Terdengar suara ketukan pintu di saat malam mulai merangkak naik. Tidak biasa di rumahnya kedatangan tamu di atas jam sembilan malam. Apalagi pintu pagar sudah ditutup rapat meski belum terkunci.
Masih belum bisa menerka siapa tamu yang datang. Sebab itu wanita dengan menggunakan gamis rumahan merasakan sedikit resah saat akan membuka pintunya.
Ceklek.
Pintu perlahan terbuka lebar yang membuatnya tertegun sesaat.
Sosok lelaki tampan nan gagah berdiri di depannya dengan rambut setengah putih yang tertata rapi. Khas dari seseorang yang selalu ia rindukan sebenarnya. Tapi, pupus bayangan indah ketika wanita itu mengingat setiap hal yang menyakitkan.
"Radit!"
****
Hujan saat itu turun sangat lebat. Bahkan terdengar suara kilatan petir menyambar yang begitu mengerikan. Sangat lengkap kini suasana hati yang sedang bergejolak.
Malam yang semakin larut tak dapat melewatkan setiap memori yang telah tersimpan di hati. Ia, sosok wanita cantik yang lembut kini sudah tidak berdaya atas kisah yang dipertahankan.
"Aku tidak bisa lagi tinggal di sini!"
"Biar saja aku yang pergi."
Sambil masih terisak wanita itu mulai mengemasi pakaiannya. Ada sebuah kotak berwarna merah terpampang di depan mata. Ia sungguh menyayangkan setiap buah cinta yang pernah terjalin. Perlahan kotak merah itu diraihnya dengan perasaan hancur.
Kilauan berlian yang ia dapat saat hari pernikahan begitu menyilaukan mata. Tidak, nyatanya barang berharga itu tidak dapat meluluhkan hatinya. Sekejap saja benda mahal itu ditutup dan kembali ditempatnya. Ia memilih untuk meninggalkan semua kenangan bersama dengan lelaki yang berstatus sebagai suaminya.
"Semua ini tidak berguna lagi."
berucap dengan bibir bergetar. Ia sangat ingat betapa indah dan bahagianya saat-saat malam di hari pernikahannya.
Gaun tidur kesukaan sang suami dilihatnya dengan napas yang semakin sesak. Ia tidak sanggup lagi jika harus melihat setiap hal yang mengingatkan dirinya atas cinta pada lelaki itu.
Menelan ludahnya kasar sembari menangis tanpa henti. Dunianya telah hancur.
"Sebaiknya aku tinggalkan saja semua ini."
Sangat benar dirasa. Ia meletakkan kembali koper yang siap diisi dengan berbagai barang miliknya. Sayang, semua itu diurungkannya.
Mengusap wajahnya kasar. Ia tidak bisa lagi menunggu waktu lebih lama. Bahkan waktu malam telah berakhir. Ia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Yang ia inginkan hanya menangis di dalam pelukan seorang ibu.
"Sebaiknya aku pulang saja sekarang."
Perlahan langkah kaki dibawanya mendekat pintu. Ia berharap jika lelaki yang berstatus sebagai suaminya telah pergi dari depan pintu. Nyatanya, ia salah besar. Lelaki itu bahkan telah tertidur di samping pintu, duduk dibawah lantai dengan kaki ditekuk.
Perlahan pintu ditutupnya kembali. Ia kemudian berpikir. Teringat dengan cerita di dalam TV. Ia berlari kecil menuju jendela kamar yang lumayan besar. Menelan ludahnya kasar. Ia tidak seberani itu untuk turun ke bawah menggunakan kain seprei.
"Tidak ada cara lain. Aku harus bisa pergi dari sini!"
Sudah bulat tekadnya. Ia tidak bisa lagi tinggal di rumah itu. Kesalahan suaminya sudah melebihi batas.
Sembari wanita itu mengumpulkan keberanian, ia mulai menarik seprei dan menggulungnya. Mengambil lagi dua seprei untuk diikat supaya lebih panjang. Dirasa sudah cukup panjang. Ia pun segera melakukan aksinya. Mengikatkan kain seprei pada kayu jendela yang dirasa cukup kuat.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Mulai turun perlahan dengan perasaan takut juga gelisah. Dirasakannya kini air hujan mulai membasahi tubuhnya.
Ia benar-benar tidak bisa mundur saat diri sudah berada di tengah jalan. Karena sangat takut, ia pun memejamkan mata saat sudah berada di ikatan seprei kedua.
Gelisah hati tiba-tiba saat sudah hampir sampai pada ikatan seprei ketiga. Ia merasakan kain yang ia pegang seperti merosot perlahan. Dengan perasaan campur aduk, memberanikan diri wanita itu menatap ke atas.
Dan .... Brrruuuuuukkkk
Maya terjatuh.
"Allahu Akbar!"
Eeeeuuuuuuuhhhh ....
Mengeluh kesakitan. Ia merasakan pantat dan juga pahanya sakit seketika. Untung saja dirinya jatuh tidak terlalu tinggi. Merasa bersyukur rumput yang dijaganya dengan baik bisa menolongnya supaya tidak begitu sakit saat dirinya terjatuh.
Dengan menahan rasa sakit di bagian belakang. Maya mulai berjalan. Ia pasti akan bertemu dengan pak Eko selaku penjaga rumah. Itu tidak membuatnya mundur.
"Nyonya?"
Dengan mengerutkan kening dan juga menatap heran, lelaki berkulit sawo matang itu melangkah mendekat saat ia sedang berpatroli di halaman rumah.
"Nyonya mau kemana? Hujan-hujan begini!"
Memang benar. Cuaca di luar masih hujan, tapi sudah tidak selebar tadi. Ia bisa melihat jika majikannya sedikit kedinginan.
"Biar saya panggilkan, Tuan."
Seketika itu raut wajah Maya berubah galak. Ia menatap tajam ke arah pak Eko dengan kuat menahan hawa dingin yang mulai menusuk kulitnya.
"Stop!"
"Saya mau kamu diam, Eko!"
"Tapi, Nyonya?"
Menggelengkan kepalanya dengan kedua mata menatap tajam.
"Panggil dia setelah aku pergi!"
Mata memerah dengan bibir bergetar, wanita itu sudah tidak sanggup menahan rasa dingin yang semakin menyiksanya.
Ia pun segera berlari menuju mobil miliknya. Hasil dari kerja kerasnya sebelum ia menjadi seorang nyonya besar.
Cepat-cepat ia segera membawa benda beroda empat itu keluar dari rumah impian yang selama ini ia jadikan surga.
Kembali wanita itu menangis saat dirinya mulai menjauh dari istana yang ia tempati selama ini. Cinta kasih yang selama ia semai rasanya tidak bisa lagi ia nikmati.
"Lupakan semua tentangnya, Maya!"
"Dia sudah keterlaluan!"
"Tidak pantas kau, menangisi lelaki seperti dia!"
Berceloteh dengan penuh amarah. Ia mencoba melampiaskan segala rasa kecewa juga sakit hatinya pada lelaki itu.
****
Buyar sudah lamunannya. Ketika terdengar namanya mengudara.
"Maya."
Tersenyum sosok lelaki yang masih menempati hatinya. Bohong jika wanita itu tidak senang atas kedatangannya. Tapi, rasa kecewa lebih mendominasi atas perasaan yang telah tersakiti.
"Maaf, aku datang terlalu malam."
Menyodorkan sebuah paper bag berwarna coklat. Wanita itu enggan menerimanya.
"Maya, terimalah! Ini oleh-oleh dari jepang untukmu dan untuk putriku."
Maya menelan ludahnya kasar. Dadanya mulai terasa sesak setiap kali ia mendengar jika mantan suaminya mengucapkan kata "putriku" untuk Shanum. Benar memang, Shanum adalah putrinya, tapi entah mengapa ia begitu sakit saat mendengarnya.
"Aku baru saja sampai di bandara dan langsung menuju kemari."
"Terimalah!"
Benar saja, sudah dua bulan ini ia tidak melihat lelaki itu mampir dengan alasan ingin bertemu dengan Shanum. Padahal dalam hatinya ia begitu sangat rindu sebenarnya.
Tidak ada status yang jelas di antara keduanya. Sebab perceraian mereka tidak pernah berjalan lancar. Radit selalu menolak undangan pengadilan. Hingga kini, hubungan mereka berdua masih mengambang.
Meski begitu, Radit seringkali datang untuk meluluhkan hati Maya. Sayang, wanita itu tidak mudah digoyahkan pendiriannya. Begitu juga Radit, ia masih tetap ingin terus terikat walau wanita pujaannya selalu menolak kehadirannya.
"Ya, terimakasih."
Hening sesaat.
"Apa kau tidak berniat untuk memintaku duduk sejenak?"
Maya sekali lagi menelan ludahnya kasar. Jantungnya sudah berdetak kencang. Begitu hebat lelaki itu mengobrak-abrik isi hatinya. Bohong jika Mata tidak senang atas kehadiran lelaki itu, tapi ia juga tidak bisa menunjukkan perasaannya secara terang-terangan.
Seperti biasa. Lelaki itu tanpa memiliki rasa malu begitu saja melangkah masuk ke dalam rumah Maya. Dibukanya pintu lebar-lebar. Ia pun membalikkan badannya. Sosok lelaki tampan yang entah berstatus sebagai apa berdiri di depan tangga sambil berkacak pinggang.
"Shanum!"
Cukup keras terdengar. Lelaki itu tampak tidak sabar untuk bertemu dengan putri kesayangannya.
"Ini sudah malam, Radit! Aku rasa dia ..."
Tampak seorang gadis keluar dari dalam kamarnya. Dengan pakaian tidur dan rambut panjang yang tergerai, ia mulai melangkah turun saat melihat sosok lelaki yang ia rindukan sebenarnya.
"Papa."
Maya memejamkan mata. Pasti akan lebih lama lagi ia harus kuat menahan diri di atas kerinduan yang mendalam.
Dengan perasaan campur aduk, Maya pun melangkah menuju dapur untuk mengalihkan keadaan diri yang semakin tersiksa.
"Aku akan membuatkan teh untukmu."
Sungguh tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Langkah tertahan saat melintas di samping lelaki itu. Bagaimana tidak, tangannya dicekal erat oleh Radit.
Kedua pasang mata saling menatap dalam kerinduan. Mereka sebenarnya masih saling mencintai, tapi keadaan tidak bisa diterima dengan lapang dada. Apalagi kini Radit sudah memiliki putri dari wanita lain yang membuat Maya sekali lagi merasakan patah hati.
"Tidak perlu repot-repot. Aku hanya ingin melepas rindu."
Tersenyum sangat manis lelaki itu dan sekali lagi Maya dibuat gila atas keadaan yang begitu sangat menghancurkan seluruh isi hatinya.
Ia menahan tangis juga menahan diri atas keinginan untuk memeluk. Wanita itu telah berjuang untuk terlihat tegar setiap kali bertemu dengan sosok lelaki yang telah mengambil seluruh hidupnya.
Bersambung ...
Kisah Maya dan Radit mungkin akan sedikit menguras air mata ...
Siapkan hati yang lapang ya ...
Semoga terhibur atas cerita receh author 🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Riri
walah, gak jelas ya hubungan mama papanya.... rugi di Maya donk
2023-12-12
0
Sri Hastuti
suka
2023-12-03
0