Jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.30, tetapi Anne masih betah bergelung di bawah selimut tebal miliknya. Meski matanya sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu, namun rasa malas untuk beranjak masih setia menghinggapi. Masih pagi, ada cukup waktu untuk bersantai sejenak, begitulah pikirnya.
Akan tetapi, kedamaian Anne tak berlangsung lama, karena sesaat kemudian ia terusik dengan dering ponsel yang ada di sampingnya.
"Jangan bilang kamu nggak jadi jemput," gumam Anne saat melihat nama kekasihnya di layar.
Tanpa menunggu lama, Anne pun menerima telepon tersebut. Lantas, suara Nero langsung menyambutnya dari seberang Anne.
"Sayang, bersiaplah! Sebentar lagi aku akan menjemputmu."
Mata Anne membelalak, sangat terkejut dengan ucapan Nero. Sebentar lagi akan menjemput, katanya. Yang benar saja, ini masih terlalu pagi.
"Kuharap kamu hanya bercanda, Nero."
Dari seberang sana terdengar tarikan napas panjang, seolah kurang berkenan dengan jawaban Anne barusan.
"Pagi ini aku harus menemui Tuan Kenzo, untuk membahas kerja sama yang kuajukan tempo hari. Dan tempatnya nggak searah dengan kantormu, Sayang. Tolong mengertilah!" ucap Nero setelah cukup lama terdiam.
"Apa seburu-buru itu? Nggak bisa telat sedikit?"
"Jam sembilan nanti aku ada rapat di kantor. Waktuku dengan Tuan Kenzo cukup mepet, jadi nggak bisa telat. Nanti jadwal selanjutnya ikut kacau," jawab Nero.
Anne memejam sambil mencengkeram kasar selimut yang masih menutup sebagian tubuhnya. Ia kembali merasa kesal kepada Nero, yang lagi-lagi kehabisan waktu untuk pekerjaan.
"Kamu masih punya waktu dua puluh menitan untuk bersiap," sambung Nero.
"Untuk mandiku saja itu nggak cukup. Kamu ingin aku ke kantor hanya mengenakan piyama dan rambut acak-acakan?" Anne menjawab dengan kesal. Sama sekali tak ada kesan ramah dalam nada bicaranya.
"Anne, Sayang, ayolah! Dua puluh menit itu nggak sebentar, pasti cukup untuk mandi dan dandan. Aku saja terkadang hanya lima menit."
Anne berdecak kesal. "Nggak usah jemput deh, nanti aku berangkat sendiri aja."
"Tapi___"
"Mandi dan dandan lebih lama nggak membuatku langsung miskin. Kalaupun aku menghabiskan waktu satu jam, nyatanya masih bisa kerja dan mendapatkan uang. Jadi, untuk apa terlalu menyiksa diri?" pungkas Anne. Sebuah jawaban yang membuat Nero paham bahwa kekasihnya kembali kecewa.
"Sore ini aku sedikit senggang. Nanti kujemput ke kantormu, kita makan bersama."
Anne tertawa, kemudian menjawab ucapan Nero, "Nggak usah banyak janji dulu. Buktikan saja kalau memang niat!"
Tanpa menunggu jawaban dari Nero, Anne langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Biarlah. Mau marah atau tersinggung, silakan. Dirinya pula kesal dan kecewa atas sikap Nero barusan.
Saking kesalnya, seharian penuh suasana hati Anne jadi buruk, dan para karyawanlah yang akhirnya terkena imbas. Banyak dari mereka yang harus mengerjakan ulang laporan yang telah ditulis, juga terpaksa lembur karena tiba-tiba deadline dimajukan.
Vita—sekretaris pribadi Anne, pun merasakan hal yang sama. Seharian bekerja seperti di bawah tekanan, wajah keruh atasannya sangat tidak sedap dipandang. Belum lagi tatapan tajamnya bila diajak bicara, membuat nyali Vita menciut dan akhirnya memilih diam. Sampai-sampai ia tak berani beranjak meski sudah hampir petang dan pekerjaan sudah selesai. Bagaimana tidak, Anne saja belum ada tanda-tanda untuk meninggalkan kursi kerjanya. Vita tak punya pilihan lain, selain bertahan dan pura-pura sibuk.
Sementara itu, dengan perasaan dongkol Anne menatap layar ponsel yang menampilkan riwayat percakapannya dengan Nero. Kekasihnya itu sudah berjanji akan segera menjemput, tetapi hampir dua jam menunggu Nero tak jua muncul di hadapannya.
"Kau pulanglah!" ucap Anne sambil melirik sekilas ke arah Vita.
"Tapi, Bu___"
"Jika aku menginap, apa kau juga akan ikut menginap?" potong Anne. Dia tak mau lagi mendengar basa-basi dari Vita. Dia tahu sekretarisnya itu berharap pulang sejak tadi.
Namun, belum sempat Vita pamit dan beranjak pergi, pintu ruangan diketuk dari luar. Tanpa diperintah, Vita langsung bangkit dan menyambut orang tersebut, yang ternyata adalah Nero.
Usai mempersilakan Nero, Vita lekas berkemas dan pamit undur diri, meninggalkan Anne yang masih memasang tampang masam.
"Nggak kurang lama? Baru dua jam loh, harusnya digenapi lima jam. Lebih keren," sindir Anne ketika di ruangan itu tersisa dirinya dan Nero.
"Maaf, Sayang." Nero menggenggam tangan Anne. "Tadi ada Tuan Sanjaya. Kamu ingat, kan? Orang yang akan membuka hunian baru dan memintaku untuk berinvestasi di proyeknya. Nah, tadi dia tiba-tiba datang dan membahas itu. Aku sudah berusaha menyingkat waktu, Sayang, ini hanya Raksa yang kusuruh melanjutkan sampai mencapai kesepakatan. Aku sendiri memilih ke sini demi kamu," sambungnya.
Anne tak menyahut, sekadar menarik napas panjang dan memutar bola mata dengan malas.
"Sekarang waktuku free buat kamu. Setelah makan, bilang saja mau ke mana, aku temani kamu," ucap Nero, kembali membujuk Anne.
"Sudah kubilang jangan banyak janji. Buktikan saja kamu nggak pergi selagi kita masih makan." Anne menyahut sambil melepaskan genggaman Nero.
Tak peduli dengan embusan napas kasar dari sang kekasih, Anne bangkit begitu. Sejenak merapikan rambut panjangnya yang kecokelatan, lalu melangkah pergi dan membiarkan Nero tertinggal di belakang.
"Sayang, please! Cukup ya ngambeknya. Aku janji nggak akan pergi sebelum ngantar kamu pulang." Nero bicara sambil menjajari langkah Anne, lantas merengkuh pinggangnya dan membawanya dalam pelukan.
Dalam sesaat, kekesalan Anne sedikit mengendur. Pelukan hangat dan wangi black musk dari tubuh Nero berhasil melunakkan hatinya. Tak dipungkiri, Anne memang merindukan dua hal itu, yang entah kapan terakhir kali ia merasakannya.
"Sekali lagi maaf ya, aku sudah sering mengecewakan kamu," bisik Nero, yang kemudian diakhiri dengan kecupan lembut di kening Anne.
"Aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama kamu. Kita tinggal di kota yang sama, tapi untuk bertemu begitu sulit. Bahkan, untuk membalas pesan dan menjawab telfon pun seringnya juga telat."
"Aku benar-benar minta maaf, Sayang," jawab Nero sambil mengusap lembut rambut Anne.
______
Di dalam restoran mewah yang menyajikan makanan khas Italia, Anne dan Nero duduk berhadapan sambil berbincang ringan. Memanfaatkan waktu sebelum pramusaji mengantarkan pesanan.
Keduanya sama-sama bahagia. Anne bahagia karena akhirnya bisa menikmati waktu berdua dengan kekasih, sedangkan Nero bahagia karena melihat kembali senyuman Anne.
"Oh ya, ini kartu kamu. Aku nggak menginginkan hadiah yang berlebihan, cukup hadirnya kamu di sampingku," ujar Anne. Ia kembalikan kartu kredit yang sama sekali belum digunakan. Anne ingin menegaskan bahwa bukan harta yang ia harapkan, melainkan kebersamaan.
Namun, Nero menolaknya secara halus.
"Pegang saja, Sayang! Sebagai lelakimu, aku akan senang jika kamu mau mengandalkan aku."
"Aku___"
Ucapan Anne terhenti karena dering ponsel Nero. Anne terpaksa diam dan membiarkan Nero berbincang dengan seseorang di seberang, yang entah siapa gerangan. Namun, dari potongan-potongan jawaban yang Anne dengar, sepertinya ... Nero ada agenda lain setelah ini.
"Siapa yang telfon?" tanya Anne.
Nero menarik napas panjang. "Raksa."
"Ngomong apa dia?"
Nero terdiam.
"Ada kerjaan lagi, ya?" tanya Anne dengan mimik wajah yang kembali keruh.
"Tuan Morgan meluangkan waktu untuk makan malam denganku."
Anne berdecak kesal. Lantas, menatap Nero sambil tertawa remeh. "Ternyata benar. Kamu akan pergi selagi kita masih makan. Ahh, salah, malahan kita belum makan."
"Sayang, tolong jangan marah! Ini demi bisnis. Jaringan Tuan Morgan di luar negeri sudah luas. Dari dia, aku bisa mendapat jalan untuk mendistribusikan produk-produk perusahaan di luar negeri sana. Tuan Morgan ini orangnya sibuk. Raksa sudah dari dua minggu lalu menghubunginya dan baru ada waktu sekarang. Sayang, aku nggak mungkin melewatkan kesempatan ini," terang Nero dengan panjang lebar. Namun, tak membuat Anne luluh begitu saja.
"Kalau begitu aku pulang sekarang."
Anne sudah beranjak dan bersiap pergi. Akan tetapi, Nero dengan cepat menahan tangannya.
"Sebentar lagi pesanan kita siap. Masih ada waktu untuk menikmatinya sampai Raksa tiba. Nanti, biar dia yang mengantarmu pulang. Dia sudah selesai kok dengan Tuan Sanjaya dan siap meluncur ke sini," ucap Nero.
"Raksa lagi, Raksa lagi! Pacarku itu kamu, bukan Raksa!"
"Aku tahu, tapi aku benar-benar nggak bisa melewatkan kesempatan dengan Tuan Morgan, Sayang." Nero tetap bicara lembut meski Anne sudah melontarkan bentakan.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Tadi aku yang jemput kamu. Mana bisa aku membiarkanmu pulang sendirian. Biar Raksa nanti yang ngantar. Dia orang kepercayaanku, kamu aman sama dia," kata Nero sambil membimbing Anne untuk duduk kembali.
Sesaat kemudian, pramusaji datang dan mengantarkan pesanan mereka. Namun, Anne sudah tak ada selera untuk menyantapnya. Terlebih saat melihat Nero menyuap makanan dengan cepat, seolah dikejar syetan. Hilang sudah rasa lapar Anne.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Biarkan aku menangis
anne jablay ya 🤣
2023-12-02
1
Rahma Inayah
nero uang gk di bwh mati mati manusia jg buruh uang tnp uang bs mati krn gk bs memenuhi kebutuhan hdp ..tp gk spt kerja rodi juga kali...tiada hr tnp kerja...wajr aja klu suatu saat tunagan mu selingkh krn merasa gk bearti apa2...hrs nya klh mau dinner tu pastikan semua nya clear urusan kerja jgn mkn spt kesetanan spt org yg gj mkn brp hr ..sdh spt tentra aja mkn dlm hitungan menit...
2023-11-28
1
яσяσ мєη∂υт
seumur hidup nero hanya butuh uang dan uang dan mgkin sampe akhir hayat dia hanya bergantung pd materi ga bakal butuh pasangan hdp 😌kelak kau akan menyesal nero, krn sdh menyia2kan org yg yg bnr2 mengharapkanmu tp saat itu kamu selalu abaikan bahkan selalu dinomorduakan 😦
2023-11-27
3