Viona masih memandangi cincin di jari tengahnya. Alam bawah sadar membawanya berpetualang ke momen ketika cincin itu diberikan oleh neneknya.
Hari itu, Viona pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyub saat nenek membukakan pintu rumah untuknya.
"Ada apa, Vio? Kenapa basah kuyub begini? Nanti kamu masuk angin, ayo cepat keringkan badanmu dulu," perintah nenek.
Saat itu Viona hanya bisa menangis sesenggukan. Untunglah hari itu sedang hujan sehingga tidak ada yang tahu bahwa ia sedang menangis.
Viona duduk di lantai sementara nenek yang duduk di kursi goyang dengan lembut mengeringkan rambut Viona dengan handuk.
Nenek dengan sabar mendengar cerita Viona, alasan Viona menangis sampai sesenggukan seperti itu.
"... Pemuda yang sudah kusukai sejak lama menolakku, Nek! Katanya, aku adalah tipe gadis yang sangat dibencinya. Hiks..."
"Nenek, sepertinya aku memang tidak akan pernah bisa punya pacar. Aku tidak cantik dan pintar. Aku tidak seperti Sany. Begitu banyak orang yang menyukai Sany."
"Tidak ada yang menyukaiku, Nek!"
Begitulah yang dikeluhkan oleh Viona. Sebenarnya ini bukan pertama kali Viona ditolak oleh orang yang sama. Namun penolakan kali ini terasa sangat menyakitkan. Lebih dari sepuluh kali ia menyatakan cintanya pada pemuda itu, namun selalu ditolak. Padahal ini tahun terakhirnya di sekolah. Setelah lulus sekolah, mungkin ia tidak akan pernah bertemu dengan pemuda itu lagi.
"Sudah berapa lama kamu menyukai pemuda itu?" tanya nenek.
"Sudah lama sekali Nek, sejak masuk SMA," jawab Viona.
"Dia cinta pertamamu?" tanya nenek.
Viona mengangguk pelan.
"Aku sangat menyukainya, bahkan meski dia membenciku. Miris sekali kan Nek?!"
Viona berbalik memandangi neneknya. Nenek Viona sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Kulit wanita tua itu dipenuhi kerutan yang menggerus kecantikannya. Garis-garis waktu terlihat jelas di wajahnya, matanya masih berbinar meski garis kelabu mulai memudarkan warna cokelat gelap pada kornea mata beliau.
"Nenek, apa Nenek pernah merasakan apa yang kurasakan? Dibenci oleh orang yang disukai?"
Nenek mengulas senyum lembut, kulit di sekitar bibirnya sudah mengendur.
"Ya, Nenek pernah merasakannya," jawab nenek.
"Benarkah? Itu tidak mungkin Nek!"
Nenek mengangguk cepat, lalu menoleh ke arah laci di samping tempat tidurnya.
Tangannya menggapai sesuatu dari dalam laci. Sebuah kotak kecil yang tersimpan di bawah tumpukan kertas tagihan pengobatan dari rumah sakit.
Nenek mengeluarkan sebuah cincin dari dalam kotak itu.
"Ini adalah bukti, bahwa dulu Nenek pernah mencintai sekaligus membenci orang itu," jawab nenek.
"Ini cincin kawin Nenek?" tanya Viona.
Nenek menggeleng pelan.
"Ini adalah cincin yang diberikan oleh orang yang menjadi cinta pertama Nenek," jawab Nenek.
"Kakek yang memberikannya?" tanya Viona lagi.
"Bukan," jawab nenek dengan cepat.
"Nenek sudah menyimpannya selama lebih dari enam puluh tahun," lanjut nenek.
"Waktu itu masih zaman perang. Orang itu memberikan cincin ini sebagai janji bahwa dia akan kembali dari perang lalu dia akan menikahi Nenek."
Viona menatap lurus ke arah neneknya. Mata wanita tua itu menerawang jauh.
"Nenek menanti tanpa kepastian, hanya berharap, pemuda itu akan datang untuk memenuhi janjinya."
"Perang berlalu namun tidak ada kabar dari pemuda itu. Dia masih hidup atau tidak, Nenek tidak tahu. Bertahun-tahun berlalu, hingga Nenek merasa sangat frustrasi karena tekanan dari keluarga besar yang mengharapkan agar Nenek menikah."
"Terus?" tanya Viona ingin tahu. " Apa akhirnya Nenek bertemu lagi dengan orang itu?" tanya Viona lagi.
Nenek menatap ke arah cincin itu.
"Ya, Nenek bertemu dengannya setelah bertahun-tahun kemudian," jawab nenek.
"Terus? Terus? Apa Nenek marah padanya?"
"Ya, begitulah. Nenek sangat marah padanya, apalagi saat tahu bahwa ternyata dia sudah menikah lebih dulu dari Nenek," jawab Nenek.
"Astaga! Dasar pria kurang ajar! Tega sekali Nek!"
Nenek menghela napas berat.
"Kasihan sekali Nenek sampai diberi harapan palsu seperti itu! Lalu, apa yang Nenek lakukan? Apa Nenek memukul orang itu?"
"Ya, saat itu Nenek memang mau memukulnya, tapi rasa cinta Nenek menahannya. Rasa cinta kemudian menjadi rasa benci yang begitu luar biasa," sahut nenek.
Viona menggenggam erat tangan nenek.
"Saat itu, ia meminta maaf sebesar-besarnya pada Nenek, bahkan menawarkan apa pun yang bisa ia berikan untuk menebus semuanya," ujar nenek.
"Tapi, tentu saja, Nenek menolak semua itu. Nenek tidak mau berurusan lagi dengan pria itu. Nenek bahkan mengembalikan cincin yang menjadi janji pria itu," lanjut nenek.
"Pria itu meminta Nenek menyimpan cincin ini, karena cincin ini sudah ia berikan untuk Nenek. Tapi Nenek tentu tidak mau menyimpannya."
"Nenek menganggap bahwa pria itu tidak bisa memenuhi janjinya dan Nenek membenci pria itu."
"Pria itu tetap memaksa Nenek untuk menyimpan cincin ini dan berjanji akan mengambilnya lagi," ujar nenek.
"Kenapa Nenek tidak membuangnya?" tanya Viona.
Mata nenek kembali menerawang jauh, memandang ke luar jendela.
"Nenek tidak bisa membuangnya karena Nenek masih mencintainya dan lagi-lagi masih mengharapkannya," jawab nenek.
Air mata Viona mengalir lagi. Rasanya sungguh menyesakkan mendengar cerita nenek.
"Waktu terus berlalu hingga akhirnya Nenek benar-benar melupakan pria itu. Namun tiba-tiba kami bertemu lagi. Saat itu ia sudah menduda," lanjut nenek.
"Dia ingin menikahi Nenek, tapi itu tidak mungkin, karena Nenek sudah menikah dengan kakekmu, bahkan saat itu sedang mengandung ayahmu."
Viona terperangah.
"Pria itu akhirnya menyesal?" tanya Viona.
"Sangat," jawab nenek.
"Lalu? Bagaimana Nek?"
"Dia sangat menyesal dan masih bersikeras untuk menebus semuanya. Dia berjanji untuk menjodohkan anak kami, namun semua tinggal janji karena anak-anak kami terlahir laki-laki semua," ucap nenek sambil mengulas senyumnya.
"Oh ya ampun!" sahut Viona.
"Yah, Nenek sudah berusaha untuk ikhlas menerima bahwa kami tidak berjodoh. Namun pada akhirnya dia pun berkata bahwa meski kami tidak berjodoh, namun keturunan kami haruslah berjodoh. Jadi, Vio, Nenek titipkan cincin ini padamu," kata nenek.
"Hah?! Apa?!" Viona terlonjak kaget.
"Ti-tidak Nek! Aku tidak mau bernasib sama seperti Nenek yang diberi harapan palsu!" lanjut Viona.
Nenek menggeleng pelan.
"Vio, Nenek hanya ingin tahu, apakah pria itu sungguh akan menepati janjinya?"
"Apakah pria itu sungguh akan memenuhi janjinya untuk menjodohkan keturunan kami seperti yang sudah diucapkannya?"
"Oleh karena itu, Nenek memintamu untuk menjadi saksi bahwa pria itu pada akhirnya memang akan menepati janjinya," lanjut nenek.
"Jadi jangan cemas dengan masalah jodohmu. Jodohmu akan datang jika waktunya sudah tiba."
Nenek menggenggam erat cincin dalam kepalan tangan Viona.
"Tolong jaga cincin ini, jika pria itu pada akhirnya memang tidak memenuhi janjinya, tolong dikembalikan saja ya," pinta nenek.
Viona tersadar dari lamunannya dengan masih menggenggam cincin itu.
Apa yang harus dilakukannya? Apa ia masih harus menunggu pemilik cincin ini datang?
Apa ia sungguh harus meneruskan kisah sedih neneknya yang pada akhirnya hanya diberi harapan palsu?
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments