Seorang pria nampak terburu-buru memasuki sebuah restoran. Melihat seorang pria paruh baya melambaikan tangan dari salah satu meja, pria itu pun segera menghampirinya.
"Maaf Paman, Bibi, aku terlambat," Arun menyeringai ke arah paman dan bibinya.
Trias bisa menyembunyikan ekspresi masamnya, namun tidak dengan istrinya, Reni. Sudah dua jam mereka menunggu Arun datang memenuhi undangan mereka. Reni bahkan sempat berdebat dengan Trias agar mereka lebih baik pulang lalu mengatur jadwal bertemu di lain waktu.
"Kau memang selalu terlambat, jadi, aku sudah terbiasa memakluminya," Trias tertawa kecil.
"Arun selalu sibuk, tapi entah apa yang disibukkannya!" Reni mencibir seraya tertawa.
"Haha, maaf, maaf!" Arun tertawa tipis.
Pelayan segera datang menghidangkan makanan sesuai instruksi dari Reni, makanan baru boleh disajikan jika tamu mereka sudah tiba.
Steik daging pun segera terhidang di hadapan mereka bertiga.
"Ayo kita segera makan, sudah lama rasanya kita tidak pernah makan malam bersama seperti ini," ucap Trias.
"Benar, seingatku, aku rasa saat ulang tahun kakek sepuluh tahun lalu," sahut Arun.
"Haha, Arun, seharusnya kita lebih sering kumpul bersama meski hanya sekadar makan malam," tukas Reni.
Arun memotong-motong daging steiknya.
"Jadi, apa maksud Paman dan Bibi sampai repot-repot mengundangku makan malam begini?" tanya Arun.
Trias dan Reni berhenti memotong daging steik mereka, keduanya saling melemparkan pandangan. Keduanya memberi kode untuk bicara sesuai rencana yang telah mereka susun sebelum kedatangan Arun.
"Ehem, jadi begini, Arun, ini mengenai pembagian harta warisan dari ayahku yang kudengar katanya beliau memberi persyaratan kepada kalian berdua, maksudku, kau dan Aran," kata Trias penuh kehati-hatian.
"Wah, bagaimana Paman bisa tahu mengenai persyaratan yang diberikan kakek?" tanya Arun.
Trias dan Reni kembali saling berpandangan. Mereka tentu saja tahu karena mereka menguping pembicaraan tersebut.
"Kami tahu dari mana itu tidaklah penting," sambar Reni.
"Ya, yang lebih penting sekarang, apakah kau sudah memenuhi persyaratan itu?" tanya Trias.
Arun mengunyah potongan daging steiknya. Daging sapi wagyu yang begitu lembut dan membuatnya seakan enggan untuk bicara sebelum menelan.
"Pasti sangat sulit sekali ya, menemukan seseorang, apalagi hanya bermodal foto dari zaman dahulu kala," kata Reni.
Arun masih tidak menjawab.
"Apa jangan-jangan Aran sudah menemukannya lebih dulu darimu?" tanya Reni.
"Entahlah, aku tidak tahu. Aran tidak mengatakan apa pun padaku," jawab Arun seraya mengedikkan bahunya.
"Tentu saja Aran tidak akan mengatakan apa pun padamu. Kalian sedang berada di tengah kompetisi," sahut Trias.
Arun tak menyahut lantaran ia kembali mengunyah potongan steik berikutnya.
"Arun, bagaimana kalau kita bekerja sama? Paman dan Bibi akan membantumu," tanya Reni.
Trias menghela napas berat karena mendapat respon dingin dari Arun yang lebih memilih mengunyah daging steik daripada bicara.
"Arun, jujur saja, kau pasti sudah menyadari bahwa kompetisi ini hanya bersifat formalitas. Kau pasti tahu bahwa ayahku sebenarnya jelas lebih berpihak pada Aran," tutur Trias.
"Ya, kakekmu pasti sengaja mengadakan kompetisi ini untuk menjaga harga dirimu saja. Mengadakan kompetisi agar dianggap bisa memberi keadilan. Coba kau tengok pamanmu ini, apakah pamanmu ini mendapat keadilan?" tanya Reni sambil mengusap-usap lengan Trias.
"Yang adil itu harusnya semua pihak berkompetisi, kau, Aran, pamanmu, dan juga ayahmu, harusnya seperti itu kan?" Reni memberi penekanan.
"Apa yang bibimu katakan itu benar, Arun. Harusnya pamanmu ini juga berhak atas warisan dari kakekmu," sahut Trias.
"Jika kita bekerja sama, Bibi yakin bahwa kita akan memenangkan kompetisi ini dan mendapatkan seluruh harta warisan kakekmu," ujar Reni.
"Kita bisa membaginya secara 50:50, itu sudah cukup bagi Paman," lanjut Trias.
Arun meletakkan pisau dan garpu di sisi piringnya. Ia mengusap mulut dengan serbet putih, menandakan bahwa ia menyudahi makan malamnya.
"Bagaimana, Arun? Apa kau setuju dengan penawaran yang Paman berikan?" tanya Trias.
Arun meneguk air mineral, sementara Reni menunjukkan ekspresi jengah karena sudah merasa lelah bicara panjang lebar namun belum juga ada tanggapan dari Arun. Ibarat seorang agen asuransi yang menjelaskan hingga mulutnya berbusa namun sang klien masih enggan untuk membuat keputusan.
"Arun, bukannya Bibi meragukan kemampuan yang kau miliki, hanya saja Aran memiliki lebih banyak keunggulan yang akan membuatnya memenangkan kompetisi! Kau tidak akan mendapatkan apa pun jika tidak melakukan kerja sama dengan pihak lain, khususnya paman dan bibimu ini!" tandas Reni.
Arun mengerutkan keningnya begitu mengamati ekspresi paman dan bibinya yang terlihat berusaha menutupi kekesalan mereka.
"Paman, Bibi, apakah Paman dan Bibi juga menyampaikan hal yang sama seperti ini pada Aran?" tanya Arun.
Reni dan Trias terkejut mendengar pertanyaan Arun. Keduanya sungguh tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang seketika membuat mereka ketar-ketir.
Apa Aran sudah menyampaikan pada Arun tentang negosiasi paman dan bibinya?
Trias dan Reni memang sudah menemui Aran terlebih dahulu untuk menawarkan negosiasi, namun Aran menolak hal tersebut. Oleh sebab itu mereka beralih pada Arun. Keduanya saling berpandangan.
"A-apa maksudmu, Arun?" tanya Reni berpura-pura.
"Mengapa kau bisa berpikir bahwa kami menyampaikan hal yang sama pada Aran?" tanya Trias.
Arun bisa membaca gelagat mencurigakan dari paman dan bibinya.
"Arun," kata Reni.
"Paman dan Bibi berusaha untuk membantumu menghadapi Aran, karena Bibi yakin kau pasti memerlukan bantuan kami," lanjut Reni.
"Kakekmu bahkan sudah berpihak pada Aran, kau sungguh tidak akan punya kesempatan," tegas Trias.
"Paman, Bibi, aku bahkan belum melakukan apa pun, namun kalian sudah memandang rendah kemampuanku. Jujur saja itu sungguh melukai harga diriku," Arun menyeringai.
"Ti-tidak, Arun! Kami tidak bermaksud memandangmu rendah!" sergah Reni.
"Ya, kami hanya berupaya untuk memberimu bantuan!" sambung Trias.
"Paman, Bibi, aku sungguh berterima kasih pada kalian yang sudah berusaha untuk membantuku. Namun rasanya kompetisi ini akan menjadi tidak adil bagiku dan juga Aran," potong Arun.
Belum lagi jika ternyata kalian adalah agen ganda, batin Arun.
"Aku akan menjalani kompetisi ini secara adil sesuai dengan perintah kakek, itulah keputusanku," lanjut Arun.
"Terima kasih atas makanannya, permisi," Arun berpamitan.
"Arun! Tunggu!" sergah Trias.
"Arun, kembali! Atau kau akan menyesal!" seru Reni.
Arun tidak peduli, ia tetap pergi meninggalkan paman dan bibinya.
Cih, dasar Paman dan Bibi! Batinnya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Kupastikan dia akan menyesal dengan keputusannya menolak penawaran kita!" gerutu Reni.
"Huhh! Benar-benar mereka berdua itu!" geram Trias. "Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?"
"Dua bocah tengik itu benar-benar ingin menguasai harta kekayaan ayahku, dan aku hanya bisa menjadi penonton saja seperti ini! Tidak bisa, Reni! Tidak bisa!" keluh Trias.
"Sayang, bukankah aku sudah mengatakan dengan jelas bahwa Arun akan menyesal?"
"Apa maksudmu?"
"Kita lihat saja nanti! Karena aku sudah menyiapkan rencana lain sebagai cadangan!" Reni tersenyum sumringah.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments