningnya. Menatap sosok lelaki dewasa yang hampir menua, mengingatkan diri pada keadaannya kini.
"Aku tidak ingin seperti dia ketika tua nanti!" hatinya menolak akan takdir yang dipilih.
Ia mengembuskan napas besar sebelum berucap.
"Tuan, terlalu banyak minum tidak baik untuk kesehatan Anda!"
Sambil memegang lengan yang dibalut kemeja berwarna hitam, lelaki muda itu perlahan meneguk minuman yang seharusnya diberikan untuk pria dewasa.
Gelas diletakkan di atas meja bar. Minuman memabukkan itu telah habis ditenggaknya. Lelaki dewasa yang duduk di depannya hanya menatap dengan tatapan sayu.
Ia merasakan sesuatu dalam dirinya telah hancur. Sangat hancur seakan hati dirasa telah mati. Tidak sanggup lagi mengambil langkah yang hanya mendapat cacian. Kesalahan di masa lalu tidak bisa ia selesaikan. Bahkan kini yang terjadi semakin membuat hidupnya berantakan. Ia sama sekali tidak mendapatkan ketenangan.
"Apa masalahmu anak muda?"
Dengan suara serak lelaki dewasa itu bertanya. Ia bahkan tidak mengusik apalagi mengenalnya. Lalu mengapa lelaki ini begitu perhatian padanya. Begitulah kira-kira ungkapan yang hanya berbisik dalam hati.
"Anda sudah terlalu banyak minum. Lebih baik saya antar, Anda pulang."
Sambil mengeluarkan kartu kendali kehidupannya dari dalam dompet, lelaki muda itu berdiri. Meletakkan benda tersebut di atas meja bar.
"Sekalian billnya!"
Sambil menggerak kepalanya ke samping. Mengarah pada sosok lelaki dewasa yang telah mabuk berat itu. Seorang pelayan mengangguk paham.
Beberapa menit setelah urusan di dalam bar tersebut selesai, Lelaki muda itu membopong tubuh pria dewasa yang telah mabuk ke dalam mobilnya. Ia tidak ingin mengambil pusing. Sejak tadi pria dewasa itu hanya mengatakan "Maya, maafkan aku."
Hingga mau tak mau, lelaki itu harus berinisiatif untuk mencari cara supaya bisa mengantarkan pria yang duduk di dalam mobilnya itu pulang ke rumahnya.
"Maya."
Membuang napas besar. Sama sekali ia tidak menemukan nama Maya di kontak ponsel pria dewasa itu.
"Astaga, apa nama panggilannya?"
Bermonolog sendiri sambil terus menggeser nama-nama di kontak ponsel tersebut.
"My Sweetty."
"Sweet heart."
"Honey."
"Mami."
"Eh ... Kalau mami atau mama, takut nama kontak untuk orang tuanya."
Sebuah nama panggilan yang dirasa tidak cocok untuk dihubungi. Kemudian kegiatan itu diulang lagi dengan kembali mengetik nama pada pencarian di kontak ponsel.
"Cintaku."
"Sayangku."
"Putriku."
"Putraku."
"Anakku."
Membuang napas besar.
"Astaga, kenapa tidak ada yang muncul!"
Sedikit kesal dirasa. Ia pun mengusap wajahnya kasar dengan menahan sedikit rasa pusing akibat meneguk minuman tadi.
Ada sejumput rasa putus asa dan ingin membawa lelaki itu ke hotel saja. Tapi seketika ia teringat pada sebuah nama tersimpan yang sering ia dengar.
"Bagaimana jika My love atau My Lovely?"
Mulutnya tiba-tiba terbuka lebar merasakan kelegaan. Ia menemukan sebuah nama yang baru saja di tulis. Menyambungkan panggilan pada nama kontak "My lovely".
"Halo, Assalamualaikum."
Suara lembut yang diimbangi dengan suara khas dari orang bangun tidur pun terdengar setelah sekian detik berdering.
Seketika itu ia menelan ludahnya kasar. Tidak tahu mengapa, mendengar suara seorang wanita dari seberang sana membuatnya gugup.
"Ya ... Waa ... Wa'alaikumsalam."
"Halo, Pa. Papa kenapa menelpon jam segini?"
Suara lembut itu terdengar lagi dan cukup menenangkan hati. Bahkan sekedar mengucapkan keadaan lelaki yang dipanggil oleh wanita itu dengan sebutan "Papa" saja ia seolah kebingungan. Seperti kehabisan kata-kata.
"Emm ... Itu ... Papa ..."
"Maksudnya, Paman."
Melirik sekilas ke arah pria dewasa yang sudah tidak sadar duduk di sampingnya.
"Maaf ... Papa maksud saya."
Dari seberang sana seorang gadis telah terbangun dari tidur lelapnya. Ia memposisikan diri untuk duduk sambil bersandar pada tepian ranjang.
"Maaf ini dengan siapa, ya? Apa terjadi sesuatu pada papa saya?"
Tidak sabar menunggu rangkaian kata yang akan terucap. Gadis itu pun segera mendesak lelaki yang sedang menelpon dirinya.
"Begini, Nona." Ada perasaan ragu ketika ingin mengutarakan kenyataan.
"Papa Nona sedang mabuk berat."
"Hah ... Bagaimana bisa?" Sahut gadis yang berada diseberang telepon dengan cepat.
Terkejut saat mendengar papanya mabuk. Sebab gadis itu belum pernah melihat lelaki gagah yang dipanggilnya "Papa" adalah seorang pemabuk.
"Ya!" Reflek lelaki tampan itu mengangguk.
"Apa bisa kamu mengirimkan lokasi rumahmu sekarang? Biar saya antar pulang ke rumah."
Sedikit mengerutkan keningnya gadis cantik yang merasa ragu kini.
"Apa ini benar-benar nomor papa? Bagaimana jika ini adalah modus pencurian ?" batin gadis itu meragu.
"Bagaimana jika kamu memfoto keadaan papaku sekarang? Baru nanti akan kukirim lokasi rumah."
Hening sejenak.
"Hanya untuk berjaga-jaga jika ini bukanlah penipuan."
Cerocos gadis itu tanpa disaring terlebih dulu. Barulah kini ia menepuk jidatnya saat mendengar seseorang di seberang sana sedang tertawa renyah seolah sedang menertawai dirinya.
"Ya ... Baiklah, Nona! Saya tunggu pesan lokasi rumahmu!"
Tut.
Begitu saja panggilan diakhiri tanpa adanya salam sebagai sesama muslim. Gadis yang masih mengantuk itu hanya menggelengkan kepalanya.
lima detik mungkin, sebuah pesan dari ponsel papanya yang kini telah menunjukkan sebuah gambar diri seorang pria tidak sadar sedang duduk bersandar pada jok mobil.
"Semoga ini bukan penipuan."
Masih merasa sedikit ragu sebenarnya. Tapi ia memberanikan diri untuk berbagi lokasi pada ponsel papanya. Berharap ia tidak salah dalam mengambil keputusan.
"Bismillahirrahmanirrahim. Semoga dia orang baik!"
Dan centang dua pun berubah menjadi warna biru. Pesannya telah dibaca. Ada hati yang sedang merasakan kegelisahan. Tidak mau ia sendiri yang merasakan keganjalan itu. Segera gadis itu menghampiri sang ibu yang kamarnya bersebelahan.
Tok tok tok
Tok tok tok
Beberapa menit berlalu yang akhirnya membuahkan hasil. Mungkin sekitar lima menit gadis dengan piyama merah itu mengetuk pintu.
"Astaga Shanum, ada apa sih, bangunin ibu jam segini? Waktu subuh masih lama!"
Sedikit kesal wanita berusia kepala empat itu menanggapi tingkah putrinya. Bagaimana tidak, hari Rabu baru saja terganti dan kini ia harus membuka mata karena ketukan pintu dari putrinya.
"Ibuk, ihhh ...."
"Jangan marah dulu! Shanum baru saja dapat telepon dari ponsel Papa, tapi ...."
Sudah cukup serius wanita dengan gaun tidur berwarna putih itu mendengarkan pengakuan dari putih, sayang ceritanya terhenti begitu saja.
"Tapi apa Shanum?"
Ia mulai merasa penasaran saat mendengar kata "Papa". Seolah ada sesuatu yang harus ia ketahui.
"Tapi yang menelpon Shanum bukan papa, Buk."
"Shanum takut jika ini hanya penipuan," sambungnya cepat.
Sejenak Maya berpikir.
"Kenapa bisa kamu bilang penipuan? Memangnya dia bilang apa?"
Dibuat bingung dan juga penasaran pada cerita Shanum yang tidak lengkap.
"Begini, Buk. Laki-laki itu bilang jika dia akan mengantarkan papa pulang, katanya papa sedang mabuk berat."
"Karena Shanum takut ini penipuan akhirnya Shanum minta tolong fotoin keadaan papa."
Sambil ia menunjukkan sebuah potret dari layar ponselnya. Gadis itu menatap wajah ibunya yang tampak serius menatap foto seseorang dari dalam ponsel tersebut.
"Terus kamu kirim alamat rumah kita?"
Seketika itu ibunya panik. Ia tahu jika jok mobil yang sedang diduduki oleh lelaki itu sangat asing. Dirinya cukup hafal jika itu bukan mobil milik suaminya.
"Iya, Buk." Jawab Shanum polos sambil mengangguk.
"Astaghfirullah halazim, Shanum!"
Seketika itu Maya berlari masuk ke dalam kamarnya. Untuk berjaga-jaga ia ingin berkonsultasi pada seorang teman yang berprofesi sebagai seorang polisi.
Disusul oleh Shanum yang kini melangkah masuk ke dalam kamar ibunya. Ia menatap seisi kamar dengan pandangan takjub.
"Sejak kapan kamar ibu menjadi sangat romantis begini?" batin Shanum keheranan saat melihat ada beberapa rangkaian bunga di sudut kamar juga harum yang segar. Gadis itu merasa terkejut melihatnya.
"Kapan terakhir kali aku masuk ke kamar ini?" batin Shanum kembali bersuara.
"Astaga, Himawan tidak mengangkat panggilannya!"
Seketika gadis itu mengalihkan pandangannya. Shanum tersadar. Ia menatap sosok ibunya yang terlihat kesal.
Keadaan seketika mencekam saat terdengar samar suara deru mobil yang ada di luar halaman rumah.
"Sepertinya itu dia!" celetuk Shanum begitu saja.
Segera Mata melangkah ke arah jendela kamar. Disibakkan sedikit tirai putih yang membingkai jendela tersebut.
"Shanum, pagarnya lupa kamu kunci lagi!"
Dengan sedikit kesal Maya menolehkan kepala ke arah Shanum yang berdiri di belakangnya.
"Maaf, Buk."
Nyengir kuda gadis itu. Merasa bersalah juga menyesal atas kecerobohannya.
"Aduh bagaimana ini?"
Lirih Maya berucap sambil terus memantau gerakan seorang pria dengan tubuh kekar juga penampilan yang cukup menambah kadar ketampanan yang dimiliki.
Seorang lelaki tampak perlahan membuka pintu gerbang rumahnya tidak begitu lebar. beberapa detik lelaki itu tidak terlihat. Muncul kembali dengan menuntun seorang pria tidak sadarkan diri.
Mengerut kening Maya melihat sosok lelaki yang tidak berdaya itu.
"Apa dia benar-benar Radit?"
Tidak menampiknya, sebab ia tahu kebiasaan Radit setelah ditinggalkan olehnya. Pria itu memang sering mabuk-mabukan.
"Buk, gimana?"
Shanum hanya diam menunggu aba-aba dari ibunya. Sayang Maya tidak bisa jelas melihat wajah pria itu.
Yang kemudian terdengarlah suara berbunyi. Tidak ada seorang pembantu yang akan membukakan pintu jika bukan mereka berdua.
"Baiklah, kita coba lihat saja!"
Yang akhirnya, kedua wanita itu mulai mengambil langkah untuk turun ke bawah dan membuka pintunya.
Ting tong
Sekali lagi terdengar. Entah sudah berapa kali dipencet oleh lelaki yang berada di luar sana.
"Tunggu sebentar!"
Teriak Maya yang disusul dengan gerakan langkah kaki cepat.
Ceklek
Pintu dibuka perlahan dan semakin lebar. Kini tampaklah kedua orang yang sedang berdiri di depan rumahnya. Pada pukul satu dini hari.
Suaminya yang mabuk berat juga pria muda yang sepertinya setengah mabuk. Maya bisa menilai lelaki macam apa yang sedang berdiri di samping suaminya.
Lengan kemeja dilipat sebatas siku, juga kancing bagian atasnya terbuka hingga dua kancing yang menunjukkan sebuah gambar di dadanya. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih.
Maya menelan ludahnya. Ia berpikir negatif pada sosok pria tampan yang ia pikir jika lelaki muda itu ialah pemain handal.
"Ah ... Anak muda, terimakasih telah membawa suami saya pulang."
Cepat Maya mengambil alih Radit dalam sandaran lelaki tampan tersebut.
"Shanum! Shanum! Shanum!"
Maya memanggil putrinya yang kini entah kemana.
"Biar saya bantu, Nyonya."
Maya yang terlihat tidak kuat menahan berat badan suaminya mengundang rasa iba lelaki itu.
Menggelengkan kepalanya Maya.
"Tidak, anak muda. Tidak perlu! Biar putri saya saja!"
Tersenyum tipis wanita itu pada lelaki muda yang masih berdiri di depan rumahnya.
"Sekali lagi terimakasih!"
Sedikit kesusahan Maya membawa masuk suaminya.
Baru saja dua langkah dibawanya Radit dalam sandarannya. Wanita itu hampir saja menjatuhkannya jika tidak lelaki muda itu meraih tubuh Radit yang hampir terjungkal.
"Astaghfirullah halazim! Papa!"
Teriakkan seorang gadis dari dalam rumah yang kini telah memakai penutup kepala sambil berlari.
"Ayo bantu Ibuk!"
Cepat Shanum menghampiri mereka ayah dan ibunya juga seorang lelaki yang begitu dikenalnya.
Shanum menelan ludahnya kasar. Menatap sejenak saat kini tangannya telah memegang lengan sang ayah. Mengambil alih sandaran diri dari lelaki itu.
"Pak, Pak Ken?"
Mereka berdua masih saling menatap dengan sesekali Shanum menatap ibunya yang mengatakan "ayo bawa papa kamu masuk".
Dan lelaki itu terpaku di tempatnya. Tidak tahu lagi apa yang kini sedang ada dalam benaknya. Ia hanya terdiam tanpa berniat menanggapi ucapan terimakasih dari Shanum.
"Terimakasih!"
Dibawanya masuk sosok Radit yang tidak sadarkan diri. Ken masih terdiam mematung di tempatnya sambil terus menatap ke arah pintu yang bahkan kini telah tertutup.
"Apa lelaki yang waktu itu adalah ...?"
Ken tersenyum tipis menanggapi suara hati yang entah mengapa terasa cukup memuaskan bahkan membuatnya begitu bahagia.
Bersambung ....
Jangan lupa like dan komennya!
Terimakasih ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
aqil siroj
ini yg sahabatnya shanum namanya alina... sedang anak lainnya radit hana atau alina juga kak...
jadi bingung bacanya
2023-12-18
0
Riri
cieee ada kesempatan kan....
2023-12-18
0
Riri
😅😅😅 kartu pengendali kehidupan ya...
kreatif amat author
2023-12-18
0