Sebuah mobil mewah terhenti di depan sebuah minimarket. Seorang pria terlihat bergegas masuk ke dalam mobil, melompat dan mendaratkan bokongnya di atas kursi empuk berbahan kulit premium. Kemudian mobil pun mulai bergerak secara perlahan.
Pria itu menyeringai melihat ke arah seorang pria yang duduk sambil berkutat di depan sebuah komputer tablet.
"Terima kasih sudah menjemputku, kupikir kau tidak akan datang, Aran."
Arun menyeringai memandangi penampilan Aran yang selalu dan senantiasa rapi dalam balutan setelan jas hitam dan kemeja putih yang tak dikancing.
"Tidak perlu berbasa-basi begitu, sebenarnya apa yang hendak kau bicarakan?"
Aran sama sekali tak melepaskan pandangannya dari layar komputer tabletnya.
"Hmm, Aran, apa kau menggunakan sayembara untuk menemukan pemilik cincin itu?" tanya Arun.
Aran tak menyahut.
"Oh, kau tidak menggunakan cara itu ya?! Haha," Arun tertawa sinis.
Aran masih tak menyahut, ia membiarkan kakaknya itu berbicara sesukanya.
"Lalu, kau menggunakan cara apa? Apa dengan menerima tawaran dari paman dan bibi?" tanya Arun.
Aran menyingkirkan komputer tabletnya, menyimpan benda pipih itu ke dalam sebuah tas yang menjadi pembatas di antara mereka berdua.
"Arun, aku tidak tertarik menerima bantuan dari siapa pun yang mengklaim bahwa mereka bisa membantuku. Yang bisa kuandalkan hanyalah diriku sendiri," jawab Aran dengan tegas.
"Dirimu sendiri atau dukungan dari kakek?" tanya Arun seraya tertawa sinis.
Aran terdiam sambil membalas tatapan skeptis Arun.
"Aran, aku benar-benar merasa sangat kecewa padamu, jika ternyata kompetisi yang katanya digadang-gadang memiliki tingkat keadilan tinggi namun ternyata hanya bersifat formalitas semata," ucap Arun.
"Aku benar-benar tidak bisa menerima jika hal itulah yang akan terjadi nantinya," lanjut Arun.
"Arun, cukup! Aku tidak ingin berdebat denganmu! Kau cukup tunjukkan saja hasil terbaik dari apa yang sudah kau lakukan tanpa harus melayangkan tuduhan tak berdasar," potong Aran.
"Haha, tuduhan tak berdasar?!" Arun kembali tertawa sinis.
"Arun, sungguh aku tidak ingin kita bertemu hanya untuk saling berdebat dan menuduh!" sergah Aran.
"Hmm, ya, ya, aku tidak menuduhmu. Aku hanya menyampaikan apa yang sudah kudengar langsung dari paman dan juga bibi," sahut Arun.
Aran kembali melayangkan tatapan skeptis, tergambar jelas di wajahnya.
"Hei, pinjamkan aku jasmu!"
Arun membuka paksa jas yang menempel di tubuh Aran.
"Hei! Hei! Kenapa kau harus meminjam jasku? " Aran menahan tangan Arun.
"Sudahlah, pinjamkan saja! Aku tidak punya waktu untuk kembali pulang! Tadi aku bahkan numpang mandi di minimarket, haha!"
Aran lagi-lagi melemparkan tatapan skeptis pada Arun yang berhasil melucuti jasnya.
"Aku pinjam juga sepatumu!"
Arun menarik kaki Aran dan melepas sepatu mengilat yang dipakai Aran.
"Hei! Apa-apaan kau ini?!" sergah Aran.
Kedua sepatunya sudah berhasil dilucuti Arun tanpa perlawanan. Aran tidak mungkin melawan Arun, sementara di kursi depan ada sopir yang berkali-kali mengawasi dari kaca spion.
"Haha! Memang ada untungnya kita punya ukuran tubuh yang sama!"
Arun tertawa sumringah usai memakai sepatu Aran.
"Oh ya, satu hal lagi, pinjami aku mobilmu ini!" perintah Arun.
"Astaga Arun! Apa-apaan kau ini?!" keluh Aran.
"Aran! Kau jangan berpura-pura lupa ya! Kau pikir gara-gara siapa aku harus kehilangan semua fasilitas dari kakek?" cibir Arun.
"Arun! Kau kehilangan semua fasilitas dari kakek karena ulahmu sendiri! Dan itu semua demi kebaikanmu!" tandas Aran.
"Huh, kalau saja kau tidak begitu lancang dengan mencampuri urusan pribadiku, aku rasa aku akan baik-baik saja!" sahut Arun.
Mobil menepi dan berhenti di perempatan jalan. Aran dan sopirnya keluar dari mobil mewah itu.
"Akan kukembalikan mobilmu saat aku mendapatkan warisan dari kakek!" tukas Arun seraya melambaikan tangannya.
Mobil pun segera meluncur, menjauhi pandangan Aran.
"Dasar orang gila!" geram Aran.
Arun terkekeh sambil mengemudikan mobil mewah itu. Ia terpaksa kehilangan semua fasilitas yang diberikan oleh kakeknya, mulai dari kartu kredit, apartemen, hingga mobil lantaran ulah Aran.
"Kau benar-benar harus merasakan apa yang juga kurasakan, Aran, hmm, hmm!" Arun bersenandung riang.
...*****...
Sementara itu, Viona baru saja tiba di pelataran sebuah hotel berbintang lima yang menjadi tempat acara resepsi pernikahan teman masa SMA-nya. Sebenarnya Viona enggan untuk datang, namun Memel, sang teman sejati memaksa.
Memel langsung menyambut kedatangan Viona.
"Syukurlah kau datang! Ayo cepat! Di dalam banyak pria tampan yang bisa diajak berkenalan!"
Memel begitu antusias, mengingat bahwa mereka berdua masih lajang dan belum punya pasangan.
"Mel, bagaimana penampilanku? Apa aku terlihat rapi?"
"Hihi, kau bahkan lebih terlihat seperti mau ikut tes wawancara kerja daripada pergi ke kondangan!" Memel terkikik geli.
"Hei, aku ini baru pulang kerja, jadi harap maklum!" sahut Viona.
"Ya,y a, baiklah, terima kasih sudah meluangkan waktu," Memel masih terkekeh.
Langkah Viona terhenti, langsung menarik lalu mengaitkan lengannya ke lengan Memel.
"Mel, dia tidak mungkin datang kan?" bisik Viona.
"Dia?" Alis Memel berkerut.
Viona mengangguk cepat, berharap semoga orang yang ia maksud langsung dimengerti Memel tanpa perlu menyebutkan namanya. Viona sudah terlanjur membenci orang itu dan berharap mereka tidak akan pernah bertemu lagi sampai kapan pun.
"Oh, si Itu?!" Memel kembali terkekeh. "Vio, kau tenang saja, si Anu itu sudah menghilang dari peradaban bumi! Sepertinya mungkin dia sudah hidup di planet lain! Sudah tidak ada kabar berita atau pun ada yang tahu di mana dia sekarang," Memel menjelaskan informasi yang diketahuinya.
Viona menghela napas lega, setidaknya ia tidak perlu merasa khawatir lantaran ada kemungkinan bertemu lagi dengan orang yang mereka bicarakan.
Viona punya kenangan buruk dengan orang itu dan ia berusaha untuk melupakan kenangan itu, menguburnya dalam-dalam hingga ke dasar sanubari.
Di dalam ballroom yang sudah didekorasi bertemakan musim semi, semua bunga-bunga bermekaran menghiasi ruangan tersebut hingga membuat mata terpana, Viona bertemu dengan wajah-wajah tak asing yang dulu pernah mengisi masa SMA-nya.
Maklum saja, si empunya hajatan dulunya merupakan ketua OSIS yang sangat populer di sekolah. Tak ayal acara resepsi pernikahannya menjadi tempat reuni dadakan.
Entah mengapa Viona merasa minder saat melihat teman-temannya yang kini terlihat sudah sukses. Bahkan ketika melihat kumpulan para gadis yang dulu begitu populer, kini terlihat makin menyita perhatian.
Salah satu dari gadis populer itu bernama Mira.
"Eh, tunggu, kalau tidak salah, kau Viona kan?" tanya Mira.
"I-iya, hai Mira," jawab Viona kikuk.
"Oh, kau Viona si cinta sejatinya..oh hei, Sutopo! Di sini ada cinta sejatimu!"
Mira berseru sambil melambaikan tangan ke arah seorang pria.
Sosok pria yang langsung membuat Viona terpaku, terpalu, dan terpahat di tempat.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments