Viona melangkah gontai saat memasuki pekarangan rumahnya. Ia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Matanya tertuju pada rombongan orang yang baru saja keluar dari pintu rumah.
Pak Ronal, ayah Viona terlihat sibuk berjabat tangan dengan orang-orang itu bersama sang istri. Istri Pak Ronal bernama Inaya, turut berpamitan dengan rombongan itu.
Viona menahan napas, bersembunyi di samping tembok yang berbatasan langsung dengan jalan. Mengintip dari celah-celah pagar pembatas antara rumahnya dan jalan.
Perlahan ia menyelinap masuk melalui pintu samping rumah sambil menebak-nebak siapa para tamu itu.
Sesampainya di dapur, ia berpapasan dengan Sany yang membawa nampan berisi cangkir-cangkir kosong dari ruang tamu.
Sany adalah adik sepupu Viona, usianya lebih muda satu tahun. Wanita itu berparas cantik dan bertubuh tinggi menjulang bak seorang model. Sany sudah tinggal di rumah Viona sejak wanita itu berusia lima tahun. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, membuat wanita itu menjadi gadis yatim piatu. Inaya yang merupakan kakak dari Ibu Sany akhirnya mengambil hak asuh atas Sany lantaran kerabat Ibu Sany hanyalah ia seorang.
"Siapa yang datang, Sany?" tanya Viona.
Sany mengulas senyum bak malaikat, mata berbinar dan kulit putihnya memancarkan rona merah muda lembut.
"Keluarga Angga datang melamarku," jawabnya dengan suara yang lembut.
"Oh, wah!" Viona terbelalak.
Ekspresi berpura-pura yang harus dikeluarkannya karena sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kau dan Angga berkencan?" tanya Viona.
Sany menggeleng pelan.
"Kami hanya dekat sebagai rekan kerja," jawabnya.
Viona menyeringai, mengasihani Angga yang sudah dekat dengan Sany. Viona tahu hasil dari acara lamaran itu. Jika Sany mengatakan hanya dekat, itu berarti penolakan. Entah sudah berapa banyak pria yang bernasib sama dengan Angga.
"Kamu baru pulang?"
Tiba-tiba Bu Inaya muncul di dapur.
"Eh, I-Ibu," Viona terbata.
"Vio, kemari," Pak Ronal yang berada di belakang Bu Inaya memanggil.
Viona mengekor di belakang ayahnya menuju ke ruang tamu.
"Vio," kata Pak Ronal.
"I-iya, Ayah," jawab Viona tergagap.
Ia sudah bisa menebak, apa yang akan disampaikan oleh ayahnya.
"Kamu kapan akan menikah?"
Viona menelan ludahnya dengan susah payah, kemunculan Ibu Inaya yang langsung duduk di samping suaminya membuat fokus Viona terdistraksi dengan tatapan tajam ibunya.
Kapan akan menikah? Pacar saja tak punya! Viona membatin.
"Vio, kamu ini. Lihat, sudah berapa banyak Ibu dan Ayah menolak lamaran dari para pria yang ingin mempersunting Sany?! Kami terpaksa menolak karena Sany tidak mau menikah sebelum kamu menikah!"
Lagi-lagi ibunya mengungkit masalah ini. Entah sudah berapa kali, saking banyaknya sampai-sampai Viona tak mampu menghitungnya.
"Kamu jangan menjadi orang yang menghalangi jodoh orang lain, Vi," sambung Pak Ronal.
A-apa?! Aku menghalangi jodoh orang?! Viona terbelalak.
"A-Ayah, aku sungguh tidak masalah kalau Sany menikah lebih dulu dariku," kata Viona.
"Tidak masalah bagimu?! Kalau dilangkahi, itu justru benar-benar jadi masalah untukmu! Bisa-bisa kamu melajang seumur hidup!" sergah Bu Inaya.
Viona tertunduk lesu, lagi-lagi ibunya melontarkan hal ini untuk kesekian ratus atau ribu kali.
"Untung saja Sany itu cantik sehingga masih banyak pria yang mau menikahinya!"
Lagi-lagi, Bu Inaya menggoreskan luka di hati Viona.
"Ayah beri waktu tiga bulan!" kata Pak Ronal.
"Ayah, Ibu," potong Sany.
Sany memegangi pundak Viona, memberi topangan yang kuat agar Viona tidak ambruk.
"Kalau Vio belum mau menikah, kita tidak boleh memaksanya. Vio pasti punya alasan tersendiri mengapa belum mau menikah," kata Sany.
Viona mendelik gusar, ucapan itu justru lebih pantas untuk dirimu sendiri, batinnya.
"Ayah dan Ibu tidak perlu mencemaskanku. Tidak masalah kita menolak banyak lamaran dari para pria itu. Jodoh tidak akan ke mana," lanjut Sany.
Viona merasakan perutnya mual mendengar omong kosong yang diucapkan oleh Sany.
"Vio, kamu kenapa sih belum mau menikah? Menikahlah dan berhenti menjadi beban orang tua!" tandas Pak Ronal.
Hujaman kata-kata pedas dari Pak Ronal membuat Viona merasa sesak.
"Ayah, Ibu, aku mau beristirahat," Viona berpamitan.
"Vio, pembicaraan kita belum selesai!" potong Bu Inaya.
Viona mengabaikan ucapan ibunya, ia melangkah gontai menuju ke kamarnya yang terletak di samping dapur.
Kamar tidur Viona dulunya difungsikan sebagai gudang. Namun beralih fungsi sebagai kamar setelah Viona memutuskan untuk berhenti berbagi kamar dengan Sany ketika ia mulai masuk SMA.
Viona membutuhkan privasi dan ia tidak mau Sany menuduhnya memakai barang-barang miliknya tanpa izin.
"Yang belum mau menikah itu Sany! Dia tidak mau kehilangan para penggemar yang memujanya dan memberikan hadiah-hadiah mahal!" Viona mencibir kesal begitu memasuki kamarnya.
Rasa kesal, marah, dan kecewa bergejolak dalam diri Viona.
Viona marah kepada orang tuanya yang menganggapnya hanya beban. Dan ia marah karena Sany bersikap sok baik namun menyudutkannya. Menjadikan Viona sebagai alasan untuk tidak menikah lebih dulu.
Viona bahkan menutup akun sosial medianya lantaran tidak mau lagi menerima teror dari para penggemar Sany.
Mereka meluapkan kemarahan, mencaci maki, dengan segala sumpah serapah karena lamaran mereka ditolak oleh Sany.
Bahkan salah satu dari mereka pernah meminta pada Viona untuk bertanggung jawab, meminta penggantian sejumlah uang yang telah digelontorkan untuk membelikan Sany hadiah-hadiah mahal.
Viona merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Matanya memandangi langit-langit kamar yang dipenuhi bekas rembesan air, membentuk peta pulau-pulau berwarna kecokelatan. Cat pada dinding kamar bahkan sudah banyak terkelupas.
Viona tidak punya banyak uang untuk merenovasi kamar. Penghasilannya setiap bulan sebagai staf administrasi di salah satu lembaga kursus bahkan tidak mencapai UMR.
Yah, maklum saja, Viona hanya mempunyai ijazah SMA. Ia tidak mengenyam bangku kuliah lantaran terkendala pada nilai ijazahnya yang hancur lebur. Akibatnya ia tidak bisa mendapatkan beasiswa.
Ayah dan ibunya terlanjur kecewa pada Viona, mereka lebih memilih untuk membiayai kuliah Sany yang mereka anggap lebih pintar dari Viona.
Kehidupan Viona berubah sejak kehadiran Sany. Sany mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang lebih dari ayah dan ibunya. Hal itu membuat Viona merasa dianak tirikan oleh orang tua kandungnya sendiri.
Hiks..
Sedih jika harus mengingat hal yang sudah berlalu. Namun lebih menyedihkan lagi saat harus mengalami penolakan dari pria pujaannya.
Alan, sang pujaan hati yang sudah dicintainya selama 365 hari menolak untuk menjadi kekasihnya.
Pupus sudah harapan Viona untuk mendapatkan kekasih yang akan menemani dalam rangka menghadiri undangan resepsi pernikahan musuh bebuyutan di zaman sekolah.
Padahal Viona sudah berandai-andai, datang ke acara tersebut untuk memamerkan kekasihnya yang luar biasa tampan. Namun rupanya kehaluannya cukup menjadi halusinasi saja.
Viona kembali memandangi cincin di jari tengahnya.
"Nenek, sampai kapan aku harus menunggu jodohku datang? Usiaku sudah 32 tahun dan sudah dipaksa untuk menikah! Apa nenek hanya memberi harapan palsu untukku?"
Sampai kapan aku harus menunggu?
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments