BAB SEPULUH

Di malam yang sama sekali tidak ada bintang di langit dan bulan yang tertutupi oleh awan membuat malam ini sedikit menakutkan. Setelah shalat isya selesai, Pak An telah berada di rumah keponakan istrinya. Ibu Rami juga ikut bersama sang suami, saat ini mereka sedang berada di ruang tamu sembari membongkar kejahatan yang telah dilakukan Asir sepupu mereka.

Tidak lupa kue kering dan empat gelas kopi hangat telah terhidang di atas lantai yang beralaskan tikar hias. Sedangkan anak-anak telah dipinta untuk terus berada di dalam kamar, anak-anak itu sama sekali tidak boleh mendengarkan perbincangan yang bukan urusannya.

"Laida, coba kamu ceritakan tentang kejahatan Asir yang telah dia lakukan? Jangan takut, kamu juga begini demi kebaikan."

"Atau kamu Miru bisa ikut membantu Laida untuk memberikan keterangan sebagai seorang suami!"

"Begini Tante, Om. Yang Lai tahu tentang Mamang Asir adalah, beliau itu mengatakan ke Tante sebelah yang mana memihaknya itu berkata bahwa tanah tersebut telah diiyakan Tante. Beliau juga memalsukan cek rekening, tanah itu juga telah dijual saat beliau belum cerai. Berita ini baru saya ketahui, lalu kata Mamang Asir tanah itu telah ditanami sawit sebelum dijual." Laida meremas punggung tangannya yang berkeringat.

"Semua itu benar, bahkan Tante sebelah juga mengatakan bahwa Mamang Asir sama sekali tidak pernah menjual tanah milik Tante. Saya hampir bingung mau percaya yang mana, yang saya tahu dibalik itu ada ketidakbenaraan."

"Cih, licik. Segala tidak mengaku dan menyembunyikan kesalahan," sungut Ibu Rami dengan wajah geramnya.

"Memangnya digunakan untuk apa uang itu?" imbuh Pak An.

"Sebelumnya kami juga belum tahu, Om." Miru menjawab dengan nada lemah.

"Bukan hanya itu saja setelah menjual tanah Mamang Asir bersembunyi sembari menikah lagi dengan seorang jalang yang hampir menggoda Miru, Tante."

"Jahanam, apa uang itu digunakannya untuk ...?" Ibu Rami semakin menampakan wajahnya yang sama menakutkannya dengan suasana malam ini.

"Mama, kendalikan emosimu." Pak An segera mengelus-ngelus lembut kepala istrinya.

"Jelaskan lebih dalam lagi apapun yang kamu ketahui, Laida!" Ibu Rami berbicara kembali setelah memberikan respon anggukan untuk sang suami.

"Yang lebih parahnya lagi Mamang Jabban malah ikut membela Mamang Asir, Tante masih ingatkan saat Ridan meminta Tante menandatangani surat persetujuan yang berapa tahun lamanya itu juga berkaitan dengan tanah Tante ini. Surat itu untuk Ridan mengumpulkan dana kuliahnya, tetapi hasilnya malah Mamang Jabban yang mengikuti jejak buruknya Mamang Asir."

"Fuih, punya saudara malah seperti tidak mempunyai sama sekali." Ibu Rami mencengkram kuat sisi tikar yang mudah terjangkau oleh tangannya.

"Sungguh saya tidak habis pikir secara akal maupun logika, Mamang Asir telah menipu Tante Sinah dengan meminjam uang untuk ... Entahlah, mana uang itu ternyata adalah uangnya Hewu. Hewu ingin memakai uang itu untuk membeli bibit sawit, tapi malah tidak jadi hanya karena kecerobohan Tante Sinah Mamanya." Miru seakan mempraktikkan wajah jengkelnya Hewu.

"Haha, Tante juga pasti ingat lagi kalau Mamang Asir belum melunasi utang kepada Tante Irusia si pemilik pabrik padi yang dijadikan beras dan juragan kebun kelapa."

"Maksudmu bagaimana ya Laida, tentang Jabban yang seakan mengikuti langkah buruk Asir?" Pak An mempertanyakan itu karena beliau merasa masih bingung.

"Begini Om, Mamang Jabban itu ingin menipu saya. Beliau ingin menjual tanah yang diatas rumah saya ini, tetapi itu saya indahkan karena saya cepat tersadar. Besoknya pula saya langsung cepat mengurus agar tanah itu tidak mudah terjual, saya pergi ke beberapa kantor untuk membuat surat resmi tanah. Mamang Jabban begitu karena telah banyak menjual tanah untuk Ridan, padahal dulunya sudah saya nasihati kalau biaya tidak mencukupi lebih mending kursus Diploma satu atau Diploma dua sesuai kemampuan saja."

"Tetapi ini malah memaksakan diri dan ekonomi, saya ngerti ini awalnya paksaan dari Ibunya Ridan. Memikirkan keuntungan bisa, tetapi menyepelekan kerugian orang lain malah dientengkan." Laida bicara dengan nada dilemahkan agar tidak mengundang suasana yang nanti bisa menjadi panas.

Semakin mendengar ini secara rinci membuat hati Pak An memanas, tetapi tetap dipendam. Karena beliau tahu apa yang nanti akan terjadi walau itu terlihat masih bayang-bayang, beliau tahu kalau beliau ini adalah orang pintar. Namun, itu hanya beliau pakai untuk melindungi keluarga kecilnya saja. Beliau juga tidak berani mendahului yang diatas, tetapi beliau hanya bisa merasakan was-was yang seakan masih berbentuk puzzle.

"Laida, kalau ada info-info lagi. Mohon segera datangi Tante, kamu masuk pihak Tante saja karena Tante masih greget. Tapi, ini sudah jam setengah sebelas malam."

"Baik, Tante."

"Ayah, Ayo. Kasihan Fieca kita tinggal di rumah, Mama tahu anak itu pasti sedang bersiap-siap untuk tidur malam."

"Iya Mama, Laida dan Miru. Oom dan Tante pamit yaa."

"Iya, Om dan Tante. Hati-hati," ucap Miru yang mengantarkan hingga ke depan pintu.

Di saat masih dalam perjalanan pulang ke rumah, Pak An dan Ibu Rami fokus pada jalanan yang sebentar lagi akan terlihat sepi. Maka dari itu kedua pasutri ini tidak berani terlalu banyak bicara ketika larut malam saat masih di dalam mobil atau transportasi lainnya, mereka malah memilih memanjatkan doa-doa dan fokus pada jalan yang terus mereka lewati.

Bahkan untuk membeli jajanan saja mereka rasa itu sangat tidak perlu, karena pasti akan tidak dimakan juga. Di rumah pun Ibu Rami rasa masih banyak cemilan yang dia beli untuk Fieca, itu juga telah beliau simpan di dalam kulkas. Beliau Tahu kalau Fieca sangat suka nyemil ketika bosan makan makanan berat, jika sudah makan berat.

Fieca malah melupakan cemilannya, itulah Fieca yang sangat unik untuk Ibu Rami sebagai seorang Mama. Jika mengingat kelakuan random kedua anaknya, Ibu Rami hanya bisa tersenyum sabit saja. Namun, untuk makanan dan cemilan Fieca dan Kakaknya. Ibu Rami sangatlah pemilih, beliau akan kembali bersikap protektif demi menjaga kesehatan anak-anaknya.

Yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menerima dengan semburat wajah puppy eyes. Begini juga supaya Ibu Rami tetap bersikap perhatian yang tidak boleh menghilang, tetapi bagaimana mau hilang. Malahan Ibu Rami semakin mengeluarkan sikap bawel dan sedikit baperannya, beliau rasa juga kalau dirinya adalah sosok Mama yang memang benar-benar terbaik.

"Ahh, akhirnya kita sudah sampai di rumah Yah. Fieca juga telah lelap dalam tidurnya."

"Iya Ma, yuk kita ke kamar untuk bebersih dan ikut tidur malam."

Mereka berdua pun berjalan ke kamar setelah mengunci pintu utama rumah, tidak lupa tadi Pak An sudah mengunci pagar rumah dan juga garasinya. Ibu Rami juga mengikuti langkah kaki suaminya sesudah menutup pintu kamar Fieca, iya. Beliau tadi hanya memastikan apakah Fieca sudah tidur atau belum? Ternyata sudah dengan postur tidur memeluk boneka panda gemoy di dalam selimut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!