"Minggu depan Ibu ada pesanan kue tart untuk acara ulang tahun."
Mereka berdua saling memandang di sela-sela suapannya. Menikmati makan malam bersama seperti yang dilakukan setiap harinya.
"Ya, memangnya ada apa, Bu?"
Wanita cantik yang dipanggilnya dengan sebutan "ibu" itu meneguk segelas air karena dirasa seret tenggorokannya.
"Ibu minta tolong kamu yang anterin, ya! Soalnya Ibu malas ketemu sama dia."
Shanum mengangguk seolah paham.
"Kenapa Ibu malas? Bukannya itu pelanggan Ibu!"
Maya mencembikkan bibir.
"Namanya Indah, dia teman Ibu pas kuliah dulu. Sekarang dia sudah menjadi istri dari seorang pengusaha. Kenalannya sudah banyak, apalagi dia ikut arisan antar istri-istri pengusaha gitu. Ibu nggak PD aja ketemu sama dia."
Shanum meneguk segelas air. Ia telah menyelesaikan acara makan malamnya. Sayang, dirinya masih belum bisa memahami cerita ibunya.
"Minggu depan, ya?"
Shanum sejenak berpikir, sebab ia takut jika hari itu dirinya sudah ada jadwal untuk perkumpulan khatam Al-Qur'an seperti biasanya.
"Kamu sudah ada janji?"
Maya meyakinkan.
Sambil menggelengkan kepalanya, Shanum menjawab.
"Sepertinya tidak ada acara baca Al Qur'an."
Shanum kembali berucap, "Nganternya pagi apa malam?"
Ibunya tersenyum puas.
"Acaranya jam 7 malam. Kamu bisa berangkat jam 5 an. Nanti kalau jalanan macet, kamu bisa nunut sholat di sana. Biar Ibu, nanti yang bilang."
Shanum sedikit mengerutkan keningnya. Merasa ada yang mengganjal.
"Memang rumahnya jauh dari sini, Bu?"
Maya mengangguk mengiyakan.
"Gimana, nanggung banget kalau nganterin jam 5, Bu. Habis Maghrib saja apa boleh?"
Maya tampak terdiam sejenak. Ia sedang berpikir.
"Apa tidak terlalu mepet, Sayang?"
Kembali Maya bersuara, "Ibu takutnya kamu terlambat datang."
"Yasudah kalau gitu."
Akhirnya Maya bisa tersenyum puas. Dilihatnya kini gadis kesayangan telah beranjak dari duduknya. Ia membawa piring kotor menuju westafel.
Bagi Shanum, mengerjakan pekerjaan rumah sudah biasa seperti halnya mencuci piring bahkan memasak. Ia cukup bisa diandalkan.
Rumah sebesar dan semewah itu hanya ditinggali oleh dua orang. Untuk mengerjakan pekerjaan rumah, mereka tidak pernah mengeluh bergantian menjaga kebersihan dan kerapian seisi rumah.
Kehidupan gadis itu hanya melingkupi keluarga kecilnya saja. Kehidupan sosialnya cukup minim. Sebab ia rasa, selalu bersama dengan ibunya saja sudah lebih dari cukup. Bahkan ia sudah beberapa tahun terakhir tidak pernah berjumpa lagi dengan saudara kandung yang berbeda ibu.
Hubungan mereka sebenarnya masih sangat baik, sayang Shanum tidak seramah itu untuk berkunjung apalagi keluar bersama dengan Alina Romanio.
Di samping itu, ia merasa kurang nyaman saja berhubungan baik dengannya, sedangkan ia masih sangat canggung ketika berada di dekat ayah biologisnya. Meskipun tidak jarang Radit berjumpa bahkan bersama seperti hal yang terjadi kemarin.
"Syukurlah, Ibu jadi tenang. Sekalian nanti kamu ikut juga di acaranya. Gantiin Ibu."
Maya kini beranjak dari duduknya dan menghampiri Shanum yang sedang mencuci piring. Ditaruhnya piring kotor bekas dipakai olehnya.
"Astaga, Ibu. Mana bisa begitu, Shanum malulah! Nggak ada yang kenal."
Terlihat Maya tersenyum tipis.
"Anaknya yang ulang tahun itu berusia 17 tahun, Sayang. Siapa tahu nanti di sana kamu dapat jodoh."
Kini Maya berbalik badan untuk membereskan sisa makanan yang ada di atas meja.
"Ibu, Ihhhh ... apaan, sih! Mana mau Shanum sama brondong!"
Terdengar seketika tawa lepas yang keluar dari mulut Maya. Shanum hanya membuang napas besar menanggapi keadaan.
"Ada-ada saja, Ibu ini!"
Selesai melakukan kegiatannya, begitu pula yang dilakukan oleh Maya.
"Oya, Bu!"
Hampir saja langkah dibawanya pergi dari ruang makan yang juga menjadi satu dengan dapur.
Tampak kini kedua anak dan ibu itu saling menatap. Shanum sedang menahan rasa penasaran yang sangat ingin diluapkan.
"Kenapa?"
Tanya Maya sembari memasukkan makanan ke dalam kulkas kemudian.
"Itu mobil papa kenapa masih ada di depan? Memangnya belum dibenerin orang bengkel?"
Seketika gerakan tangan Maya terhenti. Sambil ia perlahan meletakkan semangkok sup semur telor ke dalam lemari es, wanita itu memejamkan mata erat-erat untuk mengusir kilas cerita yang terjadi siang tadi. Merasakan kembali sesuatu yang menyakitkan hati.
"Mungkin besok baru dibenerin."
Cepat Maya menjawab. Hati tak dapat lagi membendung kehancuran. Seketika air di pelupuk mata mulai merembes. Sangat pedih seakan disayat dengan pisau tajam.
"Bu!"
Shanum memperhatikan keadaan ibunya dari belakang. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apalagi Maya tidak menjawab panggilan putrinya. Sebab dirinya sedang mencoba bertahan untuk tidak menangis.
Perlahan dibawa langkahnya semakin mendekat. Samar-samar Shanum mendengar suara Isak tangis yang menyayat hatinya. Seketika gadis itu menepuk pundak ibunya.
"Kenapa ibu menangis?"
Tidak disangka-sangka, tangisan ibunya pecah begitu saja. Wanita cantik yang telah melahirkannya itu menangis meraung-raung. Shanum masih belum bisa meminta penjelasan. Ia hanya bisa termangu dengan keadaan memeluk ibunya.
Meskipun diri tidak mengerti akan keadaan sang ibu. Terlihat Shanum turut menitihkan air mata saat hati tidak sanggup menahan suara tangis yang begitu menyakitkan.
"Ibu rasanya tidak kuat seperti ini terus!"
"Ibu tidak sanggup, Shanum!"
Tubuh Maya merosot perlahan masih dengan keadaan menangis pilu. Ia telah muak pada kehidupannya yang terombang-ambing oleh ikatan cinta.
"Kenapa, Bu? Apa yang telah terjadi?" Shanum bertanya dengan nada yang sangat lirih.
Mereka berdua akhirnya duduk di bawah. Merasakan lantai dingin yang menyentuh kulit kaki.
"Apa yang harus Ibu lakukan pada Papamu?"
"Ibu tidak ingin terus terikat dengan hubungan seperti ini!"
Seketika Shanum ikut menangis. Ia tahu bagaimana tegarnya sang ibu dalam memerangi kehidupan yang menyakitkan ini.
"Ibu tidak ingin terus seperti ini!"
"Ibu takut jika nanti Ibu khilaf dan melakukan kesalahan!"
Sesenggukan Shanum mendengar suara yang bergetar akibat menangis pilu.
"Ibu!"
Shanum menggelengkan kepalanya, ia tidak sanggup mendengar suara hati yang begitu menyakitkan baginya.
"Apa yang harus Ibu lakukan?"
"Shanum, hati Ibu mulai terbuka untuknya!"
Kali ini mereka berdua saling berpelukan dengan keadaan menangis pilu. Apa yang bisa mereka perbuat jika seseorang yang mereka rindukan kehadirannya telah terikat erat dengan orang lain.
Inilah yang Maya takutkan sejak lama. Sebabnya ia sangat yakin ketika dulu meminta cerai. Sebab rasa cintanya pada lelaki itu begitu besar bahkan tidak tergantikan sepertinya.
"Maafkan Ibu, Sayang! Ibu mulai bisa menerimanya."
Terlihat dalam pelukan ibunya, Shanum menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia masih belum siap menerima kehadiran ayahnya dalam kehidupan yang dirasa sudah sangat cukup meskipun tanpa hadirnya sosok ayah.
"Maafkan Ibu, Sayang! Maafkan Ibu!"
Dalam keadaan diri yang terpuruk. Maya mencoba bertahan. Hatinya begitu menginginkan kehadiran cinta yang sangat ia rindukan. Sejak kejadian malam itu, dimana Radit menangis saat bercerita dan menyesali perbuatannya, Maya mulai luluh hatinya.
Dalam hati terdalam wanita itu terus saja berbisik, jika dirinya masih sangat pantas merebut lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya.
Begitu mantap hati kecilnya menginginkan kehadiran Radit dalam keluarga kecilnya yang selama ini terasa sunyi tanpa adanya cinta kasih yang sempurna. Sempat terlintas sebuah penyesalan, tapi ia telah mengikisnya dengan harapan baru yang akan diperjuangkan.
"Aku akan membawamu kembali pulang, Radit! Putriku juga berhak merasakan kasih sayang darimu!"
Hati Maya berteriak sambil merasakan kesungguhan yang perlahan membuatnya semakin tegar dalam melawan takdir yang ia pilih.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
sedih... asa sesak.. Maya, wanita yang tegar..
2024-02-04
0
Asyatun 1
lanjut
2023-12-13
0