BAB LIMA

"Euugh," desah Fieca saat dirinya mengumpulkan nyawa.

Kruk, kruk, kruk.

"Huh, perut lapar ini membangunkan tidur nyenyakku. Ada bahan makanan apa ya di dapur?"

Fieca mengikat rambutnya asal-asalan, dia pun bangun dari ranjang dan beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makan pagi dan siang untuknya. Dia tidak ingat ini sudah menunjukkan jam berapa, yang dia tahu hanyalah menikmati kesendirian dengan mageran di rumah.

"Di kulkas ada telur, petai dan seledri. Coba aku buat telur dadar saja menggunakan bahan-bahan ini," gumamnya sembari mengeluarkan bahan makanan itu dari dalam kulkas.

Pertama-tama Fieca memotong-motong petai yang sudah dibersihkan, memotong daun seledri dan bawang merah. Lalu, mengocok telur setelah bahan-bahan itu dia tuangkan ke dalam mangkuk. Tidak lupa dia campurkan sedikit bumbu rayco, setelah itu dia memasak nasi.

"Apa aku nanti membuat nasi goreng juga ya kalau nasi sudah masak?"

Fieca membuka kulkas kembali, di situ dia mengambil sayur sawi, saos sambal dan abon sapi. Dia juga mengambil satu bungkus nasi goreng di lemari kecil atas kulkas, menurutnya nasi goreng ini akan terasa nikmat karena semua bahan telah terpadu menjadi satu.

Dia berdiri di samping pantry lagi untuk mencuci dan memotong sawi, setelah itu dia menggoreng telur dadar. Di saat sedang menggoreng Fieca sangat berhati-hati karena dia tidak mau terkena cipratan minyak panas yang kadang meletus-letus sama seperti dirinya sedang marah. Telur dadar sudah jadi dan terhidang di piring, pekerjaan pun dia lanjutkan kembali dengan menggoreng nasi.

"Ahh, wangi nasi goreng ini seakan-akan sedang memanggil lidahku untuk mencicipinya," gumam Fieca dengan senyumannya.

Semua masakan pun telah tersaji di atas meja makan, Fieca juga tidak lupa mengambil segelas air mineral untuk menemani dirinya. Untung saja dia pintar bergelut di dapur, sehingga ini tidak membuat dirinya terlalu kerepotan. Setelah selesai berdoa, Fieca pun makan dengan keadaan diam.

Cita rasa dari masakan yang dibuatnya ini sangatlah enak, walau belum selezat makanan yang selalu dimasak oleh Mamanya. Tetapi, dia bersyukur bahwa dirinya sangat mampu dalam hal memasak.

"Yummy, perutku sudah kenyang. Bekas makan juga sudah beres, sikat gigi ah buat persiapan mandi. Tapi, kayaknya aku bersih-bersih rumah dulu deh," gumamnya berbicara sendiri.

Fieca berjalan menuju bawah tangga dapur untuk mengambil sapu, kemoceng dan pel. Lama juga dia baru bisa berberes rumah selama dulu itu dia selalu berangkat dan pulang kerja, berberes pun di saat pas libur kerja.

•••••

Sore hari di kediaman rumah Zudan ...

Sang Ayah yang baru pulang kerja dari sawah beliau terkejut karena mendapati anak dan istrinya memberi kabar bahwa pagi menjelang siang tadi ada tamu yang mengatakan bahwa keluarganya dan tamu itu saling merasa dirugikan, dia bingung apakah yang menjadi kerugian itu?

Di saat sedang berpikir, kedua tamu itu pun bertamu lagi ke rumahnya dengan ekspresi sedikit santai. lalu beliau mengambil alih menyambut tamunya. Sedangkan sang Istri pergi ke dapur untuk membuatkan kopi hangat dan cemilan, Zudan pun ikut Ayahnya untuk duduk di ruang tamu.

"Mari, Pak dan Ibu. Masuk ke rumah."

"Baik, Pak."

Lima menit kemudian, pembicaraan pun dimulai oleh tamunya yang bernama Bapak Anharman. "Sebelumnya saya memohon ampun, mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk keluarga di sini, tetapi saya menyampaikan ini juga untuk kebaikan kita masing-masing. Tadi siang pembicaraan itu saya hentikan karena saya lihat kondisinya sangatlah kurang memungkinkan, maka dari itu saya lanjutkan di saat Bapak sudah ada di rumah." Pak An melanjutkan bicaranya setelah mengambil napas kecil.

"Jadi begini, Pak. Kita dua keluarga ini sama-sama ditipu oleh sepupu yang menjual tanah anak kami tanpa seizin Istri saya yang memegang hak resmi tanah, tanah itu juga sudah Bapak jadikan kebun sawit. Saya sama sekali tidak memarahi Bapak dan keluarga, tetapi karena ini gara-gara sepupu yang kurang ajarnya kelewat batas. Lebih baiknya kita bagaimana, saya ke sini untuk kita mencari solusi." Beliau mengambil napas lagi.

"Benarkah itu?" Pertanyaan dari Mamanya Zudan.

"Itu benar adanya, Bu. Ibu lihat saja, ini surat resmi tanah anak kami."

Istri Pak An melampirkan surat tanah itu di atas meja. Melihat surat itu sah dan resmi membuat mata Mama Zudan membulat, Zudan juga ikut membaca surat itu dengan sikap sopannya.

Pak Gufu yang tadinya terdiam, beliau pun angkat bicara.

"Saya juga sama seperti Bapak dan Ibu, kita sama-sama tidak mau kehilangan tanah dan kebun. Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Untuk hal pertama saya mau istri Bapak jangan lagi marah-marah, bersikap tenanglah seperti saya. Kita ini mau menyelesaikan masalah loh, kalau mau marah. Marahi saja sepupu yang berkelakuan rendahan itu," cetus Bu Rami istrinya Pak An.

Mendengar itu membuat tulang istri Pak Gufu seakan terasa lemah. Dengan sigap Zudan memegangi tangan Mamanya, Zudan bingung dan bingung itulah yang dia rasakan. Dengan hati yang pilu Pak An kembali menyampaikan saran-sarannya.

"Kalau keluarga di sini sama sekali tidak keberatan, maka saya akan memberikan tiga saran yang menurut saya itu sangatlah baik untuk membuat kita bisa berdamai. Dengan saran ini juga kita tidak akan merasa kehilangan apa yang memang telah menjadi milik kita di kedua belah pihak ini, saya juga akan memberikan waktu untuk Pak Gufu dan keluarga dalam mengambil keputusan yang baik dan benar!" imbuh Pak An dengan sikap tegasnya.

"Benarkah itu, apa saja sarannya Pak?"

"Pertama, jika kita melaporkan sepupu sebagai pelaku ke kantor polisi. Maka Bapak juga akan terkena sedikit masalah.

Kedua, jika Bapak menjual kebun ketika panen. Saya menjual tanah itu ketika sudah dibersihkan, maka kita hanya mendapatkan keuntungan hanya sedikit dari apa yang sudah kita ekspetasikan.

Ketiga, mungkin ini akan sangat sensitif."

"Sensitif? Apakah itu, Pak?" Zudan mulai was-was saran terakhir apakah yang akan Pak An sampaikan?

"Tapi, Bapak sekeluarga jangan ada yang salah paham akan saran yang diusulkan suami saya. Kami sama sekali tidak mau mengambil keuntungan pada diri sendiri, karena ini intinya adalah keuntungan dan kedamaian untuk kita bersama-sama!" Ibu Rami berbicara agar suasana di sini tetap terlihat baik-baik saja.

Namun, ini seolah membuat Zudan tertegun. Perasaan apa ini yang membuat hatinya berdebar, aneh. Orang tuanya juga merasakan hal sama seperti dirinya, penasaran! Iya, mereka sangat penasaran. Ingin curiga, tetapi itu sangatlah tidak diperbolehkan. Pak An melihat raut wajah yang ditatapnya itu sangatlah mudah untuk dijabarkan, tetapi sarannya ini sangatlah sulit untuk ditebak karena yang tahu hanyalah dia dan istrinya saja.

Terpopuler

Comments

Mochi

Mochi

Baru selesai baca, tapi kok aku merinding terus ya. ✨

2023-11-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!