"Kakek."
Aran menyapa Pak Sutopo yang saat ini sedang memberi makan ikan-ikan dalam kolam. Ikan-ikan berjenis ikan air tawar, meliputi ikan mas, ikan nila, dan ikan mujair berukuran besar berebut ketika pakan dilemparkan ke permukaan air.
Pak Sutopo menoleh ke arah cucunya itu. Aran menunduk dalam sebagai bentuk penghormatan kepada kakeknya.
"Ada apa, Aran? Tumben kau mendadak datang kemari," kata Pak Sutopo.
Aran menatap lurus kakeknya, dengan tangan terkepal kuat.
"Kakek, apa Kakek sudah tahu tentang pernikahan Arun?"
Pak Sutopo mengerutkan alisnya, kemudian kembali membuang pandangannya ke kolam ikan.
"Ya," jawab beliau singkat.
"Kakek merestui pernikahan mereka?" tanya Aran terperangah.
Pak Sutopo terdiam, matanya kini teralih ke Aran yang terlihat menunjukkan ekspresi kesal.
"Kakek, bukankah Kakek sangat menentang jika aku atau pun Arun menjalin hubungan dengan wanita yang tidak Kakek restui?"
Aran menatap tajam ke arah Pak Sutopo.
"Kakek bahkan melarangku untuk berhubungan dengan wanita. Tapi lihatlah, Kakek bahkan membiarkan Arun menikahi kekasihnya."
"Bukankah ini sungguh tidak adil bagiku?"
Tatapan mata Aran berkilat-kilat penuh kemarahan. Bagi Pak Sutopo ini kali pertamanya melihat ekspresi marah Aran. Selama ini Aran dikenal sebagai sosok yang tenang dan dingin, berbanding terbalik dengan Arun.
"Aran," ucap Pak Sutopo akhirnya.
"Setiap apa pun yang aku lakukan terhadap kalian berdua, aku selalu berusaha untuk adil. Semuanya dipertimbangkan demi kebaikan kalian berdua."
"Tidak!" potong Aran. "Kakek selalu memberi Arun kebebasan yang tidak Kakek berikan padaku!"
Aran menatap lurus ke arah Pak Sutopo.
"Kakek memberi kebebasan pada Arun, hanya karena Arun tidak bisa didikte sepertiku, benar begitu kan?!"
"Aran," potong Pak Sutopo.
"Tidak apa-apa, aku mengerti!" potong Aran lagi.
"Tapi Aran, Arun menikah karena skandal yang dibuatnya!" sergah Pak Sutopo.
"Kakek merestui pernikahannya karena Arun membuat skandal?"
"Apa aku harus membuat skandal juga agar mendapat restu dari Kakek?"
Aran mencecar kakeknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat pria tua itu terdiam.
Aran menarik napas, emosinya pecah begitu saja. Kemudian ia menunduk dalam sebelum berpamitan.
"Aku pergi dulu, Kakek. Semoga hari Kakek menyenangkan."
Aran berpamitan, ia melangkah dengan perasaan kesal yang tak bisa ditutupi meski ia sudah berusaha.
Aran benar-benar merasa diperlakukan tidak adil dengan keputusan kakek yang bahkan membiarkan Arun menikahi kekasihnya, sementara ia sendiri bahkan dilarang berkencan dengan wanita mana pun kecuali wanita itu dipilih langsung oleh kakek.
Hanya karena skandal yang dibuat Arun, kakeknya malah menyetujui pernikahan itu.
"Pak Varan, Anda mau mampir makan siang dulu?"
Pertanyaan sopir membuyarkan lamunan Aran. Aran menghela napas, ia terlalu tenggelam dalam rasa kesalnya pada sang kakek sehingga ia tak sadar telah membuang banyak waktu untuk berpikir.
Jam masih menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit, masih ada waktu satu jam setengah lagi sebelum jadwal selanjutnya.
"Tolong singgah di kedai sandwich itu."
Sopir segera mengantarkan Aran ke sebuah kedai roti lapis ternama. Sungguh kebetulan belum terlalu banyak pembeli yang mengantri.
Aran tak suka membuang waktu hanya untuk makan. Ia lebih suka menyantap makan siang yang simpel daripada harus mengantri atau memesan makanan di restoran.
Aran segera berbaris mengikuti antrian sambil memeriksa gawai cerdasnya. Tiba-tiba terdengar keluhan dari beberapa pembeli yang mengantri.
"Apa-apaan pembeli di depan itu! Bikin antrian makin panjang saja!"
"Kalau tidak bawa uang, jangan pesan!"
Mata Aran tertuju pada seorang wanita yang sibuk mengaduk-aduk isi tasnya di depan kasir dengan begitu panik.
Aran langsung menghampiri wanita itu untuk menawarkan bantuan.
...*****...
Pertolongan Tuhan pasti selalu datang dengan cara yang tak terduga bagi orang yang membutuhkan dan percaya.
Itulah yang ada dalam benak Viona saat ini.
Ketika harus menghadapi krisis di depan kasir lantaran tidak membawa uang untuk membayar pesanan makanan bosnya, Viona malah mendapat bantuan dari seseorang yang tak terduga.
Viona bahkan tak bisa berkata-kata saat pria itu akhirnya mengajak Viona untuk sekalian makan siang bersama.
Mimpi apa aku semalam? Batin Viona begitu girang.
"Mas Alan, terima kasih banyak sudah dibantu seperti ini. Terima kasih juga sudah ditraktir."
Viona meringis lantaran terlalu grogi. Pria tampan dalam balutan jas begitu rapi tentu saja kontras dengan Viona yang hanya mengenakan kaus berkerah dan celana jeans.
"Tidak masalah, sungguh kebetulan kita bisa bertemu di sini," jawab pria itu singkat.
"Se-sebenarnya ini pesanan Mas Gede, tadi Mas Gede sudah memberi saya kartu beliau, tapi, saya yang lupa membawanya," kata Viona terbata.
Aran tersenyum mendengar Viona yang sudah dua kali menjelaskan hal itu. Terlihat jelas bahwa wanita di hadapannya ini sedang grogi tingkat dewa.
"Iya, saya mengerti, Mba Viona tidak perlu menjelaskannya sampai tiga kali."
"Eh! Haha," Viona tertawa kaku.
"Mari dimakan," ajak Aran.
Aran membuka bungkus kertas roti lapisnya, dengan cepat mulai memakannya.
"Terima kasih, Mas," ucap Viona. "Mas sering makan siang di sini?" tanya Viona.
"Tidak juga," jawab Aran singkat.
"Oh, tempat kerja Mas di sekitar sini?" tanya Viona lagi.
Aran menggeleng. "Kebetulan lewat, jadi sekalian mampir saja."
"Oh begitu," kata Viona.
Viona memandangi pria di hadapannya. Batinnya bertanya-tanya, mengapa pria ini tetap terlihat tampan saat makan?
Viona mencuri pandang ke tangan pria itu. Tidak ada cincin yang melingkar di jari manisnya. Baik di tangan kiri, maupun tangan kanan.
"Ada apa, Mba Viona? Kenapa tidak dimakan?"
Eh! Viona terperanjat karena kepergok seperti ini.
"I-iya, ini baru mau makan," Viona meringis kuda.
Aran kembali tersenyum melihat Viona yang kembali salah tingkah.
"Oh ya, Mas. Kira-kira kapan ya, Mas akan kembali mengajar di kursus? Sudah banyak murid-murid yang bertanya," kata Viona.
Viona mengamati wajah pria itu, masih mengulas senyum tipis membuat jantung Viona makin berdebar.
"Oh, maaf, Mas, saya hanya menyampaikan pertanyaan saja, mumpung bertemu dengan Mas. Dan juga selamat untuk pernikahan Mas Alan," ceplos Viona.
"Pernikahan?" alis Aran terangkat sebelah.
"Iya, kata Mas Gede, Mas Alan menikah makanya mengambil cuti," sahut Viona.
"Apa Gerald sungguh membuat gosip seperti itu?" Tanya Aran.
"Eh? Gosip?!" Viona terperangah.
Aran mengangguk pelan sambil menyeruput minumannya.
"Saya bahkan tidak punya kekasih, mau menikah dengan siapa?"
Viona kembali meringis, ia mengumpat kesal dalam hati karena ternyata Mas Gede hanya membohonginya saja.
Namun sebagian hati Viona merasa senang karena pada akhirnya tahu bahwa idolanya ini belum menikah, bahkan kekasih pun tak punya. Viona pun tersadar bahwa manusia berkasta rendah sepertinya sungguh lancang karena sudah menyukai dan menyatakan perasaannya.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments