BAB SEBELAS

AllahuAkbar, AllahuAkbar ....

Suara kumandang adzan di masjid membangunkan tidur nyenyaknya Fieca. Dia pun melesat pergi ke kamar mandi setelah mengumpulkan nyawa, di dalam sana dia langsung mengambil air wudhu. Tidak lupa sebelum wudhu dia berkumur dulu menggunakan listerine agar mulutnya tidak berbau.

Tidak terasa bunyi khamad kembali menyapa indra pendengarannya, Fieca pun menyegerakan diri mengenakan mukena dan mengambil sajadah untuk shalat shubuhannya. Lalu, Fieca dengan hati yang sangat tenang mulai melaksanakan shalat penuh khidmat. Baginya shubuh menjelang fajar ini sangatlah berkah karena setelah ini dia bisa memuaskan diri untuk menikmati matahari pagi yang bersinar hangat.

Baginya ini bukan sekadar shalat saja, tetapi dia menyakini bahwa dengan cara inilah dia bisa berdialog langsung dengan sang Rabb. Sebelum menyapa ciptaan Allah dia lebih menyukai menyapa penciptanya terlebih dahulu. Iya, dia mengakui kalau dirinya belum istiqomah untuk shalat tahajjud. Namun, alhamdulillah dirinya tetap bisa istiqomah dalam menjalankan shalat lima waktu. Jika pun dirinya melaksanakan shalat dhuha, maka akan dilaksanakannya.

Fieca pun mengambil tasbihnya untuk memanjatkan zikir yang nanti akan disusul dengan mencurahkan segala emosi hati ke pencipta yang sangatlah maha penyayang. Dengan bibirnya yang ranum, Fieca pun menyuarakan awal suci dengan suara yang sangat terdengar pelan. Bukan hanya itu saja dia nanti juga akan mengalunkan sholawat yang menurutnya sangatlah merdu untuk didengar oleh ciptaan Allah lainnya.

Jika ada waktu luang di saat libur kerja dulu, Fieca sering mengikuti pengajian di masjid terdekat rumahnya. Dia juga tahu kalau dirinya belum siap mengenakan jilbab dan pakaian gamis permanent, tetapi isi benak hatinya tetaplah selalu mengingat kebesaran kasih sayang Allah yang selalu mengarahkannya ke jalan yang lurus.

Tidak terasa pula ayam mulai berkokok seraya menyahuti alunan sholawatnya yang begitu merdu, ini pertanda bahwa matahari mulai naik mengikuti gerak jam dinding yang terus bergerak. Semut-semut di dinding juga saling menyapa sesamanya, bahkan burung walet juga beterbangan setelah keluar dari sarangnya.

Tepat di jam lima pagi Fieca sudah selesai menunaikan kewajiban utamanya, dia pun membuka pintu kamar dan bergegas menuju dapur untuk memasak belut saos tiram pedas. Belut itu telah di bersihkan dan sudah dia rebus tadi malam menggunakan bumbu kunyit agar tidak ada bau anyir. Setelah sampai di dapur Fieca langsung menyiapkan alat-alat memasaknya, dia juga mengambil belut dari kulkas.

Tangannya mulai lincah memotong paprika, tomat, cabai, bawang merah dan putih. Dia juga memotong batang sayur sawi, seledri, daun bawang, kulit ayam dan bumbu rempah lainnya. Dia juga tidak melupakan untuk menanak nasi dan membuat susu coklat hangat untuk dirinya sebelum makan pagi.

"Huuh wanginya, anak Ayah sama Mama lagi masak apa Sayang?" Pak An duduk di kursi meja makan seraya menunggu istrinya membuatkan segelas kopi hangat.

"Fieca numis belut saos tiram, Ayah."

"Belum juga matang, wanginya sudah menggugah selera makan. Anak Mama mulai pinter masak ya!"

"Iya donk, kan keahlian Mama ngalir ya ke Fieca."

"Kalau gitu Mama bantu kamu dengan bersih-bersih rumah ya, Sayang."

"Iya Mama."

Ibu Rami pun pergi membersihkan rumah setelah meminum air hangat putih dan telah selesai membuatkan kopi hangat untuk suaminya. Dia mulai membersihkan sudut rumah dari sisi dapur sampai ke luar rumah, untung saja rumah mereka bentuknya minimalist. Jadi, Ibu Rami dan Fieca tidak terlalu kecapekan ketika membersihkan sisi-sisi rumah.

"Ayah, bagaimana urusan Ayah dan Mama kemaren apa sudah selesai?"

"Belum Fie, ini urusannya masih panjang."

"Serumit itukah, Ayah?"

"Iya, Fie. Jika suatu hari nanti Ayah dan Mama meminta bantuan atau pengorbanan darimu, apa kamu bersedia?"

"InsyaAllah, Fieca bersedia Ayah. Tapi, apakah itu?"

"Nanti Ayah akan memberitahukanmu, Ayah senang kamu mulai bisa ikut berjuang bersama Ayah dan Mama."

"Jika Fieca mampu maka akan Fieca kerjakan, sama-sama Ayah."

Fieca tersenyum pada Ayahnya sambil menghidangkan masakannya di atas meja makan, lalu dia melanjutkan dengan membuat jus jeruk dingin untuk menetralkan minyak yang ada pada tumisan. Nasi yang sudah masak juga dia hidangkan menggunakan baskom, piring dan sendok untuk makan juga dia sediakan untuk dirinya dan kedua orang tuanya.

"Bagaimana Fie, apa kita sudah bisa mulai makan pagi. Mama merasa sangat lapar ketika sudah selesai bersih-bersih rumah."

"Ayukk Mama, Ayah pimpin doa ya."

••••••

"Mama, kita hari ini pergi ke sawah saja yaa. Soalnya Ayah mau menanam padi ketan di ladang kita."

"Iya, Ayah. Mama mengikuti saja."

Suami istri ini pun bersiap-siap pergi ke sawah setelah menyelesaikan makan pagi. Zudan yang mendengarkan percakapan kedua orang tuanya hanya bisa pergi ke pantry untuk mencuci bekas makan mereka, tidak lupa juga dia membersihkan dapur dan merapikan meja makan. Lalu, menyusul Ayah dan Mamanya yang berada di luar rumah.

"Zudan, kamu jaga rumah dengan baiknya. Ayah dan Mama pergi ke sawah dulu."

Zudan pun mengganggukan kepala dan menyalami kedua tangan orang tuanya. Setelah motor yang dikendarai Ayahnya sudah tak terlihat lagi, Zudan memasuki rumahnya untuk bertadarus. Namun, sebelum itu dia membersihkan rumahnya terlebih dulu. Lalu, membersihkan diri di kamar mandi.

Di rasa badannya sudah segaran, Zudan pun mengambil Al-Qur'an dan membaca surah Al-Kahfi untuk dia senandungkan. Dia membaca surah ini karena malam tadi dia sudah selesai membaca surah Yasiin. Suaranya yang begitu merdu membuat kucing di rumahnya tertidur karena Zudan membaca dengan penuh penghayatan. Setelahnya Zudan menggelar sajadah untuk melaksanakan shalat dhuha.

Matahari yang terus naik ke atas langit dengan teriknya yang begitu menyengat kulit membuat siapa saja akan memilih berteduh di tempat yang di mana sangatlah dingin dan adem. Berbeda dengan Pak Gufu dan istri, mereka yang tidak pernah mengenal lelah bercocok tanam di ladang. Tak mau berhenti sebelum jam menunjukan makan siang.

Di dalam hati Pak Gufu dia memilih untuk terus bekerja dan bekerja, apapun akan dia lakukan selama itu tetaplah halal. Dia takut jika nanti mengalami kesulitan dan tidak ada simpanan uang, maka dari itu dia lebih baik memilih bekerja untuk menambah pemasukan. Pak Gufu sama sekali tidak menempatkan dirinya dalam kesulitan, tetapi dia hanya mau masalah terselesaikan dengan cara yang baik-baik saja.

Pak Gufu tetap beruntung meskipun dirinya diganggu oleh permasalahan. Tetapi, dirinya tetap dilancarkan dalam mengerjakan pekerjaan. Pekerjaannya juga tidak pernah hilang dari usaha bertani dan berkebun yang sudah lama dia jadikan sebagai lahan usaha. Begitu besarnya kasih sayang Allah dalam menyabarkan isi hatinya, sungguh Pak Gufu juga masih beruntung tetap bisa memiliki keturunan yaitu Zudan anak satu-satunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!