"Hei Sutopo!" panggil Viona.
Arun yang sedang mengambil minuman langsung menoleh saat mendengar nama Sutopo dipanggil. Saat masih sekolah, semua orang memanggil dengan nama Sutopo lantaran ketengilannya. Para guru yang marah padanya kerap memanggilnya Sutopo hingga akhirnya panggilan Sutopo menempel lekat padanya. Padahal Sutopo sendiri adalah nama kakeknya.
Arun mengerutkan kening, tiba-tiba wanita yang sedari tadi menjadi bahan ejekan teman-temannya akhirnya datang menghampirinya.
"Kita harus bicara empat mata!" ucap Viona.
Arun meneguk es sirup berwarna kuning itu dengan sikap acuh.
"Sutopo, tolong!" ucap Viona berusaha untuk menahan rasa geramnya.
"Apa yang mau kau bicarakan?" tanya Sutopo.
"Cie..cie.. Sutopo."
Aldi, salah seorang teman sekelas mereka yang kebetulan mengambil minuman langsung menggoda mereka berdua.
"Hei, apa sih, cie..cie?!" cibir Sutopo.
Aldi hanya terkekeh sembari mengambil gelas berisi minuman.
"Sutopo! Kita harus bicara untuk meluruskan masalah ini," tandas Viona.
"Masalah apa? Memangnya ada ya?" tanya Arun.
Viona benar-benar merasa gondok dengan sikap Sutopo yang menyulut emosinya. Entah apa yang pernah merasuki Viona, sampai-sampai dulu ia begitu tergila-gila pada Sutopo.
"Sutopo! Kau benar-benar keterlaluan! Bukankah seharusnya kau berhutang maaf padaku?" tandas Viona.
"Apa? Berhutang maaf? Dalam rangka apa?" tanya Arun.
Viona mendelik gusar.
"Pokoknya kita harus bicara!" Viona menegaskan.
Semua mata langsung tertuju pada mereka, bisikan-bisikan yang langsung membuat situasi di antara mereka semakin menegangkan.
"Viona itu, kenapa sih? Masih mencari perhatian Sutopo ya??"
"Apa dia sungguh tidak tahu malu?"
"Baiklah, nanti kita bicara, tapi nanti!" tukas Arun.
Arun segera pergi meninggalkan Viona, berkumpul kembali bersama teman-temannya.
Selesai sesi foto bersama, satu per satu para tamu undangan mulai meninggalkan tempat acara.
Viona mendelik gusar karena ia harus menunggu Sutopo yang masih berbincang-bincang seru bersama beberapa teman.
Memel menarik lengan Viona. Ekspresi wanita itu sudah menunjukkan bahwa ia lelah ikut menunggu.
"Viona, ayo kita pulang saja! Mau sampai kapan menunggu Sutopo?" tanya Memel gusar.
"Aku juga kesal karena menunggu seperti ini," keluh Viona.
"Ini sudah malam dan acara sudah mau berakhir, yuk, kita pulang yuk," ajak Memel.
"Mel, kau pulang duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Sutopo!" tukas Viona.
Memel mendelik gusar melihat kegigihan dari Viona.
"Viona! Kalau kau ngotot seperti ini, sungguh aku seperti melihatmu di masa lalu!" keluh Memel.
"Mel, saat ini aku justru ingin mengubah masa lalu itu agar masa depanku juga bisa berubah!" Viona menegaskan.
Memel menatap lurus ke arah Viona. Entah mengapa ia merasa ragu dengan keputusan Viona.
"Viona, apa kau sungguh yakin? Bukankah kau sudah pernah bersumpah-sumpah tidak mau lagi berurusan dengan Sutopo?" tanya Memel penuh selidik.
"Mel, aku yakin, setelah ini, aku tidak perlu lagi berurusan dengan Sutopo! Sumpah!" jawab Viona dengan mantap.
"Hmm, baiklah, kalau begitu aku pamit duluan, aku benar-benar sudah lelah," ucap Memel.
"Ya, hati-hati di jalan, Mel!" sahut Viona.
Viona benar-benar langsung memusatkan perhatiannya ke arah Sutopo. Ia tidak mau sampai kehilangan jejak pria itu. Karena jika pria itu sudah meninggalkan ballroom, sama saja artinya bahwa mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Kehadiran Sutopo saat ini pun sungguh di luar prediksi BMKG.
Melihat Sutopo beranjak dari tempat duduk, Viona pun ikut beranjak, begitu pun saat pria itu akhirnya berpamitan dengan teman-temannya.
Viona langsung mengikuti Sutopo dalam jarak aman. Begitu pria itu keluar dari ballroom, Viona langsung mempercepat langkahnya.
"Sutopo!" seru Viona.
Namun seruan Viona sama sekali tidak membuat langkah pria itu terhenti. Bahkan Sutopo berhenti di depan pintu lift, nampak buru-buru menekan tombol lift yang mengarah ke bawah.
"Sutopo!" seru Viona sambil menarik lengan jas pria itu.
"Hei! Lepaskan!" pria itu berusaha menyentak tangan Viona.
"Mau ke mana kau? Kenapa kau malah melarikan diri? Bukankah kita sudah sepakat untuk bicara?" tanya Viona.
Pria itu menoleh ke sekelilingnya, rupanya mereka sudah menjadi pusat perhatian.
"Ikut aku!" Arun bergegas menuju ke pintu darurat.
Viona mengejar pria itu, langkah pria bertubuh tinggi itu jelas membuat Viona kesulitan mengejarnya.
Begitu memasuki pintu darurat, sudah tidak ada yang mengawasi mereka.
"Hei! Berhentilah mengejar-ngejarku! Aku benar-benar muak!" geram Arun.
"A-apa?! Mengejar-ngejarmu? Hei! Yang membuatku harus mengejarmu seperti ini karena kau sendiri yang berusaha kabur! Aku sudah menunggumu, tapi kau malah kabur begini!"
"Lagipula aku tidak mengejarmu, Sutopo! Aku hanya ingin bicara padamu!"
"Apa? Kau mau bicara apa?" tanya Arun. "Jujur saja, aku merasa tidak ada yang perlu kita bicarakan! Terus terang, aku pun tidak mau berbicara denganmu!" tandas Arun.
"Varun Sutopo!" sergah Viona.
Viona benar-benar kesal sampai harus menyebut nama lengkap pria itu.
"Aku harus menegaskan padamu! Mungkin aku memang sangat bodoh di masa lalu. Aku bodoh karena sudah tergila-gila pada pria sepertimu!"
"Tapi, pantaskah aku mendapat perlakuan buruk seperti itu?"
"Semua orang langsung menghujatku lantaran aku menyukaimu! Apakah menyukaimu itu sungguh sebuah kesalahan?"
Arun hanya diam mendengar wanita di hadapannya meluapkan kemarahannya.
"Aku tahu aku benar-benar bodoh. Sudah tahu menyukaimu adalah sebuah kesalahan, tapi aku malah masih ngotot berbuat salah!"
Arun mendelik gusar, mendengarkan wanita itu bicara sungguh membuang-buang waktunya.
Cklek.. pintu darurat terbuka. Seorang karyawan hotel memasuki tangga darurat.
Arun merasa mendapat kesempatan untuk kabur. Ia pun bergegas menuruni tangga darurat.
"Sutopo! Hei tunggu! Aku belum selesai bicara!" seru Viona.
Viona berusaha mengejar pria itu. Viona melepas sepatunya, sulit baginya untuk menuruni tangga dengan cepat sambil memakai sepatu berhak meskipun haknya hanyalah tiga sentimeter.
Arun tak peduli, ia tetap melangkah turun dengan cepat, ke luar dari tangga darurat untuk mencari lift. Namun melihat antrian penumpang yang menunggu di depan pintu lift membuatnya memilih kembali menggunakan tangga darurat.
"Hei! Sutopo! Tunggu! Kita belum selesai bicara!" seru Viona.
"Tidak! Aku tidak mau bicara denganmu! Berhenti mengikutiku seperti ini!" balas Arun.
"Hei, Sutopo! Aku tidak akan mengikutimu seperti ini kalau saja kau bisa diajak bicara baik-baik!" seru Viona.
"Jika kau masih tetap saja membicarakan tentang perasaanmu padaku! Aku sungguh tidak mau membahasnya!"
"Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa aku sama sekali tidak pernah tertarik padamu meski kau mengemis?!"
Arun menghentikan langkahnya begitu tiba di depan mobilnya. Ia menekan kunci mobil, mobil berkedip pertanda kunci telah terbuka.
"Aku tidak pernah punya perasaan khusus padamu dan jangan pernah berharap!"
Arun memutar tubuhnya, memandangi wanita yang masih mengekor di belakangnya.
"Jadi, pergilah dan jangan pernah mengganggu hidupku!" tandas Arun.
"Apa?!" Viona terperangah. "Sutopo! Kau jangan besar kepala! Aku akui, aku dulu memang sangat menyukaimu bahkan tergila-gila padamu, tapi itu dulu. Sekarang itu sama sekali tidak berlaku!"
"Aku batalkan semua rasa cinta yang pernah kurasakan dan kuberikan untukmu! Aku membencimu! Sungguh aku membencimu hingga seluruh turunanmu!" tandas Viona.
"Huh! Baguslah kalau begitu!" sahut Arun dengan entengnya.
Viona benar-benar muak dengan pria di hadapannya, ia bergegas berbalik, namun tiba-tiba saja seseorang meringkusnya dari belakang.
Detik berikutnya semua langsung berubah menjadi gelap.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments