Seorang pria nampak berjalan tergesa-gesa saat memasuki sebuah ruangan tempat orang-orang sudah berkumpul.
Mata-mata tajam langsung terhujam ke arahnya. Pria itu hanya melemparkan seringaian sambil menghempaskan bokong di atas sofa.
Ia terlihat begitu santai saat menghadapi situasi di mana semua orang hanya berdiam diri, tenggelam dalam atmosfer yang begitu menegangkan.
"Maaf, aku datang terlambat, aku ketiduran," ujarnya santai ke arah seorang pria yang duduk di sampingnya.
"Jangan meminta maaf padaku," pria di sampingnya menyahut dingin.
"Haha! Aran! Kita sudah lama tidak bertemu dan kau masih belum mencair juga!" pria itu tertawa sambil berusaha menyikut lengan pria di sampingnya.
Pria yang dipanggil Aran langsung menghindar sambil melemparkan tatapan tajam.
"Arun, apa kau pikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk bercanda?" sergah Aran.
Pria yang dipanggil Arun itu masih tetap menyeringai dan bersikap santai.
"Halo, Paman, Bibi," Arun menyapa keluarganya, sengaja mengabaikan Aran.
Trias dan Reni tidak menanggapi sapaan Arun. Keduanya bahkan terlihat berpura-pura tidak melihat pria itu.
"Sepertinya seluruh anggota keluarga Pak Sutopo sudah lengkap."
Hadian, pengacara dari pihak Pak Sutopo langsung menyita perhatian semua orang.
"Saya akan membacakan surat wasiat yang disampaikan oleh Pak Sutopo mengenai pembagian harta warisan beliau," kata Hadian.
"Oh, kakek sudah meninggal ya? Kapan?" tanya Arun.
Lagi-lagi semua mata tertuju pada Arun.
"Ehem," Aran berdeham. "Arun, kakek belum meninggal."
"Arun, kau itu sungguh cucu durhaka! Bisa-bisanya mengatai ayahku sudah meninggal!" Trias menghardik.
"Trias!" sergah Reni.
Trias mendengus keras, Reni menepuk-nepuk paha suaminya sambil melayangkan tatapan penuh kemarahan.
"Baiklah, akan saya lanjutkan kembali," kata Hadian.
Pengacara berusia hampir lima puluh tahun itu kembali membacakan secarik kertas yang ditulis langsung oleh kliennya.
"Pak Sutopo mewariskan sepenuhnya harta warisan beliau kepada cucunya," lanjut Hadian.
"Apa?! Cucu?!" Reni berteriak penuh kemurkaan.
"Pak Hadian! Apa tidak salah? Mengapa semua harta warisan ayah mertuaku harus jatuh kepada cucunya?"
Reni melayangkan tatapan penuh kemarahan ke arah Aran dan Arun.
"Lantas, bagaimana dengan suamiku yang notabene adalah anak Pak Sutopo? Apa suamiku sungguh tidak dianggap?"
Reni mencecar Hadian dengan begitu banyak pertanyaan.
"Apa yang dikatakan istriku benar! Mengapa harta warisan ayahku harus jatuh ke tangan bocah-bocah itu?" sergah Trias.
"Huh! Bocah-bocah? Paman, Bibi, usiaku sudah tiga puluhan, apa masih pantas disebut sebagai bocah?" Arun tertawa sinis.
"Kau...!" Trias menahan emosinya.
Arun, keponakannya itu memang kerap menyulut emosinya bahkan sejak masih kecil.
"Cucunya? Bukan para cucu?" Aran bertanya.
Hadian sangat paham bahwa Aran adalah orang yang memiliki pemikiran kritis.
"Ya, Pak Sutopo hanya akan mewariskan seluruh harta warisan beliau kepada salah seorang cucunya," jawab Hadian.
"Omong kosong apalagi ini!" Trias kembali memotong.
"Pak Hadian! Anda jangan bicara omong kosong, atau aku akan meminta pengacaraku untuk menuntut Anda!" sembur Reni penuh kemurkaan.
"Paman, Bibi, tolong jangan memperkeruh keadaan!" Aran menyela.
"Tutup mulutmu! Dan jangan memerintahku!" sembur Trias.
"Pak Trias, Bu Reni, saya mohon maaf, kapasitas saya di sini hanya untuk menyampaikan wasiat dari Pak Sutopo sebelum beliau meninggal," Hadian membela diri.
"Hmm, yah, memang sungguh khas dari kakek yang sangat terobsesi pada keadilan," Arun menanggapi dengan santai.
"Adil apanya?! Ini sungguh tidak adil!" sembur Reni.
"Lalu, apa syarat dan ketentuan dari kakek untuk pewarisnya?" tanya Aran.
Trias dan Reni masih melayangkan tatapan kesal mereka pada Hadian.
"Saya hanya bisa mengatakan hal ini kepada calon pewaris selaku pihak yang memiliki kepentingan," ujar Hadian.
Trias dan Reni tak bergeming.
"Dasar brengsek! Aku tidak bisa menerima semua ini! Di mana ayahku?!" hardik Trias.
"Ya, ini benar-benar tidak adil! Kami harus bicara pada beliau!" tandas Reni
Paman, Bibi, sebaiknya kalian pergi, karena kalian tidak punya kepentingan apa-apa lagi. Daripada membuat keributan seperti ini," sahut Arun.
"Tutup mulutmu, dasar bocah tidak tahu diri!" murka Trias.
"Baiklah, ayo kita pergi, Trias! Tapi, lihat saja nanti! Aku tidak akan tinggal diam!"
Reni bergegas pergi usai melayangkan ancamannya.
Hadian menghela napas berat, kini tinggal ia dan kedua cucu dari Pak Sutopo yang harus berbicara enam mata.
Pak Sutopo memiliki dua orang anak laki-laki, yakni Trias dan Surya. Surya adalah ayah dari Aran dan Arun yang sudah lama menghilang tanpa kabar, meninggalkan kedua anak laki-laki yang dibesarkan oleh Pak Sutopo.
Trias sendiri tidak memiliki anak lantaran ia dan istrinya sepakat untuk tidak memiliki anak yang dianggap merepotkan ketika melihat Pak Sutopo kala itu justru mengurus kedua cucunya yang masih kecil.
Trias yang berharap untuk bisa memiliki semua harta warisan ayahnya harus gigit jari lantaran harta tersebut hanya diwariskan kepada keponakannya.
"Jadi, kompetisi macam apa yang kakek inginkan? Apa duel sampai mati? Haha!" Arun tertawa santai.
Aran tidak menanggapi candaan Arun, adiknya itu selalu menanggapi apa pun dengan candaan yang sama sekali tidak lucu.
Hadian mengeluarkan sesuatu dari sebuah amplop cokelat dan menunjukkan benda itu kepada kedua pria di hadapannya.
Kedua pria itu langsung mengerutkan kening mereka bersamaan begitu melihat foto hitam putih seorang wanita dari zaman dahulu kala. Wanita berparas manis yang sedang menopang wajahnya dengan satu tangan.
"Siapa dia?" tanya Arun.
"Apa kami harus mencari wanita ini?" tanya Aran.
Hadian sungguh paham mengapa Pak Sutopo begitu mengunggulkan Aran. Aran memang jauh lebih cerdas daripada Arun. Namun jika hanya sekadar cerdas, masih belum bisa memenuhi standar keadilan yang diinginkan oleh Pak Sutopo.
"Pak Sutopo berpesan bahwa barang siapa lebih dulu menemukan keberadaan cincin yang dikenakan oleh wanita ini, maka orang tersebut akan mendapatkan seluruh harta warisan dari Pak Sutopo," jawab Hadian.
"Astaga kakek! Menemukan wanita ini? Yang benar saja! Bagaimana bisa menemukan wanita ini hanya bermodal foto begini?"
"Lagipula ini foto zaman kapan?! Sekarang wanita ini pasti sudah menjadi nenek-nenek atau mungkin sudah tinggal nama!"
Arun menyampaikan pendapatnya.
"Pak Hadian, apa sungguh syaratnya hanya menemukan cincin ini saja?" tanya Aran.
"Hei, apa menurutmu mencari cincin hanya berdasarkan foto seperti ini akan semudah itu?" tanya Arun.
"Aku sungguh yakin, kakek tidak akan memberikan syarat semudah itu untuk mewariskan semua hartanya," sahut Aran.
"Lalu, kapan tenggat waktunya?" tanya Arun.
"Arun, apa kau sungguh tidak menyimak apa yang dikatakan oleh Pak Hadian?" Aran balik bertanya.
Arun mencebik, ia bisa melihat bahwa Aran sepertinya sudah mulai memikirkan apa yang harus dilakukannya.
Cih, dasar kakek tua itu! Batin Arun.
"Baiklah, untuk saat ini, itu saja yang dapat saya sampaikan. Semoga berhasil untuk kalian berdua," ucap Pak Hadian.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments