Tidak terasa malam ini semakin larut hingga membuat Gada dan Fieca masih terhanyut pada kegiatan mereka. Gada yang menyadari akan hal ini, dia pun membereskan barang-barangnya dan juga izin pamit ke Fieca untuk pulang ke rumah.
"Kak, segera tidurnya setelah aku pamit dari sini. Jangan begadang, ini sudah jam sepuluh malam looh."
"Iya, Gada bawel." Fieca mengantar Gada sampai ke depan pintu rumahnya.
Setelah mobil Gada tak lagi terlihat di malam yang pekat dan dihiasi dengan cantiknya rembulan dan bintang-bintang yang menemani. Ini malah membuat Fieca diam sejenak di teras rumah, mengapa dia baru menyadari bahwa dirinya ini penyuka rembulan. Padahal dirinya juga menyukai embun dan sinar matahari saat di pagi hari?
"Malam ini adalah malam tercantik untukku, malam yang dingin ini seakan bisa mendinginkan isi pikiranku. Cerahnya bulan itu secerah mataku yang sedang memandanginya," gumam Fieca.
Namun, tatapan matanya yang masih memandangi bulan itu seketika buyar. Entah, mengapa dia merasakan angin malam ini tiba-tiba bisa berbeda? Keanehan itu membuatnya ketakutan, dia pun bergegas memasuki rumah dan mengunci pintu.
Dia mengambil handphone untuk mengecek jam, ternyata ini menunjukan pukul dua belas malam. "Pantas saja tadi suasananya di luar tiba-tiba saja berubah," batin Fieca yang memutuskan pergi ke dapur untuk sikat gigi.
"Semoga malam ini aku bermimpi indah atau sekalian aku tidak usah bermimpi saja," gumamnya sebelum memejamkan mata.
Fieca tidak menyangka pagi ini adalah, pagi yang paling termalas untuk dirinya bangun tidur. Saat ingin beranjak dari ranjang dan bantal. Nyawanya malah menyuruh dirinya untuk kembali tidur,
"Argkh, mending aku lanjutkan saja tidur yang tertunda ini!"
•••••
Di sebuah masjid yang lumayan megah, di sana para jamaahnya baru saja selesai melaksanakan shalat shubuh. Namun, ada satu laki-laki yang masih setia berada di dalam masjid. Laki-laki itu sedang mengaji surah yasiin. Suara bass-nya sangatlah merdu bagaikan semilir angin yang berada di Kota Arab Saudi.
Dia memiliki kulit sawo matang, wajah yang bisa dikatakan tampan, rambut yang tertata rapi di balik peci berada di atas kepala dan terlihat semakin segar ketika baru selesai berwudhu. Apalagi di saat dirinya bersholawat, MasyaAllah ....
Namun, beberapa bulan ini dia enggan menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Jika dikatakan memiliki kelainan, maka itu tidaklah benar! Dia seperti ini karena memiliki perasaan trauma akan kematian yang telah menimpa kedua saudara kandungnya.
Beberapa tahun silam yang lalu, di saat kedua saudaranya telah sama-sama sudah menikah. Di situ pula nasip naas menimpa, ini juga tidak ada sangkut-pautnya dengan tragedi kecelakaan. Baru saja kedua saudara itu bersenang-senang sebagai pengantin, ehh musibah sial malah merenggut nyawa tanpa adanya pembunuhan.
Dari kejadian itu pula saudari ipar-iparnya juga ikut berpamitan untuk kembali ke rumah orang tua mereka masing-masing. Kesedihan dan peristiwa itulah yang membuatnya merasa trauma dan juga ketakutan. Bayang-bayang itu seakan menghantui benak yang berada di luar pikirannya.
Belum lagi orang tua kandung yang berada di rumah, mereka juga tak kalah sedihnya. Karena dua orang anak sulung dan tengah meninggalkan mereka begitu saja, saat ini mereka hanya mempunyai satu anak bungsu yang sekarang telah menjadi anak tunggal.
Mereka kebingungan dengan semua ini, dosa atau kesalahan apakah di saat dulu yang telah mereka lakukan? Hingga yang menjadi korban itu adalah anak-anak mereka sendiri. Kesedihan juga ikut menyelimuti saat teringat kenangan kebersamaan hangatnya kekeluargaan.
Tangis sedih seolah telah bercampur aduk menjadi satu, hingga membuat sepasang orang tua ini tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Cukuplah hanya mereka yang menderita, tidak boleh itu terjadi lagi pada anak dan cucu mereka kelak nantinya. Biarlah ini menjadi derita asalkan jangan menjadi luka untuk hal lainnya.
Tidak terasa jam telah menunjukan pukul sepuluh pagi menjelang siang, Zudan yang disapa sebagai Ustadz muda ini baru saja pulang ke rumahnya. Saat sampai di rumah dia menyalimi tangan Mamanya, karena Ayahnya dari pagi masih berada di sawah.
"Kamu makan lagi gihh, Mama baru saja selesai masak makanan kesukaanmu."
"Iya, Ma."
Zudan pun memasuki dapur dengan langkah pelannya. Sang Mama juga kembali melanjutkan pekerjaannya di luar rumah yaitu menyirami tanaman bunga yang dirawat sebagai pemandangan halaman rumah.
Ketika matahari semakin terik memancarkan cahaya yang sangat panas, beliau terperangah melihat sepasang orang tua yang seumuran dengannya sedang bertamu ke rumah miliknya. Beliau heran, mengapa ekspresi kedua tamunya ini sangatlah berbeda. Apakah yang ingin dibicarakan?
"Pak, Bu. Mari masuk ke dalam rumah terlebih dulu." Sapanya dengan sopan seraya menyambut tamunya ini.
"Kita duduk di teras saja, Bu!" Sang istri tamu menyela.
"Maaf Bu, apakah sang Suami ada di rumah?" tanya suami dari istri tamunya.
"Maaf Pak, suami saya masih berada di sawah. Kemungkinan sore nanti akan pulang, Bapak dan Ibu ada perlu apa bertamu ke rumah saya?" Kini dia menyahut dengan pikiran yang mulai tidak karuan.
"Begini Bu, sebenarnya kita sebagai kedua belah pihak itu sama-sama saling merasa dirugikan. Kita tahu bahwa tanah yang beberapa hari lalu Suami beli itu adalah tanah wasiat untuk anak saya, tetapi malah dijual oleh sepupu kita yang tidak bertanggung jawab!"
"A--paa! Ini tidak benar, saya dan suami tidak mengambil atau membeli milik orang lain tanpa adanya surat-surat yang berdasar! bentaknya dengan nada ingin mengeluarkan emosi.
"Suami saya bicara itu tidak mengada-ngada, Bu!" sahut istri dari tamunya.
"Inilah yang saya khawatirkan karena di rumah tidak ada suami ya Ibu, lebih baik pembicaraan ini kita lanjutkan nanti sore saja. Nanti saya akan kembali lagi bersama istri, tolong Ibu kabarkan ini kepada Suami!"
Kedua tamunya itu pun kembali menaiki mobil dan pergi melesat dari halaman rumahnya. Setelah kedua tamunya pergi, si Ibu terduduk lemas di sisi teras. Tekanan kedua apalagi ini yang baru saja menimpa keluarganya? Zudan yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu sisi dalam rumah sembari mendengarkan percakapan sang Ibu dan kedua tamu.
Dia keluar rumah dan mengusap pelan pundak belakang Mamanya untuk memberikan ketenangan, dia juga sama gelisahnya seperti apa yang dirasakan sang Mama. Tetapi, itu dia pendam agar Mamanya bisa tenang di dalam kasih sayangnya. Di dalam hati dia tidak luput untuk berigstifar.
Tidak lupa juga dia selalu menyebut nama Allah agar selalu diberikan kemudahan dalam menyelesaikan rintangan apapun itu tentang cobaan hidup, dia tidak mau berfikiran yang tidak-tidak tanpa mendengar bagaimana penjelasan selanjutnya dari kedua tamunya di sore hari nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments