Di dalam kamar berukuran 8×8 dan berwarna mocca silver, Fieca berusaha duduk untuk meminum jus yang sudah dibuatkan oleh sang Mama. Namun, masih saja tidak ada pengaruh apapun pada dirinya. Untung saja jus ini sama sekali tidak menggunakan air es sehingga tidak akan membuat tenggorokannya merasakan perih dan sakit.
Lalu, Fieca merebahkan dirinya kembali serta memejamkan mata yang mungkin saat ini lensa putihnya memancarkan warna merah darah. Dia tak tahu lagi harus melakukan apa, yang dia inginkan nanti saja meminum obat sakit kepala ketika dirinya ingin menidurkan diri saat di malam hari. Dia juga mengetahui bahwa ini adalah waktunya untuk melaksanakannya shalat isya, tetapi entah mengapa badannya seketika terasa begitu sangat kram.
Tok, tok, tok ..
Ketukan di pintu dan suara lembut sang Mama terdengar jelas di balik pintu kamar yang tertutup, tetapi tidak terkunci. "Masuk saja, Ma."
Sang Mama pun memasuki kamar Fieca sembari membawa sayur bening hangat, telur ceplok mata sapi dan nasi yang sudah dia blender sehingga berbentuk sangatlah lunak di atas mangkuk yang telah tersaji dengan bawang goreng. Di sebelah mangkuk itu juga ada sayur bening yang mana itu adalah sayur bayam, kentang di potong dadu dan jagung manis yang sudah dipisahkan dari tulangnya.
"Sayang, ini kamu makannya. Mama tadi sehabis shalat magrib langsung memasakkan ini untukmu, Mama juga sudah makan bersama Ayah. Mama suapkan sinii aa"
Fieca pun duduk kembali setelah tadi dibantu oleh Mamanya, lalu dia dengan perlahan membuka mulutnya untuk menerima semua suapan makanan yang telah masuk ke dalam perut karetnya. Fieca sedikit merasa senang karena dari bayi sampai sekarang saat dirinya sakit orang tuanya selalu bisa membuatkan makanan enak yaitu bubur spesial untuk dirinya, padahal dia bukanlah bocah kecil lagi.
"Mama, kalau Mama ke dapur nanti. Tolong nanti Mama sama Ayah ke kamar Fieca ya, ada yang mau Fieca luruskan."
"Iya Sayang, yukk makan lagi ini sedikit lagi mau habis kamu makannya."
Fieca pun memakan kembali makan malamnya hingga mangkuk yang tadinya penuh sekarang sudah bersih tak bersisa. Lalu, Fieca berjalan sangat perlahan memasuki kamar mandi untuk menyikat gigi agar tidak menyebabkan kerusakan pada giginya. Mamanya juga sudah beranjak menuju dapur sembari membawa mangkuk, sendok dan gelas di atas nampan yang kotor menuju dapur. Sekilas Mamanya terlihat bingung dan menggelengkan kepala, entah apa yang tiba-tiba menyebabkan Fieca anaknya sakit?
"Mama!" Pak An memanggil istrinya yang baru saja ingin mencuci piring di pantry.
"Iya, Ayah. Kenapa?"
"Sebenarnya Fieca sakit apa, kok tiba-tiba begini?"
"Mama juga kurang tahu, tapi tadi setelah ini Fieca meminta kita berdua untuk memasuki kamarnya. Mungkin ada yang mau dia bicarakan."
"Ehmm, Ayah ke kamar kita dulunya." Pak An menerka-nerka, apakah Fieca mengetahui pembicaraannya?
Ibu Rami hanya bisa menganggukan kepalanya karena dia masih memikirkan sang puteri. Dia juga mengalihkan fokusnya ke arah cucian piring yang lumayan banyak ini. Sehabis ini juga dia akan menyusul sang suami dan mengingatkan untuk segera menemui Fieca anak mereka. Mungkin setelahnya sembari menidurkan Fieca, Ibu Rami akan memijat-mijat badan anaknya agar tidak lagi merasakan lesu yang berlebihan.
"Ahh, akhirnya cucian piring ku sudah selesai. Cuci tangan juga sudah, selanjutnya aku harus cepat menyusul suamiku untuk menuju kamar Fieca," gumam Ibu Rami melangkahkan dengan cepat kakinya menuju kamar.
Fieca yang masih berada di dalam kamar dan membersihkan wajah suramnya dengan tissue basah bayi di balik cermin meja rias saat ini sedikit mempunyai tenaga setelah tadi diberi makan oleh sang Mama. Di keluarga ini dia bersikap sangatlah humble karena terkadang bisa akrab dengan Ayahnya dan bisa sangat akrab saat bersama dengan Mamanya, jujur saja Fieca sangat tidak menyukai apa itu namanya yang berkaitan dengan pilih kasih!
Pintu kamarnya pun terbuka kembali karena Ayah dan Mamanya menerima panggilan dari dirinya,
"Ayah, Mama. Duduk saja dulu di sofa dekat jendela kamar Fieca, Fieca sedikit lagi akan selesai membersihkan wajah," ucap Fieca kepada orang tuanya.
Namun, sang Ayah yang tidak mau salah menebak akhirnya membuka suara,
"Fie, apa sore tadi tanpa senghaja kamu telah mendengar pembicaraan Ayah, Mama dan tamu itu?"
Degh ...
Dengan deru napas sedikit tercekat dan hembusan napas ringan Fieca berlaku sangat sopan menyahuti perkataan Ayahnya, karena dia saat ini benar-benar membutuhkan jawaban yang mana itu sangatlah penting untuk dirinya di masa depan. Tetapi, raut wajah Ibu Rami malah dibimbang dalam sebuah tebakan yang mana itu adalah persoalan tentang perjodohan antara Fieca dan Zudan? Lalu, Ibu Rami langsung memasang wajah seriusnya kembali seperti pembahasan tadi sore bersama sang tamu yang baru saja berlalu.
"Benar Ayah, sebelumnya Fieca meminta maaf karena Fieca sangatlah membutuhkan jawaban yang benar-benar akurat untuk Fieca pertimbangan serta Fieca terima kelak nantinya!"
"Apa saja yang telah kamu dengar, Sayang?" Ibu Rami ikut berbicara dengan wajah memelasnya kepada Fieca.
••••••
"Zudan, nanti ke ruang keluarganya. Soalnya ada yang mau Ayah beritahukan untukmu, Mama juga akan ikut!"
"Baik, Ayah."
Zudan yang baru saja datang ke rumah setelah shalat magrib dan isya, serta telah mengajar mengaji keponakannya sekarang di kamar ini dia sedang melepas setelan koko dan mengganti dengan baju rumahan. Lalu, setelah beres dia pun melangkahkan kaki menuju ruang keluarga menemui kedua orang tuanya. Entah, apa yang akan dibicarakan. Zudan akan selalu bersikap biasa-biasa saja dengan aura positifnya.
"Duduk sini, Nak," perintah sang Mama untuk dirinya sembari menepuk kursi di sampingnya.
"Maaf Ayah, Mama. Sebenarnya kita mau membicarakan pembahasan apa? Zudan sedikit penasaran."
Dengan dua hembusan napas ringan Pak Gufu kembali memulai bicaranya, "Alhamdulillah, Ayah membawa kabar gembira untuk kita semua yang telah berada di ruang keluarga ini. Sekaligus kabar kurang menyenangkan yang saat ini masih menyelinap di benak Ayah."
Istri Pak Gufu yang mendengarkan terus saja memasang wajah penuh tebakan kepada suaminya, sama halnya dengan Zudan yang mulai menelisik semburat kata-kata yang terucap dari sang Ayah. Meski Zudan masih muda, tetapi dirinya sangatlah peka pada suasana yang berada dekat atau jauh darinya. Mau itu berbentuk kode atau jenis lainnya, Zudan akan berusaha menebak dan menebak dengan kejelian perasaan yang melekat padanya.
"Ayah sampaikan info kurang mengenakan dulunya, begini setelah Ayah dan Pak An serta Ibu Rami saling bertukar pikiran. Ayah seketika merasa bahwa diri Ayah akan mengalami kesialan karena Asir tingkahnya semakin menjadi-jadi saja, untungnya mereka sangat berhati mulia pada kita bertiga."
"Syukurlah," ucap Zudan dan Mamanya berbarengan.
"Lalu, kabar baiknya apa Ayah?" imbuh istri Pak Gufu sembari memegang gagang kursi yang diduduki Zudan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments