Seorang pria nampak sibuk berkutat di antara dokumen-dokumen yang sedang diperiksanya secara seksama.
Pria itu bahkan mengabaikan telepon yang beberapa kali berdering di atas meja kerjanya. Begitu juga gawai cerdas yang bergetar di atas meja, nama yang tertera pada benda pipih itu memang pantas untuk diabaikannya.
"Ya, ada apa Dyan?"
Pria itu akhirnya menjawab telepon yang kembali berdering.
"Pak Varan, maaf mengganggu. Ada tamu untuk Anda, beliau bernama Pak Arun. Beliau memaksa untuk bertemu dengan Anda, tapi beliau belum ada janji. Apa yang harus saya lakukan?"
"Apa saya sampaikan saja bahwa Anda masih ada meeting?" Dyan mengusulkan.
Dyan tahu bahwa bosnya itu paling enggan bertemu tanpa adanya janji terlebih dahulu. Dyan cepat-cepat memikirkan alasan apa yang harus diberikan pada tamu tanpa janji itu.
Pria itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberi perintah pada Dyan.
"Antar ke ruangan saya," perintah pria itu sebelum menutup telepon.
Dyan tercengang, tumben sekali pimpinan bersedia menemui tamu yang bahkan tidak membuat janji untuk bertemu.
...*****...
Arun mengikuti resepsionis, mengantar menuju ke ruangan seseorang yang harus ditemuinya.
Puluhan pasang mata mengikuti, tatapan penuh ingin tahu yang bahkan masih terus tertuju padanya meski ia sudah berada di depan pintu ruang pimpinan.
Dyan menjadi orang kesekian yang langsung memindai penampilan pria tampan yang hanya memakai kaus oblong putih dengan celana jeans pudar, celana itu bahkan sudah robek pada bagian lutut.
Ada hubungan apa antara pimpinan dengan pria tampan namun berpenampilan rembes ini?
"Silakan," ucap Dyan berusaha ramah meski dalam hati begitu skeptis.
Arun memasuki ruang kerja pimpinan yang sepertinya begitu sibuk sampai-sampai mengabaikan teleponnya.
Arun melangkah menuju meja kerja pria itu. Ia merogoh saku celana lalu meletakkan sebuah kunci mobil di atas meja yang dipenuhi dengan tumpukan dokumen.
"Ini, aku kembalikan mobilmu. Kau ini sungguh tidak ikhlas meminjamkan mobilmu ya, Aran?" tanya Arun dengan nada penuh ejekan.
Aran melipat tangannya di depan dada, menatap skeptis ke arah Arun.
"Tidak ikhlas? Kau bahkan lebih terkesan merampokku daripada meminjam mobilku," tukas Aran.
"Ditambah kau juga sudah membuat skandal yang menyebabkan nama baikku tercoreng! Bisa-bisanya kau berbuat hal tak senonoh yang membuat paman dan bibi sampai menuduhku!" geram Aran.
Arun menyeringai, ia sudah menduga bahwa paman dan bibinya pastilah memang berencana menjebak Aran. Namun justru nasib sial sedang berpihak pada Arun.
"Sebenarnya untuk apa dibesar-besarkan seperti itu? Toh, aku melakukannya dengan kekasihku. Aku bahkan sudah menikahinya. Jadi, tidak masalah kan?"
"Apa? Kau menikah?"
Aran tercengang mendengar pengakuan Arun.
"Arun, apa kau serius dengan ucapanmu?" tanya Aran.
"Apa aku terlihat bercanda? Haha!" Arun tertawa.
Aran masih melemparkan tatapan skeptisnya.
"Lantas, bagaimana dengan kakek? Bukankah kakek sangat menentang hubunganmu dengan kekasihmu?" tanya Aran.
Arun masih tetap menyeringai.
"Aran, aku sudah meminta pada kakek untuk tidak menentang pernikahanku. Toh, inilah bentuk tanggung jawab yang bisa kulakukan atas perbuatan tidak senonoh yang sudah kuperbuat bersama kekasihku," beber Arun dengan santainya.
"Lagipula kakek begitu pelit! Kakek bahkan tidak bersedia membiayai pernikahanku! Haha!"
Aran makin melemparkan pandangan skeptisnya pada Arun.
"Jadi, Aran, berikan aku rumah yang layak untuk dihuni sebagai hadiah atas pernikahanku!"
Arun menyeringai makin lebar.
"Ayolah! Kau bahkan seorang pebisnis sukses di bidang property dan real estate! Memberiku hadiah rumah tentu adalah hal kecil bagimu!" bujuk Arun.
Aran kembali menatap Arun.
"Arun, lebih baik kau bekerja yang benar daripada merengek padaku."
"Aku bisa memberimu pekerjaan yang layak daripada kau hidup hanya dengan mengejar mimpi yang bahkan tidak bisa kau wujudkan."
Arun terdiam mendengar ucapan Aran.
"Jika kau pikir dengan menikahi wanita yang membuatmu bermimpi besar bisa membuat mimpimu terwujud, lebih baik kau segera bangun dan hadapi kenyataan," tandas Aran.
"Haha!" Arun tertawa.
"Sebaiknya kau simpan saja nasehatmu itu untuk dirimu sendiri! Lihat saja, saat nanti aku mendapatkan seluruh warisan dari kakek! Aku akan mewujudkan semua mimpiku!"
"Aku akan membuatmu dan juga kakek semakin kesal karena aku bisa mewujudkan mimpiku yang selalu kalian anggap omong kosong!"
Srak.....
Arun melayangkan tangannya ke arah tumpukan dokumen di meja kerja Aran. Tumpukan dokumen itu langsung berserakan di lantai.
Arun menepuk-nepuk tangannya, lalu melambaikan tangan sebagai tanda berpamitan.
Aran menghela napas berat melihat semua dokumen pekerjaannya berserakan di lantai seperti ini.
"Dasar Arun!" Keluhnya.
...*****...
"Sebaiknya kita tinggal di tempat yang terpisah saja. Aku bisa tinggal di tempat kerjaku sambil mencari tempat tinggal yang sesuai dengan budget," Ujar Viona.
"Aku rasa kita tidak bisa tinggal terpisah. Bisa saja kakekku mengirim mata-mata di sekitar kita."
Viona reflek langsung menoleh ke kiri dan ke kanan. Warteg yang mereka kunjungi masih ramai meski hari sudah makin malam.
"Hei, jangan terlihat mencolok begitu!" keluh Arun.
"Hei, Sutopo, apa kakekmu itu seorang mafia?" tanya Viona.
Arun terkekeh. "Kakekku tidak perlu menjadi mafia hanya untuk mengawasi setiap gerak-gerikku."
Viona merengut, ia kembali menoleh ke sekelilingnya.
Pelanggan warteg, pelayan, pengemis, bahkan pengamen bersuara sumbang itu bisa jadi mata-mata yang memantau mereka.
"Baiklah, begini saja, kau bisa tinggal di tempatku," usul Arun.
"Tidak! Lebih baik aku mencari tempat tinggal sendiri!" tolak Viona.
"Oh, kau tidak mau tinggal bersamaku karena kau takut jatuh cinta padaku?"
"Haah?! Apa kau bilang?!" Viona terperangah.
Arun terkekeh.
"Jangan besar kepala! Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu lagi!" sembur Viona.
...*****...
Viona terengah-engah menaiki tangga sambil menyeret koper dan tasnya. Tangga sempit dan melingkar berpencahayaan minim, terkesan angker seperti dalam film-film horor.
Arun memutar anak kunci begitu tiba di depan pintu rumah susun tempatnya tinggal.
Viona memasuki ruangan sempit yang ukurannya bahkan lebih kecil dari kamar tidurnya. Pencahayaannya minim dengan udara panas dan hawa pengap.
Kontrakan satu petak dengan sebuah tempat tidur ukuran tunggal, kamar mandi di sudut ruangan bersebelahan dengan meja berisi kompor dan tempat cuci piring.
"Yah, aku tahu tempat ini tidak nyaman untuk dihuni, tapi lebih baik daripada tidak ada tempat tinggal."
"Serius kau tinggal di tempat seperti ini?" tanya Viona masih tetap tercengang.
"Tentu saja, lagipula harga sewanya lebih murah, dan sekarang akan semakin murah karena kita akan membayarnya secara patungan."
Arun menjelaskan dengan penuh rasa bangga, seperti host acara penjualan unit apartemen di televisi.
Viona masih memindai sekelilingnya, tempat tidur hanya ada satu, itu pun ukurannya tunggal. Lantas ia harus tidur di mana?
"Ada apa?" tanya Arun.
"Tempat tidurnya hanya ada satu, lalu aku tidur di mana?"
"Tentu saja kau harus di lantai," jawab Arun dengan cepat.
"Tidak bisa! Itu tidak adil! Aku juga membayar sewa tempat ini! Jadi aku punya hak yang sama denganmu!" protes Viona dengan cepat.
"Oh begitu! Baiklah kalau begitu, mari kita tentukan dengan seadil-adilnya!" tantang Arun.
"Ya! Kau benar! Harus seadil-adilnya! Dan kau tidak boleh curang!"
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments