Tokyo University of Medical School Tokyo Jepang
Ben dan Takeshi maju untuk mempresentasikan sistem bedah cangkok organ tubuh yaitu ginjal. Dengan percaya diri, Ben memberikan gambaran teknik bedah pencangkokan yang lebih mudah dibandingkan tingkat kompleksitas yang sebelumnya. Ben mempelajari itu dari sang ayah, Raj Rao, yang juga seorang dokter bedah.
"Cara penyambungan pembuluh darah disini memang dibutuhkan stabilitas tapi disini juga kita bisa melihat bahwa ada tiga pembuluh darah penting. Yang wajib kita pahami, sambungannya itu agar tidak terjadi penggumpalan darah..." papar Ben dengan bahasa Jepang fasih bahkan dia menulis dengan huruf Jepang.
Para rekan mahasiswanya tampak terkejut dengan kemampuan Ben berbahasa Jepang seolah dia sudah lama tinggal di Jepang. Ben dan Takeshi saling bergantian menjawab pertanyaan baik dari para dokter senior dan rekan mahasiswa.
Takeshi dan Ben bisa dibilangi duet yang saling melengkapi. Jika Ben menguasai teknik bedah, Takeshi menguasai teknik recovery. Ran Tsubasa menatap datar ke arah pria berdarah India itu. Tidak ada rasa gugup atau rasa insecure di wajah Benoit, yang ada wajah percaya diri.
Takeshi membantu Ben jika ada bahasa kanji yang sedikit sulit dia baca tapi overall, duet keduanya membuat presentasi menjadi lebih hidup karena keduanya sama-sama menguasai topik presentasinya.
"Sebelum saya menutup acara diskusi ini, saya hendak mengatakan sesuatu" ucap Ben dengan bahasa Jepang formal. "Saya tahu saya satu-satunya bukan orang Jepang di angkatan ini tapi saya sama dengan kalian. Suka nasi, suka sushi dan saya masuk todai itu karena otak saya. Bukan karena paman saya Shinichi Park atau banyak keluarga saya alumni sini termasuk opa saya, Joey Bianchi. Jadi, jika anda tidak suka dengan fisik saya, coba anda kenali saya dulu. Siapa tahu, kita bisa saling berbagi ilmu atau bertukar makanan? Jelek-jelek begini, saya jago masak..."
"Hontou ( benarkah )?" ejek Ran Tsubasa sambil bersedekap.
"Bagaimana kalau kamu ke asrama aku ? Disana kan dapurnya untuk bersama jadi kamu bisa lihat apakah aku bisa masak atau tidak?" balas Ben sambil nyengir. "Oh, berlaku buat kalian yang ingin tahu budaya orang India biarpun aku separuh India separuh Amerika."
"Aku mau tanya. Kewarganegaraan kamu?" tanya salah seorang mahasiswa.
"Amerika. Oke begini, ayahku tadinya memegang dual citizenship, India dan Belgia. Tapi karena pajaknya lumayan, jadi Daddy melepaskan kewarganegaraan Indianya dan menjadi warga negara Belgia. Mommyku tetap memegang paspor Amerika dan aku beserta dua saudara kembar aku, memiliki kewarganegaraan berbeda. Arya, kakakku, warga negara Belgia, aku dan Mita adikku, Amerika. So, apalagi yang ingin kalian tanyakan?" Senyum Ben.
"Kenapa memilih Todai?" tanya dosen Ben.
"Honestly, aku bosan Eropa. Disini aku bisa mendapatkan game terbaru bukan?" cengir Ben. "Sensei, saya tahu semua kampus di dunia menolak rasisme tapi di lapangan masih berlaku. Honestly, selepas saya lulus dari sini, saya tidak akan mengambil lapangan pekerjaan kalian. Saya akan kembali ke Brussels sebab disana adalah rumah saya."
Ran menatap Ben dengan tatapan tidak bisa dibaca.
***
Muenchen, Jerman
Arya dan Riko tiba di sebuah restauran sosis Bratwurst yang terkenal. Arya memang tidak makan karena dagingnya haram namun dia tidak bisa menolak saat Riko minta ditemani minum beer.
"Apa kamu tidak pernah minum alkohol?" tanya Riko sambil menyesap beer di gelas besar.
"Bisa dikatakan jarang..." jawab Arya yang hanya memesan mashed potatoes.
"Karena kamu muslim?" tanya Riko lagi.
Arya mengangguk. "Aku bukannya munafik tidak pernah minum, tapi aku minum hanya sosialisasi. Seperti ini, aku tidak enak jika tidak menemani kamu minum..." jawab Arya yang memilih minum beer di gelas kecil.
"Sebenarnya jika kamu menolak, aku tidak apa-apa..." Riko tampak tidak enak dengan Arya.
"It's okay. Really. So, bagaimana dengan sosisnya?" tanya Arya.
"Aku pernah makan di Tokyo tapi disini, sangat meaty dan lebih gurih daripada di Jepang. Aku suka..." jawab Riko.
"At least kamu harus mencoba sekali makan Bratwurst di negara asalnya" senyum Arya.
"Exactly !" balas Riko sambil tertawa. "Terimakasih Arya. Membuat liburan aku semakin menyenangkan..."
Arya mengangguk. "Semoga kamu sehat-sehat terus, Riko. Jangan sampai kambuh lagi..."
"I know. Yang penting jangan stress ... Meskipun kehidupan di Tokyo sudah membuat stress..."
Arya memajukan tubuhnya mendekati Riko. "Jangan terlalu ngoyo kuliahnya. Yang tahu kondisi badan kamu, adalah kamu sendiri. Kamu kan dokter, pasti sudah hapal tanda-tanda saat kamu mendapatkan serangan seperti waktu itu..."
"Akan aku ingat pesan anda, Dokter Rao..." balas Riko dengan wajah dibuat imut.
Riko Ichida
"Kamu itu ..." kekeh Arya.
"Oh, kamu habis menyelesaikan kuliah disini, mau kembali ke Brussels?" tanya Riko.
"Nope. Aku mau ke China."
Riko terkejut. "Ngapain?"
"Aku sangat tertarik dengan pengobatan herbal dan teknik kedokteran China. Aku sedang mengajukan pindah kuliah disana. Cuma masih terbentur ijin visa..." jawab Arya serius.
"Beijing Tokyo jauh lebih dekat daripada Muenchen Tokyo" goda Riko.
"Kenapa, Riko ? Mau membuatkan aku sushi lagi?" kekeh Arya.
"Mmmm " jawab Riko sambil mengangguk.
"Jangan salahkan aku dan Ben kalau tahu kamu jago masak, kita bisa minta makan sama kamu terus ..." cengir Arya.
"Bring it on !" balas Riko sambil tertawa.
"Deal, dokter Ichida !"
***
Medical school Tokyo University
Ran mengejar Ben yang bersiap untuk pulang ke asramanya menggunakan sepeda. Seperti halnya dia bersekolah dulu di Swiss dan Jerman, Ben selalu menggunakan transportasi sepeda karena selain bebas polusi, sekalian berolahraga jika Ben tidak sempat ke tempat gym.
"Shah Rukh Khan !" teriak Ran memanggil Ben di parkiran sepeda.
Ben pun menoleh dan tersenyum ke arah Ran yang menghampiri dirinya.
"Ada apa Kapten Tsubasa ? Kamu mau ajak sepak bola? Sorry, aku tidak bawa sepatu bola ..." cengir Ben.
"Bukan itu Shah Rukh Khan. Aku mau tanya, apakah benar kamu merasa terjadi diskriminasi dan rasisme?" tanya Ran sambil menatap Ben yang lebih tinggi darinya.
Ran Tsubasa
"Menurutmu?" balas Ben. "Kamu kan salah satunya yang mengatakan aku orang asing?"
"Tapi kamu kan memang mahasiswa asing..."
"I know tapi sampai menolak bergabung atau diijinkan bergabung, apa itu bukan rasis?" Ben menatap dalam ke Ran. "Silahkan kamu pikir sendiri. Aku tidak masalah jika hanya berdua dengan Takeshi, toh kami bisa saling mengisi. Lagipula, bukankah semua dokter itu ego nya memang tinggi?"
Benoit Rao
"Maafkan kami..." ucap Ran.
"Tidak perlu minta maaf. Cukup kamu renungkan. Jika kamu berada di Brussels, atau negara lainnya yang tidak suka bangsa Asia, bagaimana rasanya. Bahkan jauh lebih menyakitkan!" balas Ben yang langsung mengambil sepedanya. "Sayonara."
Ran menatap Ben pergi dengan sepeda mahalnya dan dirinya merasa bersalah karena dia juga sudah bersikap rasis ke pria yang ternyata otaknya tidak kaleng-kaleng.
***
Yuhuuuu Up Sore Yaaaaaa
Thank you for reading and support author
Don't forget to like vote and
Tararengkyu ❤️🙂❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
ellyana imutz
huuuff blm knl maka t sayang ...kenali dl org ny br u bs menilai ny...cicit pratomo tu d luar nurul bin BMKG dr fisik .sifat dan otak ny...
2023-12-19
1
Yuli Budi
nyesel kan kapten Tsubasa
2023-12-17
1
Noey Aprilia
Yaahh....biasanya emng gt sih,kdng cma krna bda wrna kulit aja sring trjdi dskrimnasi....pdhl kl mau knl lbh dkt,pst tau dia orng yg baik dn mnyenangkn....
2023-12-16
1