Liku Cinta Cincin Wasiat
Viona mematut diri di depan cermin. Gadis itu memastikan bahwa rambutnya yang dikuncir kuda terikat dengan baik sambil merapikan poni di batas alisnya tertata rapi. Pelan-pelan ia memulaskan perona bibir yang memberikan efek warna jingga merona. Sesekali ia melirik ke arah jam digital yang terpampang pada monitor komputernya.
Kelas terakhir sudah hampir selesai, itu berarti ia harus siap-siap membereskan meja kerjanya. Viona bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah lembaga kursus, pekerjaan yang dilakoninya selama lima tahun terakhir.
Lima menit kemudian, beberapa siswa dari kelas kursus bahasa inggris sudah menyelesaikan kursus mereka.
Jantung Viona berdebar makin kencang tatkala seorang pria menghampiri meja kerjanya. Pria berparas tampan dengan senyum yang begitu murah itu menyodorkan tas laptop berwarna hitam dan setumpuk kertas lembar kerja siswa kursus.
Viona menyambutnya dengan senang, kertas lembar kerja siswa merupakan lembar jawaban kuis yang harus dikoreksi Viona untuk membantu pria itu. Maklum, pria itu hanyalah seorang instruktur paruh waktu yang mengajar kelas bahasa inggris.
Pria yang sudah mengajar selama satu tahun dan sekaligus menjadi idola Viona selama satu tahun terakhir ini. Tidak hanya Viona, hampir semua peserta kursus bahasa Inggris mengidolakan pria itu.
"Jadi, apa yang mau Anda bicarakan, Mbak Vio?"
Pria itu mengingat bahwa Viona memang mengajaknya untuk bicara begitu kelas berakhir.
Viona menarik napasnya, lalu berusaha tersenyum selebar mungkin yang justru terlihat seperti seringaian Joker.
"Bisa kita bicara di tempat lain, Mas Alan?" tanya Viona dengan suara bergetar.
"Oh begitu, oke," sahutnya.
"Sebentar saya beres-beres dulu ya, Mas," Viona memohon.
"Saya tunggu di luar."
Viona masih menyeringai, keringat dingin mengucur deras dari segala penjuru pori-porinya. Tangannya bergerak tak terkendali, hingga ia begitu sulit hanya untuk mengarahkan kursor pada menu shut down.
Tenang, Vio! Tenang! Kau harus percaya diri!
Berkali-kali ia menyemangati dirinya. Hari ini ia harus sukses menyatakan perasaannya pada Mas Alan, mumpung bosnya sedang berada di luar kota sehingga tidak akan meminta Viona untuk mengerjakan pekerjaan tambahan lain.
Viona mengunci pintu ruko dua lantai setelah memadamkan semua lampu.
Mas Alan, pria yang begitu sopan dan ramah nampak sedang berkutat di depan gawai cerdasnya.
"Mas, maaf menunggu lama ya," kata Viona masih penuh dengan rasa grogi.
"Hmm, tidak masalah," ucapnya.
Viona mengulas kembali seringaiannya. Pria yang dipanggilnya Mas Alan itu merupakan teman dari bosnya. Pria yang diminta secara khusus untuk membantu bosnya menjadi instruktur kelas bahasa inggris.
"Mas Alan, ada waktu untuk nongkrong sebentar?" tanya Viona.
"Memangnya apa yang mau dibahas? Apa Mbak Viona keberatan karena saya meminta Mbak untuk mengoreksi semua jawaban kuis siswa?" Alan balik bertanya.
"Bu-bukan, Mas! Ini bukan masalah pekerjaan!" jawab Viona tergagap.
Pria bertubuh tinggi dan tegap itu menghela napas lega.
"Maaf ya, saya memang suka memberi kuis untuk mengetahui tingkat pemahaman para siswa terhadap materi yang sudah saya sampaikan," kata Alan dengan nada tegas.
Viona benar-benar makin terpesona dengan Alan. Tampan, ramah, sopan, dan penuh dengan ketegasan. Sungguh pria yang sempurna sebagai pacar bahkan suami.
"Sungguh, Mas, bukan masalah pekerjaan," kata Viona.
"Lantas apa?" tanya Alan.
Viona mengumpulkan semua keberaniannya. Semua kata-kata sudah tersusun dengan baik. Untaian kata yang dirangkainya sejak pertemuan pertama mereka. Pria tampan yang langsung membuat wanita mana pun seketika jatuh cinta pada pandangan pertama.
Meski awalnya Viona harus bergulat dengan segenap keraguan saat harus mengutarakan perasaannya. Rasa ragu muncul lantaran ia masih merasakan trauma begitu dalam ketika mengutarakan perasaannya yang kala itu ditolak mentah-mentah oleh seseorang di masa lalu. Hal itu kini masih memengaruhinya.
Dulu aku masih bocah ingusan, wajar saja jika mendapat penolakan! Yang menolakku saat itu juga hanyalah bocah ingusan! Viona membatin.
Melihat pria itu masih menunggu dengan sabar, akhirnya setelah menarik napas berkali-kali sambil memegangi jemarinya yang bergetar, Viona mulai berbicara.
"Mas Alan, sebenarnya saya mau mengatakan ini sudah dari jauh-jauh hari. Maksud saya, sudah lama sekali saya memendamnya sampai-sampai saya merasa sesak sendiri," ucap Viona.
"Sebenarnya saya sangat menyukai Mas Alan."
Viona berusaha menahan dirinya untuk tidak berlari, wajahnya memanas dengan tubuh gemetaran terlebih saat melihat senyum pria itu masih melengkung sempurna di wajah tampannya.
"Saya sudah menyukai Mas Alan sejak pertama kali kita bertemu," lanjut Viona.
"Mas Alan orangnya baik dan sopan, jadi sungguh wajar saya langsung menyukai Mas," Viona berucap sambil mengamati ekspresi pria itu.
"Jadi, bagaimana Mas Alan?" tanya Viona.
Kumohon jawab! Jawab dengan jawaban yang ingin kudengar! Viona membatin secara brutal.
Viona sudah mencari tahu lebih dulu, mengorek informasi tentang Alan dari bosnya. Alan tidak terindikasi memiliki pasangan. Hal itu nampak jelas karena pria itu bisa mengajar kursus bahasa Inggris di akhir pekan. Orang yang sudah memiliki pasangan tentu tidak mau akhir pekannya terganggu.
"Jadi, bagaimana Mas? Apa Mas bersedia menerima perasaan saya?" tanya Viona.
"Mbak Viona, saya sungguh tersanjung dengan apa yang Anda rasakan terhadap saya," ucap pria itu.
"Tapi maaf saya belum bisa membalasnya," lanjutnya.
Viona merasakan kakinya mulai goyah begitu mendengar penolakan yang meluncur dari bibir pria itu.
"Ma-Mas Alan sebenarnya su-sudah punya pacar ya?" Viona tergagap.
Pria itu menggeleng pelan.
"A-apa karena saya bukan tipe Mas?" tanya Viona.
"Saya belum memikirkan untuk memiliki hubungan spesial dengan seseorang karena saat ini saya masih terfokus untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan," jawab Alan dengan tegas.
"Saya tentu tidak ingin membuat kekasih saya kecewa lantaran saya terlalu fokus untuk meraih apa yang ingin saya raih. Oleh sebab itulah, saya lebih memilih untuk sendiri daripada harus mengecewakan orang lain."
"Oh, begitu, sungguh pemikiran yang luar biasa sekali," Viona tersenyum kecut.
"Saya harap, Mbak Viona mengerti hal itu," lanjutnya.
"I-iya, saya paham," ucap Viona.
"Apa ada hal lain yang ingin Mbak Viona sampaikan lagi?" tanya Alan.
Viona menggeleng cepat.
"Terima kasih, Mas Alan, kalau begitu saya pamit duluan," ucap Viona.
"Mau saya antar?" tanya Alan.
Viona menggeleng, perlahan ia melangkah mundur.
"Sampai ketemu lagi, Mas Alan."
Viona berbalik dan mempercepat langkah. Mendapat penolakan saat menyampaikan perasaan jelas bukan hal yang diinginkannya.
Viona memandangi cincin yang melingkar di jari tengahnya. Cincin yang dulunya diberikan kepada mendiang neneknya, lalu diwariskan kepada Viona.
"Cincin ini akan membawamu bertemu dengan jodohmu."
Begitulah pesan nenek saat memberikan cincin itu pada Viona.
"Huff!" Viona meniup poninya.
"Apa nenek berbohong ya?" tanya Viona dalam kegusaran yang berputar-putar di benaknya.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments