Viona menghela napas berat saat berdiri di depan undakan tangga dengan jalur sempit dan melingkar berpencahayaan temaram. Rasanya tadi pagi baru saja ia menuruni tangga itu dengan perasaan kesal yang memuncak. Dan malam sudah membuatnya harus kembali ke tempat itu lagi. Mengapa rasanya waktu berputar sangat cepat?
Viona mendelik gusar saat berpapasan dengan Arun yang sudah lebih dulu tiba di depan pintu dan memutar anak kunci.
Keduanya memasuki rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Efek dari perdebatan mereka tadi pagi masih terasa. Viona tidak mungkin bisa dengan mudah melupakan Arun yang membentaknya gara-gara tak sengaja menjawab telepon dari kekasihnya.
Viona memasuki kamar mandi namun Arun menghalangi.
"Aku mau mandi duluan!" keluh Viona.
"Aku dulu!" sahut Arun.
"Ck!" Viona berdecak sambil melotot sebal ke arah pria itu.
Arun merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah koin."Begini, kita undi saja!"
"Tidak! Kau pasti curang seperti semalam! Aku pilih angka, dan kau memutar posisi tanganmu dengan cepat makanya bisa muncul gambar!" protes Viona.
"Apa?! Kau menuduhku curang?!" Arun terperangah.
Ekspresi kesal masih terlukis di wajah Viona, ia mendengus gusar, mendorong Arun agar tidak menghalangi jalannya menuju ke kamar mandi.
"Jangan bicara denganku! Aku tidak mau bicara denganmu!" ancam Viona sebelum menutup pintu kamar mandi.
"Huh! Siapa yang mau bicara denganmu?!" gerutu Arun.
...*****...
Viona sudah selesai mandi, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang sempit itu. Dirasa cukup aman baginya untuk keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang dililitkan sebatas dada, ia mengendap-endap mengambil kopernya yang ia simpan di bawah tempat tidur.
Ia tidak membawa baju ganti sebelum memasuki kamar mandi karena terburu-buru berebut kamar mandi dengan Arun.
Berhubung pria itu nampaknya tidak ada dan entah pergi ke mana, Viona merasa lebih leluasa untuk memakai pakaian tanpa harus memasuki kamar mandi yang sempit. Ia segera memakai pakaian dalamnya lalu memilih baju ganti yang bersih untuk dipakai tidur.
Cklek...
Pintu terbuka.
Viona terperanjat melihat sosok Arun yang berdiri di ambang pintu dan memergokinya hanya mengenakan pakaian dalam.
"Kyaa!!!" jerit Viona.
Ia menyambar kembali handuk untuk menutupi tubuhnya.
"Hei! Berisik!" bentak Arun.
"Jangan melihatku!" seru Viona.
"Hei! Aku bukan anjing yang minat pada tulang belulang sepertimu!" cibir Arun.
"A-apa?!"
Viona terperangah dan benar-benar gondok dengan sikap cuek Arun yang terlihat santai memasuki rumah. Pria itu bahkan bersikap seolah Viona adalah makhluk tanpa wujud.
"Kenapa kau malah bengong? Lekas pakai pakaianmu, kau mau masuk angin?"
Viona benar-benar kesal, dengan cepat ia memakai kaus dan celana longgar saat Arun dalam posisi membelakanginya. Pria itu sungguh merendahkan harga dirinya.
"Hei! Sutopo, kalau aku ini memang hanya sekadar tulang belulang, bagaimana jika kau telepon saja kekasihmu itu, lalu lihat seperti apa reaksinya saat tulang belulang ini melakukan strip show di depanmu? Apakah akan memberi pengaruh yang signifikan atau tidak?" tantang Viona.
Arun memicingkan matanya.
"Huh! Kau masih begitu takut pada kekasihmu tapi kata-katamu sungguh congkak dan merendahkan!" tukas Viona.
"Hei! Kenapa kau malah membawa-bawa kekasihku?"
Belum sempat perdebatan mereka berlanjut, gawai cerdas Arun berbunyi.
"Sst!" desisnya.
Viona langsung paham siapa yang menelepon sampai pria itu terlihat seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
"Iya Sayang, aku baru sampai di rumah," sahut Arun.
Viona mendelik gusar, ia memilih untuk memakai earphone, mendengarkan musik sambil rebahan di tempat tidur.
Ia kembali mendengarkan lagu yang tadi siang diputar di kedai roti lapis. Makan siang bersama pria yang dipuja tentu saja menjadi hal paling bersejarah dalam hidupnya. Yah, meskipun Viona harus menelan pahitnya ditolak, namun setidaknya bisa makan siang bersama pria itu tentu saja menjadi kenangan yang manis.
Apakah Viona harus menyerah semudah itu?
Viona mengarahkan pandangannya ke arah pria yang saat ini masih bermonolog di balkon.
Ia kembali teringat ketika pria itu menolaknya. Bukan sekali dua kali, Arun sampai bosan dan memohon agar Viona berhenti menyukainya.
Ke mana perginya semangat juang itu, Viona? Batin Viona.
Kau baru saja ditolak sekali oleh Mas Alan! Itu belum ada apa-apanya dibandingkan saat kau ditolak Sutopo! Batin Viona bergejolak.
Viona kembali melihat ke arah Arun yang saat ini nampak tersenyum senang dengan gawai cerdas yang menempel di telinga kirinya. Pria itu bahkan tertawa, sorot matanya berbinar penuh semangat. Bunga-bunga bak bermekaran di sekeliling pria itu.
Seperti itulah orang yang jatuh cinta kala mendengar suara orang yang dicintainya. Apalagi jika mereka bertemu, sudah pasti dunia seakan milik mereka berdua.
Viona sungguh merasa iri. Ia juga ingin merasakan perasaan saat cintanya bertaut. Bukan hanya sekadar bertepuk sebelah tangan.
Arun menutup telepon, ia sudah selesai berbincang dengan kekasihnya. Namun ia sungguh terganggu karena sepanjang perbincangan, wanita itu terus melotot sinis ke arahnya.
"Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada masalah?" tanya Arun.
Viona masih diam sambil melepas earphonenya.
"Oh, ya, aku lupa! Kau kan tidak mau bicara denganku!" sindir Arun.
"Hei, Sutopo, apa aku boleh berkencan dengan pria lain meskipun aku sudah menikah denganmu?"
"Silakan saja," jawab Arun. "Tapi, jangan sampai kakekku tahu."
"A-apa?!"
Viona terperangah melihat Arun yang menatapnya dengan skeptis.
"Rasanya ini sungguh tidak adil bagiku! Kau sendiri bahkan punya kekasih!" keluh Viona.
"Hei! Apa kau sungguh masih belum mengerti? Aku menikahimu karena aku bilang kau kekasihku, padahal jelas-jelas kita bukan sepasang kekasih! Lalu kekasihku sendiri saat ini sedang berada di tempat yang jauh dan belum bisa kembali dalam waktu dekat!"
"Jadi, sungguh tidak masalah kan?" lanjut Arun.
"Oh, jadi kau memanfaatkan hubungan jarak jauhmu ini agar kakekmu tidak tahu?"
Arun mengangguk tanpa harus bicara.
"Begini saja, kita sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Silakan saja kalau kau mau mengencani pria lain. Yah, itu juga kalau ada pria yang mau mengencanimu. Haha!"
"A-apa?!"
Lagi-lagi Viona terperangah karena Arun merendahkannya lagi. Pria itu masih tertawa sampai menghilang di balik pintu kamar mandi.
"Huh! Dasar Sutopo!"
...*****...
"Viona!"
"Mas Alan!"
Viona berlari ke arah pria itu, begitu pun sebaliknya di sebuah taman bunga yang indah. Viona langsung mendarat dalam pelukan pria itu. Pelukannya terasa sangat hangat dan nyaman, seolah pelukan Mas Alan memang tercipta untuk Viona.
Viona menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu. Sungguh aroma memabukkan yang membuatnya bergairah.
"Mas Alan," Viona merengek.
"Hmm.."
"Maas.."
"Hmmm.."
Viona tersadar karena merasa ada yang aneh. Mengapa semua ini terasa begitu nyata?
Ditambah ada sesuatu yang menegang, mengeras, di sekitar perutnya.
Benar saja, tatkala Viona membuka matanya, ia mendapati dirinya dalam pelukan Arun.
"Kyaa!"
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments