"Ayah!"
Setengah berlari Trias menghampiri Pak Sutopo yang sedang melakukan ritual merawat tongkat jati kesayangannya. Setiap hari Pak Sutopo memang kerap meluangkan waktu untuk sekadar membersihkan tongkat itu. Pria tua itu dengan telaten mengelap setiap permukaan tongkat yang sudah diberi cairan khusus pembersih kayu dengan kain micro fiber.
"Ayah harus berpikir ulang dalam mengambil keputusan bahwa Ayah hanya mewariskan seluruh warisan Ayah kepada cucu Ayah! Bocah nakal itu bahkan sudah mencoreng nama baik keluarga kita!"
Trias bicara dengan urat lehernya yang mengembang dua kali lipat. Reni yang mendampingi Trias memasang raut wajah cemas yang terlihat jelas.
"Aran yang bahkan selalu Ayah unggulkan ternyata hanyalah bocah yang bahkan tidak bisa menahan hasrat biologisnya!"
"Lalu, Arun! Cih, bocah itu bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik! Bisa-bisanya Ayah berpikir untuk menyerahkan seluruh warisan Ayah kepada bocah-bocah tidak berguna itu!"
Trias terus mencecar, Reni menarik senyumnya. Ia bangga karena Trias sudah menghafal seluruh skenario yang sudah disiapkannya.
"Sayang, tenanglah," Reni mengusap-usap punggung Trias untuk menenangkannya.
"Ayah, aku meminta kebijaksanaan Ayah! Cabut hak kedua bocah tak tahu diri itu dari daftar calon penerima warisan Ayah ayah!" tandas Trias.
Pak Sutopo hanya menatap sekilas ke arah Trias, namun perhatiannya kembali terfokus pada tongkat kesayangannya. Pria tua itu masih tetap sibuk menggosok tongkat tersebut hingga luar biasa licin dan mengilap. Pegangan tongkat yang terbuat dari batu akik berwarna biru gelap itu tak luput dari sekaan kain lain dengan cairan pembersih khusus batu.
"Ayah!" geram Trias yang merasa diabaikan.
"Hmm, Trias, kau ini bicara apa?" tanya Pak Sutopo tanpa teralihkan dari batu di pegangan tongkatnya.
Trias dan Reni saling berpandangan.
Apa orang tua ini sudah pikun?! Trias membatin.
Apa orang tua ini sudah tuli? Batin Reni.
"Ehem, Ayah," Reni berdeham. "Maksud Trias, sepertinya Ayah harus mempertimbangkan ulang keputusan Ayah dalam menunjuk ahli waris yang nantinya akan menerima seluruh warisan Ayah."
"Menurut kami, Aran dan Arun masih terlalu muda. Mereka masih belum bisa berpikir dan bertindak dengan lebih baik. Buktinya Aran bahkan sampai tersandung skandal perbuatan asusila. Siapa yang bisa menduga bahwa Aran yang begitu sempurna ternyata masih bocah yang belum bisa mengendalikan hasratnya," lanjut Reni.
"Belum lagi Arun, Arun sungguh persis seperti Kak Surya yang kurang bertanggung jawab terhadap hidupnya. Jadi, tolong pertimbangkan lebih jauh lagi. Apa jadinya jika kedua bocah yang bahkan tidak bisa bertanggung jawab terhadap dirinya harus bertanggung jawab terhadap keluarga besar kita?"
Reni berusaha menjabarkan sedetail mungkin kepada orang tua yang sudah dianggapnya mengalami pikun.
"Trias, Reni," ucap Pak Sutopo.
Pria tua bermata tajam itu melemparkan pandangannya kepada dua orang di hadapannya.
"Aku justru memberi mereka kesempatan untuk bertanggung jawab dengan apa yang kuserahkan kepada mereka."
"A-apa?!" geram Trias.
Trias mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.
"Tanggung jawab untuk menemukan cincin dari cinta pertama Ayah?! Itu yang Ayah sebut dengan tanggung jawab?!"
"Ayah sudahlah! Untuk apa terus-menerus memikirkan cinta pertama Ayah? Sudah cukup Ayah menyakiti ibu karena Ayah masih terus saja terobsesi dengan cinta pertama Ayah!"
"Apa hingga kini Ayah juga masih tetap melanjutkan obsesi pencarian cinta pertama Ayah kepada para bocah tidak berguna itu?"
"Apakah itu bentuk tanggung jawab yang Ayah berikan kepada para cucu Ayah itu?"
Trias mencecar pertanyaan kepada Pak Sutopo.
"Trias cukup!" Pak Sutopo memberi perintah.
"Tidak, Ayah! Aku tidak akan berhenti sampai aku merasa mendapatkan keadilan!" sergah Trias.
Emosi pria paruh baya itu benar-benar tersulut.
"Paman, Bibi! Semua itu terserah Kakek! Toh, harta yang akan diwariskan Kakek adalah harta Kakek! Bukan harta kalian!"
Trias dan Reni terkejut mendengar suara seseorang yang menggema di belakang mereka.
"Arun!" geram Reni dan Trias.
Mata keduanya segera mengikuti sosok keponakan mereka yang selalu bersikap santai. Tipikal anak bandel yang selalu membantah perintah orang tua.
"Jadi, terserah Kakek mau membaginya seperti apa, dengan cara bagaimana, untuk siapa saja, itu bukan hal yang bisa kalian atur dan tentukan sesuai dengan apa yang kalian inginkan!"
Arun segera duduk di sofa dengan seringaian mencemooh.
"Tutup mulutmu!"
Emosi Trias makin tersulut, Reni berusaha menahan Trias.
"Sayang!" Reni mencengkeram erat lengan Trias.
Reni sendiri merasa geram dengan Arun, namun ia berusaha untuk tersenyum.
"Arun, sungguh kebetulan sekali kau datang. Apa yang membawamu kemari? Apa kau juga mau mengadukan skandal yang dibuat oleh Aran kepada kakek?" tanya Reni.
"Skandal?" Alis Arun berkerut.
"Ya, skandal Aran yang berbuat mesum di tempat umum sungguh mencoreng nama baik keluarga kita. Bibi sungguh tidak menyangka Aran bisa berbuat rendah begitu," lanjut Reni.
"Oh begitu. Tapi sayang sekali aku tidak tertarik dengan masalah Aran, Bibi," sahut Arun.
Reni menahan napasnya, rasa kesal menjalar kembali di tubuhnya.
"Jadi, mau apa kau kemari?" tanya Trias.
"Yah, karena Paman dan Bibi kebetulan ada di sini sekarang, aku mau mengumumkan rencana pernikahanku," jawab Arun.
"Apa?!" seru Trias dan Reni.
"Dan aku harap Paman dan Bibi bisa membiarkan aku bicara berdua saja dengan kakek," pinta Arun.
Trias dan Reni masih terperangah, sebelum akhirnya Reni menarik mundur Trias.
Setelah memastikan bahwa paman dan bibinya pergi dengan kondisi tercengang, Arun kembali menghadap Pak Sutopo.
"Kakek, jelaskan padaku, apa yang paman maksud dengan cincin cinta pertama Kakek?" tanya Arun.
"Tadi kebetulan aku mendengar paman bicara begitu."
Pak Sutopo masih diam.
"Yah, aku memang merasa bahwa pencarian cincin itu sedikit aneh. Pasti ada sesuatu pada cincin itu sampai Kakek membuat sayembara seperti ini. Pasti ada maksud lain dari pencarian cincin itu kan?"
"Kakek bisa saja mencari cincin itu sendiri tanpa perlu aku atau pun Aran."
Pak Sutopo mengetuk-ngetuk jarinya di atas permukaan pegangan tongkatnya yang terbuat dari batu akik berwarna biru gelap.
"Ya, Kakek memang memiliki maksud dan tujuan untuk misi yang Kakek berikan pada kalian," ujar Pak Sutopo pada akhirnya.
"Kakek berencana untuk mewariskan seluruh harta warisan Kakek kepada salah seorang di antara kalian yang lebih dulu menemukan cincin itu. Jika pemilik cincin itu adalah seorang wanita lajang, maka kalian harus menikah dengannya," Pak Sutopo menjelaskan.
"Haha sudah kuduga!" Arun tertawa.
Pak Sutopo memicingkan kedua matanya.
"Ehem, Kakek, apa cincin itu sungguh berharga?"
"Janji yang ada pada cincin itu jauh lebih berharga daripada cincin itu sendiri."
"Makanya, Kakek berikan semua harta yang Kakek miliki kepada kalian yang bisa memenuhi janji Kakek pada si pemilik cincin," lanjut Pak Sutopo.
Arun terdiam, mengamati kakeknya yang menatap nanar ke arah batu akik dalam genggaman kakeknya.
"Tapi Kakek, aku masih tetap berhak menjadi kandidat kan? Yah, misalkan aku menemukan cincin itu lebih dulu, aku tetap akan mendapat seluruh warisan Kakek kan?"
"Aku tentu tidak mungkin menikah dengan wanita pilihan Kakek, karena aku sudah menikah dengan kekasihku."
Pak Sutopo menatap lurus ke arah Arun.
"Bagaimana kalau begini saja, seandainya aku menemukan cincin itu, aku yang mendapatkan warisan, dan Aran yang akan menikahi wanita itu," usul Arun.
"Arun, kenapa kau jadi pihak yang mengatur?" tanya Pak Sutopo.
"Aku hanya memberi saran, Kek," protes Arun.
Arun meringis ke arah Pak Sutopo.
"Jadi, Kakek, bisakah Kakek membiayai pesta pernikahanku?"
"Tidak!" jawab Pak Sutopo dengan tegas.
"Kakeek!" keluh Arun.
"Pernikahanmu adalah tanggung jawabmu!"
"Kakek! Tolonglah, aku tidak punya uang!"
"Ya kalau tidak punya uang, cari sana!"
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments