Semalaman mataku tidak bisa tidur padahal besok pagi aku harus bekerja. Entah sudah berapa jam aku melamun sendiri tanpa kusadari ibu juga belum tidur dari tadi.
" Bu, tidurlah! Ini sudah larut malam biar bagaimanapun ibu harus menjaga kesehatan" ucapku .
" Ibu juga ingin istirahat nak. Tapi banyak sekali yang mengganggu pikiran. Hu hu hu" ucap ibu menangis.
" Apa yang membuat ibu terganggu, ceritalah bu jangan di pendam sendiri. Siapa tau dengan cerita pada Zahra bisa mengurangi beban pikiran ibu" jelasku berusaha meyakinkan ibu.
Ibu tidak menghiraukan ucapanku. Aku tau apa yang mengganggu pikiran ibu. Apalagi yang dipikirkan kalau bukan ayah yang selalu tidak peduli pada kami ditambah lagi saudara dari ayah yang selalu menghina kami sebab kami bukan dari orang yang terpandang.
Pagi pun tiba....
Semua barang tria sudah tertata rapi di depan rumah. Entah apa lagi yang ingin dilakukan anak itu. Masalah satu belum selesai tapi ada masalah baru lagi. Kenapa nasib kami begini tidak henti-hentinya masalah selalu saja datang menghampiri.
" Tria, ada apa ini? Kenapa semua barang kamu ada di depan rumah" tanyaku heran dan curiga dengan gerak-geriknya akhir-akhir ini.
" Maaf mba, aku sudah memutuskan untuk keluar dari rumah ini. Aku ingin ngekost dan bekerja' ucapnya santai.
" Tapi kenapa dek, apa kamu tidak betah dirumah ini sebab aku memarahimu yang selalu ingin melakukan sesuai yang kamu inginkan?"tanyaku merasa bersalah selama ini terlalu ikut campur urusan adikku.
" Aku tidak mau tinggal dirumah yang tidak pernah menganggapku ada mba. lihatlah keluarga kita mba, aku bukan tidak bersyukur masih punya keluarga yang lengkap tapi lihatlah ayah dia masih ada tapi kita semua kehilangan perannya" ucapnya lirih.
Aku paham dengan situasi saat ini. Ayah jarang berbicara dengan kami, bahkan untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai ayah dan suami juga tidak pernah. Dari kecil ibu selalu mengeluh dengan sikap ayah yang selalu membiarkan ibu bekerja seorang diri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan, ayah saat diberi saran hanya diam bagaikan patung Cendana dan pergi ke rumah nenek hingga berbulan-bulan tidak pulang. ya itulah kebiasaan ayah yang membuatku tidak ingin mengenal lebih dekat dengan pria manapun. Mengingat saat masih kecil ibu selalu saja marah-marah tanpa sebab yang jelas membuatku tidak menyukainya, hingga kini aku sudah memahami penderitaan ibu selama ini. Alasan satu-satunya, ibu tidak ingin kami kurang kasih sayang dari kedua orang tua.
"Maafkan aku ibu" ucapku dan hanya mampu ku ucapkan dalam hati.
Ku lihat ibu menangis terisak-isak di depan rumah. Sedangkan aku hanya mampu tertunduk malu. Aku bukan lagi anak-anak tapi Hingga saat ini aku belum bisa meringankan beban orang tuaku.
" Biarkan aku pergi Bu" ucap adikku mulai melangkahkan kaki meninggalkan pekarangan rumah.
Aku hanya bisa menyaksikan ibu berusaha menahan adikku agar tidak pergi meninggalkan rumah.
" Tria anakku, jangan pergi tidakkah kamu kasihan dengan ibu? Ibu baru merasa keluarga kita lengkap setelah kepulangan mba mu" ucap ibu memohon.
Hatiku sakit melihat ibu menangis terisak.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari yang ku alami saat ini. Aku tidak mampu melihat ibuku menangis dan merasa aku telah gagal membahagiakan ibu.
" Biarkan dia pergi , suatu saat nanti dia pasti akan kembali berkumpul dengan kita. Sejak kakak pergi merantau ke Malaysia, ibu selalu saja terlihat tidak bergairah. Biarkan semua yang terjadi, sekarang yang penting kita bisa selalu bersama ibu" ucap gina adikku yang bungsu.
Tidak henti-hentinya aku mencium ibu. aku tidak habis pikir bagaimana mungkin adikku yang masih remaja bisa berpikir jernih. Sedangkan, aku hanya menangis dan menangis meratapi nasib yang selalu tidak beruntung.
" Ayo sarapan bu. Aku akan selalu ada untuk ibu dan tidak akan pernah meninggalkan ibu meskipun dalam keadaan yang sulit sekalipun" ucapku pada ibu.
Saat ini aku hanya ingin selalu di dekat ibu.
" Makanlah nak dan segera pergi kerja. Jangan sampai telat dan membuatmu kehilangan pekerjaan. Mungkin nanti atau esok kita tidak bisa lagi berkumpul bersama seperti sebelumnya" ucap ibu membuatku dan gina menangis terisak-isak mendengar ucapan ibu.
" Jangan tinggalkan kami bu, kami masih membutuhkan ibu dan biarkan kami berbakti pada ibu" ucapku memohon penuh harap.
Makanan sederhana biasa yang menjadi makanan ternikmat, berbeda dengan situasi saat ini yang berubah terasa hambar. Entah sampai kapan airmata ini akan berhenti menagisi penderitaan yang tiada hentinya. Ingin sekali rasanya melihat ibuku tersenyum bahagia hingga akhir hayat.
*****
Sudah larut malam tapi entah kenapa mataku tidak bisa tidur. Banyak sekali yang mengganggu pikiranku saat ini. Semalaman mataku terjaga meratapi nasibku yang selalu tidak pernah sesuai dengan apa yang kuinginkan. Begitulah, takdir tidak ada yang tau apa yang terjadi hari ini, esok dan seterusnya kita sebagai makhluk yang paling sempurna hanya bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.
Kemarin rasanya sangat melelahkan dan pagi ini aku harus kembali bekerja. Hari ini aku merasa tenang meninggalkan ibu dirumah karena ada ayah yang menemani sekaligus akan menjaga adikku. Dengan ayah sendiri aku tidak paham, terkadang terlihat acuh tidak acuh pada kami, berbeda dengan hari ini yang terlihat lebih ramah dari biasanya.
" Pagi semuanya! Hari ini aku ingin pergi kerja lebih awal. Jangan kemana-mana dan tolong jaga ibu dan adikku yang nakal ini" ucapku sambil mencubit gemas pipi tembem adikku dan segera melangkah pergi meninggalkan rumah.
" Zahra! Kenapa pagi sekali datangnya" ucap Bu Siti heran.
" Iya bu. Saya sengaja datang pagi-pagi karena ingin minta maaf pada ibu. Beberapa hari ini saya bekerja selalu tidak fokus, seharusnya saya tidak berlarut-larut mikirin masalah dirumah hingga tempat kerja.
" Oh, itu. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kita sebagai manusia, selama kita masih berada di dunia ini pasti akan diuji dengan berbagai masalah. Bukan sebab kita tidak layak untuk bahagia, tapi kita diuji sesuai kemampuan kita. Allah menguji kita ingin melihat sejauh mana kita bersabar dan selalu bersyukur dengan apa yang kita hadapi" ucapnya mengingatkanku selama ini merasa paling tersakiti.
" Ayo kita sarapan dulu. Kamu datang sepagi ini pasti belum sarapan kan?" Ujar Bu Siti sembari tersenyum.
" Terima kasih Bu. Saya sudah sarapan dirumah tadi sebelum berangkat" ucapku berusaha menolak.
" Ayo. Jangan menolak rezeki" ucap beliau memaksa dan menarik tanganku untuk mengikutinya masuk rumah.
Mau tidak mau aku hanya mengikuti dari belakang . Wahh.. aku takjub dengan rumah bu Siti yang begitu mewah dan barang-barang yang tersusun rapi. Di meja makan sudah tertata berbagai macam menu memenuhi meja makan. Bebrbeda sekali dengan dirumahku, setiap hari hanya ada satu jenis makanan yang tersaji di meja. Biasanya kami makan dengan lauk yang sama dalam sehari dan bisa saja jadi lauk untuk keesokan harinya.
Aku disambut hangat oleh keluarga besar bos ku dan di persilahkan untuk duduk untuk memilih makanan yang diatas meja, aku jadi teringat dengan sikap keluarga dari ayahku. Sekalipun mereka tidak pernah bersikap baik padaku dan keluargaku. Mereka hanya akan bersikap baik pada orang yang memiliki harta yang melimpah ruah. Begitulah kehidupan sebaik apapun kita tidak akan terlihat baik ketika tidak memiliki apapun. Ku akui masih banyak orang baik tanpa harus mendapatkan imbalan dan itu hanya berlaku untuk orang hebat seperti Bu Siti yang suka menolong tanpa melihat status seseorang.
" Makan yang banyak Zahra" ucap bu Siti.
" Iya Bu " ucapku tersenyum malu.
Selesai sarapan bersama dengan yang lainnya, aku bergegas membantu ART bu siti untuk membereskan piring kotor di atas meja. Sebenarnya bu siti melarangku untuk melakukannya. Namun, aku tetap melakukannya. Nak, lakukanlah segalanya tanpa diperintah terlebih dahulu nasihat ibu yang selalu ku ingat kemanapun kaki melangkah.
" Bu sisa nasi dan lauk ini disimpan dimana? ucapku .
" Biasanya di buang. Dirumah ini, setiap makanan yang tersaji di atas meja adalah menu yang baru dimasak" ucapnya menjelaskan.
" Sayang, kalau dibuang bu. Mending saya bawa pulang" ucapku jujur.
" Nggak apa-apa nih bawa pulang nasi sisa?" Tanya ragu .
" Nggak apa-apa bu, daripada dibuang kan mubazir" ucapku jujur.
Selesai membersihkan piring yang kotor dan meja, Bu Siti pun segera membungkus nasi dan lauk untuk ku bawa pulang. Alhamdulillah rezeki hari ini dengan lauk ini aku bisa memberi keluargaku makan. Miris sekali, bahkan hanya untuk mengisi perut pun kami masih saja kesusahan. Bekerja bertahun-tahun diluar negeri tidak ada aset yang bertambah sungguh menyedihkan. Tapi, tak apa yang penting diberi kesehatan dan umur yang panjang itu lebih dari cukup. Aku harus bekerja lebih giat lagi untuk menyekolahkan adikku ke jenjang yang lebih tinggi. Setidaknya, aku tidak bisa menggapai cita-cita tapi adikku bisa menggapai cita-citanya untuk membungkam mulut orang-orang yang selalu menghina kami. Kami juga layak untuk bahagia dan dihargai selayaknya manusia.
" Bu, dek , ayah . Ini ada sarapan " ucapku bahagia.
Sengaja aku meminta dibungkuskan nasi dan lauk ini, agar keluargaku bisa makan . Sebenarnya, aku malu dengan tingkahku tapi mau bagaimana lagi. Rasanya tidak sanggup harus melihat keluargaku menangis kelaparan. Mau tidak mau aku harus menurunkan egoku, meskipun terlihat bagai pengemis.
" Ma kasih nak. Insyaallah setelah keadaan membaik, ayah akan mencoba bekerja lagi untuk membantu perekonomian keluarga kita" ucap ayah semangat.
" Biarlah aku saja yang bekerja yah. Ayah dirumah saja dengan ibu" ucapku.
" Nak, laki-laki adalah kepala rumah tangga,
sekaligus tulang punggung keluarga. Andai saja penglihatan ayah masih bagus seperti dulu, mungkin kamu tidak perlu bekerja banting tulang untuk keluarga" ucap ayah lirih.
" Untuk saat ini, yang terjadi biarlah terjadi. Lagian disini sangat sulit untuk dapat pekerjaan yang layak" jelasku.
Ayah pun mengalah dan tidak berdebat lagi denganku. Satu-satunya penghasilan di desa hanya dengan bertani. Itu pun kalau hasil panen memuaskan, kalau tidak terpaksa pinjam sana sini untuk bertahan hidup.
Baru saja memasuki tempatku kerja aku sudah dihadang mas dimas anak dari pemilik warung tempatku bekerja .
" Kamu membawa makanan dari rumahku?" Tanyanya tanpa basa basi.
Degh! Rasanya memalukan ditanya seperti ini. Aku bagaikan pencuri yang sedang di interogasi.
" I - i - iya mas. Sayang kalau dibuang. Lebih baik saya bawa pulang" jawabku gugup.
" Maaf" ucapku menunduk malu.
" Nama kamu siapa? " Tanyanya sembari tersenyum.
" Zahra mas" jawabku singkat.
" Panggil saja dimas. Sepertinya kita seusia" ucapnya mengulurkan tangannya.
" Zahra" ucapku sedikit menjauh. Biar bagaimanapun tidak seharusnya aku berdekatan dengan pria yang bukan mahramku . Berlama-lama berhadapan dengannya, rasanya jantungku berdetak lebih kencang. Aku segera bergegas meninggalkannya takutnya nanti malah jadi fitnah.
Dimas hanya tersenyum menanggapiku, aku pun izin pergi untuk melakukan pekerjaanku. Kulihat dia juga segera berangkat kerja atau kuliah dengan mobilnya. Entahlah dia pergi kemanapun aku tidak ingin mengetahui urusan orang lain yang bukan urusanku.
" Duh ada yang kemarin katanya tidak ingin mengenal pria nih. Eh pagi ini dah disapa aja sama ayang" goda Melisa .
" Kamu apaan sih" tanyaku tak suka.
Heh! Jangan ngegosip aja. Selesaikan pekerjaan kalian dengan baik. Kalian disini dibayar untuk bekerja bukan untuk menggoda pria disini. Dan kamu anak baru nggak usah keganjenan jadi perempuan" ucap Diana menegurku.
" Tuh kan, ada yang merasa kalah saing nih" ucap Melisa di telingaku.
Aku tak lagi menanggapi dua temanku yang sedang berdebat. Aku pergi meninggalkan mereka dan fokus melakukan pekerjaanku.
Adzan Dzuhur sudah berkumandang, pertanda kami harus meninggalkan pekerjaan dan segera beristirahat. Setelah jatah makan siangku diberikan, seperti biasanya aku bawa pulang untuk makan bersama dengan ibu.
" Zahra, kamu kok setiap jam makan siang tidak pernah keliatan?" Tanya Melisa heran
" Maaf Mel, setiap jam makan siang aku memang pulang ke rumah untuk makan bersama ibu" ucapku meninggalkan tempat kerja.
Sesampainya dirumah kudapati keluarga ku sedang makan siang.
". Eh mba, kebetulan nih kita lagi makan. Ayo kak gabung bareng kita" ucap adikku semangat.
Aku segera menghampiri ibu dan yang lainnya dan segera memakan jatah makan siang yang dibagikan hari ini. Meskipun tengah makan tapi tetap saja pikiran kemana-mana. Mengingat setiap hari keluargaku hanya makan menungguku pulang, tapi berbeda dengan hari ini.
" Dek, nasi ini dari mana?" Tanyaku penasaran
" Ouh itu. Tadi ada yang ngantar katanya teman mba" jawab Gina adikku.
" Teman? Tapi siapa ? Rasanya aku tidak punya teman dekat selain Melisa" ucapku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
Tanpa bertanya lagi, aku pun segera masuk kamar untuk melaksanakan ibadah Dzuhur. Selesai sholat aku kembali lagi ke tempat kerja
.
" Eh Zahra, tau nggak tadi saat kamu nggak ada. Dimas tanya-tanya tentang kamu" sapa Melisa temanku.
" Untuk apa ?" Tanyaku heran.
Aku dan Melisa segera melayani pembeli yang baru saja berkunjung.
" Menurutku wajar saja kalau banyak pria yang menyukaimu Zahra. Kamu itu anak yang baik dan kamu juga pantas bahagia. Aku juga mengakui selain wajah kamu yang cantik, kamu juga memiliki sifat yang rendah hati. Jauh berbeda dengan Diana yang judes suka bertindak semaunya. Dia memang cantik tapi sayang sekali sifatnya yang suka semena-mena terhadap orang lain yang membuat orang enggan untuk berteman dengannya.
Aku bersyukur bisa punya teman seperti Melisa. Aku tersenyum dan pergi meninggalkan Melisa agar berhenti membicarakan keburukan orang lain terlebih lagi dia adalah sepupunya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Agatha cute🤍
kasihan.....😭
2024-03-02
0
Atha Diyuta
mengsedih /Sob//Sob/
2023-12-31
0
Tinta Hitam
kalimat "kita semua kehilangan perannya" itu maksdnya gimana ya thor, aku gagal paham🤭
2023-12-10
0