BAB TUJUH BELAS

Di saat Fieca ingin menghampiri tukang penjual sate dan cilok, matanya dikejutkan dengan kehadiran Alza orang yang pernah mengagumi dirinya dalam diam semenjak masa-masa sekolah SMPN sampai lulus SMAN. Namun, rasa itu hilang begitu saja ketika Alza mengetahui Fieca mempunyai hubungan bersama Mahmu.

Hati terasa diremuk oleh pemukul batu yang begitu keras menghantam dadanya. Beberapa tahun lamanya rasa itu akhirnya bisa menghilang sempurna dari benak jantung Alza paling terdalam, tetapi pertemuan ini hanya membuatnya diam termenung dan bersikap layaknya tak pernah mengenal kehidupan awal ataupun selanjutnya.

Fieca yang melihat perubahan sikap Alza hanya bisa berdiam diri dan mengurungkan niatnya yang tadi ingin menyapa Alza, Fieca juga mengakui kalau dulu dia juga pernah menyukai Alza. Namun, itu suka ditepisnya karena menyukai semasa sekolah hanyalah cinta monyet. Tetapi, Fieca takjub akan kasih sayangnya Alza yang memperdulikan dirinya hingga mau-mau saja disuruh Mamanya bersama sepupunya yang sudah meninggal untuk menjadi bodyguard.

Fieca terkekeh dalam diamnya sembari mengingat kembali saat di mana mereka benar-benar terpisah kala sedang sibuk-sibuknya mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan dengan berbeda jurusan, saat itu Alza mengambil jurusan Ilmu Agama Islam. Fieca juga mulai mengasingkan diri dari Alza karena dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Alza telah berpacaran dengan Neisyi, tepat saat itu Fieca juga ikut-ikutan menghapus perasaannya kepada Alza.

Fieca pun melanjutkan kegiatannya membeli cemilan yang memang ingin dia beli, untungnya juga cemilan ini nanti-nanti juga dia memakannya. Karena kalau saat ini moodnya terasa entah apakah ingin kacau kembali, padahal ini hanyalah pertemuan sepele yang mana itu sangatlah lumrah untuk semua orang yang memang seringkali merasakannya.

"Ini Mbak kembaliannya."

"Terima kasih."

Dengan pikiran yang dongkol setelah membeli dua cemilan yang dia tenteng di tangan, Fieca pun membawa dirinya kembali pulang ke rumah karena ini sudah saatnya untuk melaksanakan shalat ashar. Mungkin setelah shalat nanti pikirannya akan kembali merasakan ketenangan. Namun, saat memasuki halaman rumah Fieca melihat Ayahnya juga baru saja pulang ke rumah.

"Assalamu'alaikum, Ayah." Fieca menyalimi tangan Ayahnya.

"Wa'alaikumussalam, anak Ayah pasti habis jajan."

"Hhee, iya ini Ayah."

"Simpan gihh, habis itu shalat lalu mandi."

"Ok, Ayah."

Anak dan Ayah itu pun memasuki rumah mereka dengan berbarengan, Mama yang melihat kedekatan keduanya juga ikut bergabung setelah menyalimi tangan sang suami. Kehangatan keluarga ini membuat Fieca tiba-tiba dengan mudah melupakan apa yang tadi dia rasakan di tengah jalan, saat ini dia berada di tengah-tengah orang tuanya yang merangkul dirinya penuh ribuan kasih cinta dan sayang.

Tetapi, rangkulan itu Fieca lepas saat orang tuanya ingin menuju kamar. Sedangkan dirinya harus pergi ke dapur untuk menyimpan cemilan dan akan langsung berwudhu di kamar mandi dapur saja, agar nanti pas sampai di kamar Fieca sudah langsung bisa menunaikan kewajiban shalatnya. Fieca tahu di rumah ini tidak pernah adanya asisten rumah tangga. Namun, jika itu soal cucian maka mereka akan menggunakan jasa laundry terpercaya.

Selesai dari dapur Fieca langsung menaiki anak tangga untuk memasuki kamarnya, tidak lupa dia menutup pintu. Pintu akan dia kunci ketika itu banyak orang bertamu karena hal privasi banyak tersimpan di dalam kamarnya. Fieca menggelar sajadah dan mengenakan mukenanya dengan penuh tulus yang terus berada di ulu hatinya, tidak lupa nanti setelah shalat selesai dia akan melantunkan asmaul husna yang artinya bisa memberikan ketenangan sama seperti halnya sholawatan.

19.15 Wib ...

Tak terasa malam pun tiba, ketiga cucu Adam dan Hawa ini juga sudah menyelesaikan makan malam mereka. Saat ini Fieca sudah berada di dalam kamarnya sembari mengotak-ngatik laptop miliknya. Pintu utama rumah juga kembali terbuka karena Laida bersama suaminya telah datang ke rumah, anak-anak tidak dia bawa karena telah dia titipkan pada sang Ibu mertua. Ibu Rami juga sudah membuatkan kopi panas untuk mereka berempat di ruang tamu.

Ketegangan pun datang begitu saja saat dimulainya inti pembicaraan, mereka bukannya menggosip. Tetapi, saat ini hanya ingin saling memberikan informasi serta arahan yang mana itu dikatakan sangatlah baik. Pembicaraan terus saja berlanjut dengan banyaknya helaan napas dari mereka yang berada di ruang keluarga saat ini, kopi di gelas juga mulai menghangat sehingga memudahkan lidah untuk terus menyeduhnya.

"Tante, kemarin saat saya bersama teman-teman menghadiri acara pengajian di satu Musholla terdekat di sana saya melihat Mamang Asir singgah di warung bersama jalangnya. Saya lihat juga mereka memakai mobil pinjaman dan membawa seorang anak kecil, di saat saya ingin menghampiri mereka yang sudah selesai berbelanja mereka malah meninggalkan saya begitu saja. Saya lihat juga beliau berkunjung ke rumah Tante sebelah, tapi Tante sebelah malah tidak menyuruh Mamang Asir untuk berkunjung ke rumah Tante. Yaa setidaknya memberikan penjelasan mengapa sampai melakukan tindakan kejinya."

"Pengecut, menjijikkan." Ibu Rami menggertakan giginya karena saking geramnya.

"Terus, apalagi Lai?" Pak An kembali melanjutkan topik pembahasan.

"Saya dengar-dengar juga Mamang Asir suka memalaki uang dua orang anak dari mantan istrinya, yaa anak dari mantan istri Mamang itu sedang bekerja sebagai karyawan di toko sembako dan juga di cafe."

"Dasar Asir, gayanya saja sok kaya tapi aslinya mirip preman rendahan!" Ibu Rami kembali mengomel dengan mulut pedasnya.

"Saya sungguh tidak menyangka Asir segila itu dari kecil sampai sekarang kelakuan tidak warasnya semakin menjadi-jadi, kapan tobatnya apa nanti ketika ajal menjemput atau saat karma berlangsung!" geram Pak An.

"Lanjutkan, Lai." Suaminya berkata pada sang istrinya yaitu Laida.

"Kata Mamang Asir sewaktu bicara sama Tante sebelah, mungkin surat-surat pembelian tanah itu bukan atas nama asli penjualan darinya. Mungkin ada orang lain yang memiliki nama yang sama dan mengatasnamakan diri Mamang Asir, kalau pun iya pasti Mamang Asir akan mengkonfirmasi kepada Tante untuk meminta surat kelengkapan."

"Astaghfirullah ... " Pak An mengelus dadanya dengan kasar.

"Ayah, bagaimana kalau kita suruh saja Pak Gufu untuk ke rumah si pelindung Asir itu untuk menunjukkan surat-surat asli hasil dari penjualan dan pembelian tanah?"

"Boleh juga itu Ma, besok pagi Ayah akan menelpon Pak Gufu."

"Sepertinya kita harus memberitahukan kabar buruk ini kepada Hilka, Yah." Ibu Rami kembali mengingat anak perempuan pertamanya.

"Iya, Ma. Nanti setelah menelpon Pak Gufu, Ayah juga akan menelpon Hilka."

"Mamang Asir dan Mamang Jabban serta Tante sebelah bertambah meresahkan ini itu karena sangat percaya pada perdukunan, Tan. Entah, apa yang dikatakan dan disuruh-suruh oleh si dukun itu." Laida menampakkan wajah mirisnya.

Mereka berempat terus saja berbincang hingga tak menyadari bahwa sekarang menunjukan jam sebelas malam, Laida dan suaminya pun izin berpamitan pulang karena tidak enak pada Ibunya Miru yang telah mau menjaga anaknya. Ibunya Miru juga mempunyai kesibukan lain untuk esok harinya yaitu berkebun kacang-kacangan untuk dijual di pasar, sama halnya dengan Laida yang setiap harinya mengurus rumah tangga dan mengantar-jemput anaknya yang masih sekolah di bangku SDN.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!