BAB SEMBILAN

"Alhamdulillah, aku sudah mendaftarkan diri di tiga lowongan pekerjaan. Jadi, aku tinggal nunggu informasi terbaru untuk kapan interview," gumam Fieca menyimpan kembali berkas-berkasnya.

Sedangkan di dapur sang Mama sedang sibuk-sibuknya memasak untuk menyambut makan siang, beliau memasak sup ayam yang dipadukan dengan tambahan sayur jagung muda, brokoli, kol, wortel dan pelengkap lainnya. Tadinya beliau ingin mengajak Fieca untuk memasak bersama. Namun, ketika melihat Fieca sedang sibuknya dengan merintis karier kembali.

Beliau pun akhirnya memutuskan untuk bergelut sendirian memasak di dapur. "Semoga saja anak itu mendapatkan pekerjaannya setelah kabar perjodohan diketahui olehnya," gumam Ibu Rami yang mengaduk-ngaduk sayur supnya.

Ibu Rami bukannya berdoa yang tidak-tidak, tetapi beliau takut saja jikalau Fieca nanti menolak perjodohan itu. Beliau hafal bagaimana sifat dan sikap Fieca anaknya. Namun, jika perjodohan itu telah resmi. Maka beliau baru bisa bernapas sedikit lega karena apapun lagi jika Fieca mau bekerja, beliau tidak akan menghalangi.

Beliau tahu kalau Fieca itu anak yang super aktif, itu beliau lihat semenjak Fieca masih balita. Sedikit saja merasa bosan, maka Fieca akan memaksakan dirinya untuk terlihat sok sibuk. Tetapi, beliau bersyukur karena kedua anaknya tidak ada yang pemalas. Beliau suka karena sikap mandiri itu menular dari dalam dirinya.

"Wanginya masakan Mama, jadi lapar nih Fieca Ma." Fieca duduk di meja makan sembari mengambil air minum.

"Hhee, sini nanti makan siang sama Mama."

Semburat senyum melengkung pun muncul dari wajah oval Fieca.

"Alhamdulillah, Fieca kekenyangan karena makan masakan Mama yang super enak ini."

"Kelihatan banget kamu saja tadi sampai nambah tiga porsi."

"Hhee."

"Assalamu'alaikum, Istri dan Anaknya Ayah .. " Pak An datang dan menyapa keluarga kecilnya yang masih berada di dapur.

"Ehh, Ayah. Ayah telat issh." Fieca mencibir Ayahnya yang baru saja pulang dari rumah sang Oom.

"Makan yukk, Ayah." Sang istri menyajikan kembali sup ayam untuk Pak An suaminya.

"Ayah'kan sibukan Fie .., ok, Mama."

"Gapapa deh, makan yang banyaknya Ayah." Fieca mengambilkan air minum untuk sang Ayah.

"Ayah, Mama. Fieca pamit ke kamar dulunya ada yang mau Fieca urus."

Setelah kepergian Fieca dari dapur, sang Mama pun lebih mendekatkan dirinya dengan suami.

"Ayah, Mama tadi tidak senghaja mengintip Fieca dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Di situ Mama melihat dan mendengar kalau Fieca mau bekerja kembali, entah di perusahaan mana? Makanya dia tadi pamit pergi untuk melanjutkan mengurus tentang pekerjaannya itu, menurut Ayah bagaimana?"

"Hmm, kalau menurut Ayah kita pinta saja dia nanti untuk menunda rencananya itu. Ayah takut kalau perjodohan itu gagal begitu saja, Mama tahu sendirikan kalau Fieca itu sangat ambisi dalam pekerjaannya!"

"Iya, Mama juga berpikir seperti itu."

"Kalau dia nanti meminta izin pada kita untuk mengizinkannya bekerja, maka kita harus bisa melemahkan keinginannya. Ayah tahu ini nanti akan menyakitkan untuknya, tapi ini juga untuk kebaikan dirinya."

"Benar, Mama mengikuti apa kata-kata Ayah saja."

•••••

Saat ini Pak Gufu sangat terlihat lesu memandangi kebun sawit yang beberapa bulan lalu telah ditanaminya. Sang istri juga tengah mengelus-ngelus pundak belakang suami seraya memberikan ketabahan. Jika dihitung-hitung, maka dalam waktu dua tahun kebun ini akan segera memasuki masa-masa panen.

Sang istri juga tahu, sebelum tanah ini ditanami bibit sawit. Tanah ini awalnya hanya ditanami sayur-sayuran. Menurut Pak Gufu tanah ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan tanaman sawitnya, tetapi apa mau dikata? Jika nanti pada akhirnya hasil dari perkebunannya ini akan segera terbagi.

Pak Gufu bukan berniat untuk serakah atau menguasai hak orang lain begitu saja, tetapi beliau sangatlah menyayangkan hasil keringat jerih payahnya ini. Pak Gufu juga tahu kalau beliau telah memiliki banyak perkebunan di wilayah yang lain. Namun, di kebun yang sekarang ini ....

Hati Pak Gufu seakan teriris. Jika mau menyalahkan, maka beliau seakan ingin menyalahkan ini pada kecerobohannya. Pak Gufu mengakui kalau dirinya adalah jagoan di kampungnya ini, tetapi itu malah tidak berarti lagi. Kaki yang sedari tadi berdiri, kini telah terduduk dan terkapar di tanah.

Sang Istri semakin kuat memberikan ketenangan untuk suami, beliau juga meminta suaminya untuk meminum air putih yang selalu dibawanya untuk berkebun dan berladang. Dalam keadaan ini beliau juga ikut merasakan semua yang ada pada sang suami. Ingin ikut menangis, tetapi itu ditepisnya karena baginya dirinya ini adalah seorang penguat.

"Sudah, jangan buat dirimu semakin terpuruk Ayah. Sekarang mari kita lanjutkan berkebun."

"Iya, Ma."

Untung saja pagi tadi aku dikuatkan Zudan, jika tidak maka aku akan ikut bersedih lama-lama seperti suamiku ini, batin sang istri yang memegangi pundak suaminya.

Pak Gufu pun melangkahkan kakinya dan melanjutkan kembali bekerja dengan semangat yang dibuat-buatnya. Pak Gufu membersihkan sisi parit yang ditumbuhi sayur kangkung, kangkung ini senghaja beliau tanam karena untuk menguatkan tanah agar tidak mudah longsor.

Sedangkan sang istri beliau sedang membersihkan pondok bambu kecil yang dibangun untuk beristirahat seraya makan siang dan sore hari. Lantai pada pondok ini dilapisi dengan alas tikar purun berwarna coklat yang dianyam rapi. Di setiap ladang dan kebun selalu dibuatkan Pak Gufu pondok untuk tempat istirahatnya.

Di samping kiri pondok juga beliau sediakan tempat untuk memasak air dan memanaskan makanan yang selalu dibawa menggunakan termos, gelas, rantang dan lain-lainnya. Namun, pondok di ladang itu sedikit berbeda dengan yang ada di kebun. Di ladang itu pondoknya dibuat berbentuk sedikit besar, di dalam pondok itu bisa untuk bermalam dan melakukan kegiatan lainnya seperti halnya ketika berada di rumah.

Pondok yang berada di ladang ini juga sering didiami saudaranya Pak Gufu yang beberapa tahun lalu telah ditinggalkan mantan istri. Makanya ketika Pak Gufu dan istri bermalam di sini, pondok itu selalu terlihat bersih, rapi dan terawat. Walaupun fasilitasnya hanyalah sedikit memadai untuk bisa digunakan. Pekarangannya pun ditumbuhi oleh tanaman hias yang terlihat bagus ketika dipandang mata.

Saudaranya Pak Gufu ikut mendiami pondok di ladang ini karena beliau juga ikut berladang, di belakang ladangnya Pak Gufu itu adalah punyanya beliau. Beliau juga mempunyai kebun ubi-ubian dan buah-buahan walaupun hanyalah dua petak tanah di samping ladang miliknya. Tetapi, beliau tetap mensyukuri karena berkat ini beliau bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa harus banyak merepotkan sanak saudara.

Setelah merapikan pondok istri Pak Gufu pun menyusul sang suami untuk ikut membersihkan kebun, beliau berjalan sangat berhati-hati agar tidak terinjak duri sawit yang sangat tajam. Jika terinjak itu akan menyebabkan infeksi. Beliau membersihkan dan membuang duri itu ke tempat pembuangan yang telah disediakan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!