BAB SEMBILAN BELAS

"Apakah aku boleh meminta foto puterimu untuk nanti aku serahkan kepada Zudan anakku?" ujar Pak Gufu yang penasaran bagaimana wajah manis puterinya Pak An.

"Ekhem, kebetulan Pak ini dia dua lembar foto puteri kami. Satu memakai mukena dan satunya saat sedang wisuda Fakultas Administrasi Negara," seru Ibu Rami yang dari tadi sibuk menyimak pembicaraan.

"Subhanallah, ternyata anak kalian sangatlah imut, cantik dan perfect." Kata Pak Gufu dengan disambut senyum manis dari Pak An dan Ibu Rami.

Di balik dinding bercatkan warna putih gading Fieca terkejut dan syok apa yang dia dengar itu seakan membuatnya ingin tuli saja. Per--jodohan, hal itulah yang mengganggu indra pendengaran dan juga isi otaknya. Dia tahu sekarang ini umurnya sudah menginjak dua puluh empat tahun, itu juga memang waktunya untuk menikah.

Tetapi, dia tidak habis pikir mengapa ini seperti membuatnya malas bergerak ke mana-mana selain duduk termenung di bawah sofa yang memunggungi ruang tamu. Kakinya yang jenjang dia tengkuk dengan kedua tangan yang memeluk dirinya sendiri. Baru saja dia bernapas lega karena sudah sepenuhnya melupakan sang mantan. Namun, mengapa dia harus terseret lagi dalam sebuah rawa-rawa?

Di ruang keluarga ini dia tak mau menangis dan tak mau juga untuk mengamuk. Buat apa seperti itu karena baginya menjaga image itu adalah suatu hal tertinggi untuk dirinya sebagai seorang wanita. Rasanya lelah dan mata seakan ingin tertidur saja, apakah dia harus banyak berdiam diri? Atau nanti dia akan banyak mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepada kedua orang tuanya?

Pikirannya tiba-tiba serasa tak tenang sama seperti hatinya yang ingin segera mendapat banyak jawaban. Dia bingung apakah hal rumit ini sudah lama terjadi atau baru-baru saja direncanakan? Apakah dirinya kurang penting sehingga tidak usah mengetahui hal yang mungkin sensitif untuk dirinya lewati nantinya? Arghk, gila ini adalah hari tergila yang dia rasakan.

Kaki yang ingin memasuki kamar saat ini malah terasa lemah, dia bingung di mana sekarang letak kekuatan dirinya? Apakah menghilang atau malah kabur menjauhinya? Rasa kesemutan di kaki juga mulai menjalar dingin di bagian telapak kaki putihnya. Diangkat saja rasanya seakan ingin mati rasa, sama seperti hati yang beberapa bulan ini telah dia gembok agar tidak mudah luluh seperti lilin yang sedang menyala.

Tubuh yang dia rasakan juga begitu sangat berat sama seperti kepalanya yang seakan ditumpuki banyak ribuan batu, jika ini batu berlian maka tak akan sesulit ini. Mata yang tadinya cerah tiba-tiba saja terlihat buram saat menatap benda-benda di sekitar dirinya. Apakah saat ini dirinya terlihat begitu sangat lebay, jika iya maka bantulah dirinya untuk terlihat semangat kembali agar tidak terlihat seperti mayat yang hidup.

Dia tidak tak sadarkan sampai-sampai tidak mendengar panggilan lembut dari sang Mama karena terlalu larut dalam lamunan yang begitu sangat tidak berguna. Ibu Rami yang melihat puterinya yang masih terdiam membuat dirinya dikalang kabut oleh kebingungan, tadinya beliau ingin membuatkan susu untuk Fieca.

Tetapi, saat melihat sang puteri yang terpaku dengan keanehan. Sontak beliau menggiring dengan pelan sang puteri beristirahat di dalam kamar, beliau sedikit panik sehingga setelah sampai di kamar dengan segera melajukan dirinya menuju dapur untuk membuat jus jeruk madu. Beliau mengira mungkin tadi anaknya lupa meminum vitamin B12 complex yang selalu beliau belikan.

Sungguh sore menjelang senja ini membuat Fieca enggan untuk banyak bicara maupun bergerak, saat ini dirinya hanya ingin berdiam diri saja tanpa banyak beraktivitas. Dia juga sedikit menyerah karena sekarang ini entah pergi kemana setengah nyawa yang tadi dia miliki? Yang dia tahu keterdiaman ini tak boleh bertahan lama! Pokoknya dirinya harus segera tahu apa maksud dari apa yang sudah dia dengarkan meski itu sangatlah samar-samar.

"Fie, ini jus sudah Mama buatkan untuk kamu. Segera di minumnya, Mama keluar dulu masih ada keperluan."

Sang Mama pun pergi setelah mendapatkan anggukan kepala dari puteri kecilnya, beliau mengantar jus lainnya di atas nampan yang tadi dipakai untuk mengantarkan kopi hangat. Jika saja hari ini beliau tidak begitu kerepotan, pastinya beliau akan senantiasa mengurus sang puteri yang tiba-tiba saja sakit. Untung saja saat ini badan Fieca tidaklah panas, tetapi dia malah merasakan sakit kepala yang mulai ikut mengganggu dirinya.

••••••

Sedangkan Zudan yang masih berada di rumahnya, dia juga merasakan hal sama seperti apa yang dirasakan oleh Fieca. Namun, tidak begitu panik ataupun banyak memikirkan hal yang sangatlah tidak masuk akal di dalam nalar. Dia hanya bingung dan terbayang-bayang akan perjodohan antara dirinya dengan Fieca, perjodohan ini membuatnya lelah untuk berpikir keras. Jujur saja dia belum melaksanakan shalat malam menjelang shubuh yang dulu telah disarankan oleh sang Paman.

"Aku bingung apa nanti pendapat dari gadis itu, apakah dia syok berat atau hanya bersikap acuh saja?" gumam Zudan sembari mengambil handuk untuk mandi sore karena dirinya akan bersiap-siap untuk pergi menuju masjid melaksanakan shalat maghribnya.

Sang Ibu yang melihat puteranya hanya bisa bersikap biasa-biasa saja sembari melanjutkan kegiatan memasaknya, malam juga nanti beliau akan mendapatkan informasi kelanjutan apa dari Pak Gufu suaminya. Beliau juga bingung sambil memikirkan apakah puterinya Pak An dan Ibu Rami nanti akan benar-benar menjadi menantu di dalam keluarganya? Dan apa yang dia inginkan selama ini saat dulu meminta Zudan untuk menikah akan segera tercapai?

Jika itu benar-benar terjadi tepat tanpa adanya mimpi belaka, maka beliau sangat-sangat bersyukur sembari memanjatkan terima kasih kepada sang Rabb yang selalu beliau agungkan. Beliau nanti juga sangat senang karena akan kembali mendapatkan seorang menantu perempuan dari Zudan anaknya. Beliau tak membayangkan bagaimana nanti Zudan sudah menjadi seorang suami untuk menantunya kelak.

Menantikan hal itu membuat beliau hanya bisa kesensem dengan senyumannya, Zudan yang baru saja melewati sang Mama karena sudah selesai mandi membuatnya semakin ditambah kebingungan. Namun, dia kembali berpikir positif. Mungkin saja tadi Mamanya tersenyum karena mencicipi masakan yang sangatlah enak untuk di makan bersama-sama malam ini dengan Ayahnya.

Zudan pun melanjutkan langkah kakinya menuju kamar untuk memakai kaos tshirt dan setelan pakaian koko. Lalu, tak berselang lama adzan maghrib bergema dari masjid yang memang berada dekat dengan keberadaan rumahnya. Ayahnya juga baru saja sampai di rumah. Namun, belum di sambutnya karena ini sudah waktunya untuk pergi shalat ke masjid. Pak Gufu yang mengerti akan aktivitas anaknya hanya bisa berlalu menuju dapur untuk menyegarkan diri.

Nanti saja aku menyampaikan kabar sedikit baik ini kepada Zudan dan kabar lainnya juga kepada istriku, batin Pak Gufu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!