Viona terbangun dari tidurnya dengan kondisi tubuh sakit semua. Ia tidur di lantai hanya beralaskan selimut. Ia menatap sebal ke arah Arun yang masih terlelap di atas tempat tidur. Semalam pria itu berhasil memenangkan taruhan memperebutkan tempat tidur. Alhasil, Viona yang kalah harus tidur di lantai.
Viona memandang sekeliling tempat tinggal pria itu. Semalam begitu sulit baginya untuk bisa terlelap. Udara yang panas dan pengap, belum lagi suara-suara berisik dari tetangga sebelah benar-benar mengganggu ketenangan.
Belum lagi debar jantung Viona menggila setiap kali ia melihat pria yang dibencinya itu memberinya senyum meski hanya berupa cengiran atau pun seringaian.
Ditambah semalam mereka melakukan gulat jempol untuk melakukan taruhan memperebutkan tempat tidur. Ketika tangan mereka saling bersentuhan, jemari yang saling bertaut, kemudian jempol tangan yang saling memburu. Semua itu seakan membangkitkan kembali rasa yang pernah dirasakan Viona untuk pria itu. Dan yang membuat kesal, rasa itu bukanlah rasa benci.
Viona cepat-cepat menepis semuanya, mengingat larangan, pantangan, bahwa ia harus menjaga perasaannya sendiri.
Viona kembali memandangi tempat tinggal barunya ini. Tempat pria itu mengajaknya berbagi hunian yang sama sekali tidak nyaman.
Siapa yang bisa menduga bahwa seorang pria yang terlihat berpenampilan mewah, berasal dari keluarga kaya raya ternyata malah tinggal di tempat kumuh seperti ini.
Apa sungguh kakeknya tega membiarkan Arun tinggal di tempat seperti ini?
Kalau dilihat dari watak Arun yang pemberontak, kehidupan seperti ini pasti dipilihnya sendiri. Itulah yang tebersit dalam benak Viona.
Viona masih benar-benar mengantuk, ia bahkan kembali memejamkan mata. Namun sesuatu bergetar di atas kepalanya.
Dengan masih terpejam ia mengambil benda pipih itu dan menggeser panel jawab.
"Halo.."
"....Sayang!!"
Viona terlonjak kaget mendengar suara wanita di telinganya. Matanya terbelalak melihat gawai cerdas yang ternyata bukan miliknya.
Viona langsung cepat-cepat memutus sambungan telepon.
Suara wanita yang menghubungi gawai cerdas Sutopo?!
Dalam kepanikan, gawai cerdas itu bergetar lagi.
"Hei, Sutopo! Bangun!" Viona menyodorkan gawai cerdas di tangan pria itu.
"Hmm..." Pria itu hanya bergumam dengan mata terpejam.
"Sayang meneleponmu!"
Arun segera terbangun mendengar kata Sayang, di tangannya gawai cerdasnya bergetar hebat.
"Ma-maaf, tadi tak sengaja kujawab karena kukira itu ponselku," Viona terbata.
"Astaga!" Arun memijat pelipisnya. "Sembunyi! Cepat!"
Viona tak tahu harus bersembunyi di mana. Ia hanya bisa kembali berbaring di lantai bertutupkan selimut.
"Halo Sayang," jawab Arun dengan suara yang masih parau.
"Siapa wanita itu?" tanya suara di seberang sana.
"Wanita yang mana, Sayang? Tidak ada," Kata Arun dengan tegas.
"Tadi aku dengan jelas mendengar suara wanita menjawab teleponmu!"
Arun menyenggol Viona yang meringkuk di lantai. Viona membuka selimut dan melihat pria itu bicara tanpa suara ke arahnya.
"Cepat pergi dari situ, ke pintu!" tunjuknya ke pintu depan.
Viona merangkak, bertepatan dengan Arun yang langsung menyalakan lampu dan mengubah panggilan suara menjadi panggilan video.
"Lihat! Aku sendirian! Tidak ada siapa pun di sampingku, Sayang!"
Viona terkesiap, ia menunduk, bersembunyi di samping tempat tidur saat Arun mengarahkan gawai cerdas mengitari ruangan.
"Lihat, tidak ada orang selain aku di sini! Aku tidak bohong!" kata Arun.
Viona merayap di lantai, ia berpindah posisi menuju ke tempat lain, berlawanan arah dari gawai cerdas yang diacungkan Arun.
"Lalu tadi suara siapa? Aku dengar dengan jelas suara wanita!"
"Sayang, sungguh kamu pasti salah dengar, mungkin kamu mendengar suaraku. Suaraku yang tertutup selimut!" Arun kembali beralasan.
Viona merasa mual melihat dan mendengar Arun bermanja-manja dengan seseorang yang sedang bertatap muka dengannya.
Itukah kekasih Arun yang sebenarnya?
Mendadak Viona merasakan nyeri yang bersarang di dada.
"Segeralah tidur, kamu pasti sudah lelah," ucap Arun. "Aku masih mengantuk, aku juga benar-benar masih lelah, besok harus kerja pagi. Nanti kutelepon lagi, bye."
Arun meletakkan gawai cerdas, masa gentingnya sudah terlewati. Rasanya ia hampir gila gara-gara kejadian seperti ini. Hampir saja kekasihnya tahu bahwa ia memang sedang bersama wanita lain.
Ia melotot sebal ke arah Viona.
"Selanjutnya jangan sampai hal seperti ini terjadi lagi! Tolong jangan sembarangan menjawab teleponku!"
Viona mendelik gusar.
"Aku kan sudah bilang maaf, aku tidak sengaja menjawab teleponmu! Aku kira di atas kepalaku itu ponselku!" Viona membela diri.
"Kau itu yang sembarangan meletakkan ponselmu," keluh Viona.
"Pokoknya aku tidak peduli! Apa pun alasannya, jangan menjawab telepon yang bukan milikmu!"
Suara Arun naik satu oktaf, terdengar membentak dengan ekspresi wajah menegang membuat Viona tersentak kaget.
Atmosfer di antara mereka seketika menegang dan Viona merasakan jantungnya berdegup kencang. Ada rasa takut yang membuat dirinya menciut.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Viona menghilang di balik pintu kamar mandi yang sempit. Entah mengapa rasanya matanya memanas.
Ada rasa kecewa yang tak bisa diungkapkannya.
...*****...
Viona masih termenung dengan rasa sesak mencekik jalur pernapasannya. Ia benar-benar kepikiran dengan kejadian yang dialaminya tadi pagi.
Arun begitu marah padanya hanya karena Viona salah menjawab telepon.
Hingga Viona pergi ke kantor, tak sepatah kata pun yang keluar untuk mencairkan suasana di antara mereka yang menegang.
"Silakan, mau pesan apa?"
Viona tersentak kaget saat pelayan di gerai roti lapis menanyakan pesanan untuk Viona yang mengantri sambil melamun.
"Oh, ya..ya, itu.."
Viona begitu gugup, membuka gawai cerdasnya untuk menemukan catatan pesanan dari Mas Gede yang minta dibelikan roti lapis di gerai roti lapis kenamaan.
"Totalnya dua ratus lima puluh ribu," kata pelayan.
Viona merogoh tasnya, mengambil kartu kredit yang diberikan Mas Gede untuk membayar makanan.
"Lho! Di mana kartu kreditnya? Di mana dompetku?"
Viona benar-benar panik saat mengaduk-aduk isi tasnya. Terlihat pelanggan yang mengantri di belakangnya mulai mengeluh karena ulah Viona.
"Aduh! Jangan-jangan tertinggal di meja!" Viona menepuk keningnya.
Aduh bagaimana ini? Viona membatin penuh kegelisahan.
Ia tidak mungkin membatalkan pesanan. Mas Gede pasti akan ngomel sepanjang sisa hari.
Aduh Viona kenapa kau kacau begini?!
"Aduh, maaf, sa-saya.."
"Tolong bayar pakai ini, dan tambahkan beberapa pesanan lain," potong suara seseorang yang berada di belakang Viona.
Viona menoleh ke belakang dan tercengang melihat kehadiran pria itu.
"Ma-Mas A- Alan!" Viona cepat-cepat menutup mulutnya agar tidak menjerit histeris.
Pria itu mengulas senyumnya, melirik sekilas ke arah Viona sambil berbicara dengan pelayan untuk menambahkan beberapa pesanan tambahan sebelum membayar semua total pembelian roti lapis tersebut.
Viona merasakan kelegaan yang sangat. Yang pasti ia tidak perlu diomeli Mas Gede karena lupa membawa dompet.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments