PART 3

"Kau baik-baik saja?"

Reyasa yang baru saja merebahkan tubuhnya di sofa menoleh sekilas ke sumber suara. Ia mendapati Ibunya baru saja turun dari tangga bersama seorang laki-laki yang tak lain adalah ayahnya.

Kedua Ezard berambut putih itu memilih duduk di dekat sang anak bungsu.

"Kau terlihat lelah, Nak," ucap Ibu.

Pintu utama terbuka, menampilkan keempat saudara Reyasa. Mereka turut duduk di sofa yang ada di sana.

"Kau masih belum mempelajari materi yang disampaikan Bu Trisha pekan lalu, kenapa kau kabur, Reya?" tanya Matheo. "Kau bisa mendapat nilai kecil jika tidak belajar sekarang."

Reyasa hanya diam sembari menutup matanya.

Melihat itu, Azura turut berbicara. "Hey, bocah! Matheo sedang berbicara padamu," ujarnya.

"Sudahlah. Kalian sudah belajar terlalu keras," sahut Ayah. "Ini sudah malam. Sebaiknya, kalian istirahat. Kalian terlihat lelah."

"Kami harus berlatih malam ini," ucap Savian. "Besok ada test Pak Errol. Jika tidak lolos, kami tidak bisa ikut ujian pekan depan."

"Tapi ini sudah larut malam, Nak. Sebaiknya kalian istirahat. Kekuatan kalian tidak akan bisa digunakan secara maksimal, jika kalian kelelahan," timpal Ibu.

Keempat Ezard itu tampak saling berpandangan selama beberapa saat, lalu mengangguk. "Baiklah. Kami akan istirahat," final Matheo. "Tolong katakan pada Reya, dia harus belajar lebih keras karena dia sudah banyak sekali tertinggal."

Cih! Setiap akan ujian selalu itu yang dikatakan, batin Reyasa. Setelah urusanku selesai, akan kubakar tempat itu, lihat saja nanti ... hhh.

Setelah suara langkah kaki para Ezard itu menjauh, Reyasa segera membuka matanya dan bangkit. "Aku izin pergi," katanya.

Jason dan Helena---orang tua Reyasa---menatap sang anak bungsu dengan tatapan bingung. "Ke mana Reya? Ini sudah larut."

"Aku melupakan sesuatu di Ferezard," jawab Reyasa. "Aku akan pulang sebelum tengah malam."

Tanpa menunggu balasan dari orang tuanya, Reyasa segera berlari ke pintu utama, kemudian melebarkan sayapnya yang berwarna biru tua, warna yang sama dengan rambutnya.

"Pelan-pelan saja, bodoh! Kenapa buru-buru sekali?"

Reyasa yang tengah mengepakkan sayapnya dengan kecepatan penuh mendengus pelan mendengar suara itu. "Aku ingin segera tidur," jawabnya dengan nada ketus.

"Hhh ... sepertinya tidur adalah belahan jiwamu."

"Tentu saja," balas Reyasa. "Kehadiranmu membuat waktu tidurku berkurang."

"Kita sudah bersama sejak kau membuka mata dan melihat dunia. Jangan bertingkah seolah kita baru saja bertemu!"

Reyasa memutar bola mata jengah. "Dulu, aku tidak bisa apa-apa selain tidur, jadi aku tidak merasa direpotkan olehmu," katanya. "Sekarang aku sudah bisa melakukan banyak hal ... dan kau sering merepotkanku."

"Hhh ... anak ini! Terserah apa katamu saja. Aku tidak peduli."

Reyasa menghilangkan sayapnya, setelah ia tiba di Ferezard. Suasana sepi dan gelap membuat siapa pun tidak akan berani memasuki tempat itu. Namun, Reyasa bukanlah mahluk yang penakut. Jadi, dengan percaya diri ia berjalan memasuki gedung perpustakaan yang berada di tengah-tengah antara gedung Teamzard dan Individuzard.

"Gelap sekali, sialan!" gerutu Reyasa, kala matanya tidak dapat melihat apa pun di dalam gedung perpustakaan.

"Gunakan saja kekuatanmu, bodoh!"

"Ah, iya. Benar juga. Tumben sekali kau pintar." Reyasa segera menggunakan kekuatannya. Sebuah cahaya biru tua muncul dari tangan kanannya, membuat area sekitar menjadi terang. "Setelah ini aku harus tidur lebih lama, energiku terkuras."

"Tidak usah drama! Kau hanya menggunakan sebagian kecil kekuatanmu untuk mengeluarkan cahaya itu, sialan!"

"Tetap saja energiku terkuras," balas Reyasa.

"Aku sudah mengatakannya tadi. Kau bisa melakukan ini besok."

"Besok aku sibuk. Para Ezard itu pasti akan menyeretku untuk ikut belajar," ucap Reyasa.

"Mereka saudaramu, jika kau lupa."

Reyasa tak membalas. Ia memilih mengamati setiap rak buku yang menjulang tinggi, berusaha mencari sesuatu yang diperintahkan oleh pemilik suara tadi. "Kau bilang bukunya akan bercahaya di kegelapan," cetusnya.

"Memang benar, bukunya akan bercahaya di kegelapan. Aku melihat bukunya langsung saat di Vardzone."

Reyasa berdecak pelan. Tidak mungkin ia terus mengamati buku-buku di sana yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu. Benda-benda itu terlihat memuakkan saat seperti ini. "Seharian aku terus disuruh melihat buku, sekarang pun aku harus melakukannya lagi. Menyebalkan!"

Reyasa duduk kembali memunculkan sayapnya, kemudian terbang di antara rak buku. Tidak ada satu pun buku yang bercahaya. "Kau sungguh yakin bukunya di sini?"

"Sebenarnya tidak---"

"Hey, sialan! Lalu kenapa kita kemari? Kau saja tidak yakin bukunya ada di sini," ucap Reyasa, memotong perkataan dari suara tanpa wujud itu.

"Bisa kau dengarkan aku dulu?"

"Tidak," tolak Reyasa dengan cepat. "Sebentar lagi tengah malam dan aku harus pulang. Jadi, lupakan buku itu untuk malam ini, karena aku sudah sangat mengantuk."

"Ya sudah, terserah kau saja. Yang pasti, kau harus mendapatkan buku itu sebelum bulan merah muncul."

Reyasa mengepakkan sayapnya, kemudian berbalik ke arah pintu, hendak pulang. "Memangnya kapan bulan itu muncul?"

"Aku tidak tau pasti. Yang aku tau, kau lahir di hari yang sama dengan terjadinya bulan merah."

"Jika aku gagal mendapatkannya bagaimana?" tanya Reyasa.

"Maka aku akan terus bersamamu hingga sampai ke bulan merah selanjutnya."

"Maksudmu sepuluh ribu tahun lagi? Yang benar saja! Aku sudah lelah menampungmu, asal kau tau," balas Reyasa. "Lagi pula, kenapa kau harus seperti ini, sih? Merepotkan saja."

"Inilah akibatnya jika kau sering melewatkan kelas Theo. Kau tidak tau sejarahku, padahal aku sangat terkenal."

Reyasa berdecih pelan. "Ya, terima kasih atas kesombonganmu."

"Aku hanya mengatakan fakta."

***

"Dari mana saja kau?"

Reyasa yang tengah berjalan mengendap-endap hendak menaiki anak tangga seketika terdiam saat telinganya mendengar suara yang tak asing dari arah belakang.

"Ini sudah tengah malam. Dari mana saja?"

Reyasa berbalik, hingga berhadapan dengan pemilik suara dengan nada ketus itu, Azura. Melihat aura tak bersahabat dari perempuan berambut biru muda itu membuat Reyasa menelan ludah takut. "Aku ... mmm ... aku---"

"Dari mana?" ulang Azura dengan penuh penekanan disertai tangan yang bersidekap di dada. Matanya menyorot si bungsu dengan tajam. "Apa kau tuli?"

Reyasa tiba-tiba saja terisak, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Hal itu membuat Azura menghela napas berat.

"Aku hanya bertanya. Kenapa kau menangis?" ketus Azura. Namun, tangannya menarik Reyasa, kemudian memeluk dan mengusap lembut kepala sang adik.

Reyasa di dalam dekapan hanya tersenyum.

"Cih! Kau benar-benar pintar membuat drama."

Diamlah! Kau yang membuatku harus seperti ini, batin Reyasa.

"Besok pagi ada test Pak Errol. Kau harus segera tidur," ucap Azura. Kemudian, ia melepaskan pelukannya. "Tidurlah!"

Reyasa mengangguk singkat. Wajahnya masih ia tutupi, berusaha menghindari tatapan Azura. Dengan tergesa, ia berjalan menuju kamarnya yang memang di lantai dua, tepat di samping kamar orang tuanya.

Kamar Azura sendiri berada di bagian kiri lantai dua bersama kamar ketiga saudaranya. Hanya kamar Reyasa yang terletak di bagian kanan, dekat orang tuanya.

"Huh ... hampir saja." Reyasa merebahkan tubuhnya di ranjang. "Sayapku hampir patah mendengar nada bicara Azura."

"Apa hubungannya nada bicara Azura dengan sayapmu?"

Reyasa berdecak. "Itu hanya perumpamaan, karena aku sangat kaget," jelasnya. "Begitu saja tidak tau. Bodoh sekali."

"Bahasamu saja yang terlalu aneh."

Reyasa tak membalas. Ia memilih untuk segera tidur, karena seperti yang dikatakan Azura, besok adalah hari di mana test Errol akan dilaksanakan. Errol adalah salah satu guru yang ada di Ferezard. Dia menjadi guru yang mengajar tentang kekuatan para Ezard di kelas Teamzard.

"Kau sudah tidur?"

"Diamlah! Besok aku ada test," gumam Reyasa. "Biarkan aku selesaikan ujianku dulu, setelah itu aku akan membantumu."

"Ya, baiklah."

***

"Berani sekali kau mengikuti test ini. Memangnya kekuatan Ezard pemalas sepertimu bisa apa?"

Ini masih pagi. Sangat pagi. Bahkan, matahari saja baru menampakkan seperempat cahayanya. Namun, entah kenapa hidup Reyasa tidak pernah dibiarkan tenang saat di Ferezard.

Dengan disertai senyuman, Reyasa menatap seorang perempuan berambut kuning yang berdiri di hadapannya. Padahal, niat Reyasa berangkat pagi-pagi buta ke Ferezard adalah mencari ketenangan, tapi justru gangguan yang ia dapatkan. Bukan lagi gangguan dari laki-laki berambut hijau yang tidak ia ketahui namanya, sekarang gangguan datang dari perempuan berambut kuning yang tidak ia kenal.

"Kenapa tidak menjawab? Kau tidak bisa melakukan apa pun?" tanya perempuan berambut kuning dengan nada meremehkan. "Ujian tiga bulan lalu pun nilaimu lebih banyak ditanggung oleh kelompok. Seharusnya kau pergi dari sini. Tidak pantas Ezard sepertimu menjadi bagian Ezard kelas atas."

"Kenapa hanya diam? Lawan dia, brengsek!"

Malas sekali mengeluarkan tenagaku untuk melawan. Lagi pula, aku masih ingin tidur, jawab Reyasa dalam hati. Aku berangkat pagi karena ingin tidur di perpustakaan, tapi mahluk kuning satu ini malah menghalangi jalanku.

"Maka dari itu, cepat lawan dia!"

Jangan menghasutku! balas Reyasa masih dalam hati. "Dengar, ya, Nona Kuning. Aku tidak mengenalmu, jadi menyingkirlah, aku ingin tidur."

Perempuan berambut kuning tetap pada pendiriannya. Ia berdiri di hadapan Reyasa sembari bersidekap dada dan menampilkan ekspresi menantang. "Aku tidak akan pergi."

Reyasa menghela napas pelan. "Kenapa makhluk-makhluk aneh selalu menggangguku di sini? Huh ... sepertinya aku memang tidak perlu melakukan pendidikan," gumamnya.

"Bodoh!"

Reyasa tak mengindahkan suara yang hanya terdengar olehnya itu. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan lesu. "Aku benar-benar ingin tidur. Menyingkirlah dari hadapanku!"

"Tidak akan."

Lagi, Reyasa menghela napas. Ia berbalik arah, hendak ke gedung Onezard yang ada di samping kiri gedung tempat belajar Teamzard. Perempuan berambut kuning itu tidak akan bisa menghalanginya kali ini, karena hanya kelompok 1 yang bisa memasuki gedung itu.

"Kenapa tidak dari tadi saja kau kemari?"

Reyasa merebahkan tubuhnya di sofa. "Sebentar lagi para Ezard itu pasti akan datang dan menyuruhku belajar jika aku tidur di sini."

"Benar juga." balas suara tanpa wujud. "Tapi kau sudah membuang waktu dengan meladeni si kuning itu."

"Jika tenagaku sudah cukup, akan kuladeni siapa pun yang menggangguku," balas Reyasa. "Sekarang akan kubiarkan karena aku malas."

Belum lama matanya terpejam, beberapa suara mulai memasuki gendang telinganya. Itu suara saudaranya.

Padahal aku belum bermimpi sama sekali. Kenapa mereka sudah datang? batin Reyasa.

Matheo menggelengkan kepala pelan menyaksikan tingkah sang adik bungsu sekaligus teman sekelompoknya yang sering tertidur itu. Entah apa yang Reyasa lakukan, hingga ia selalu ingin beristirahat.

"Hey! Bangunlah! Kau harus berlatih," ucap Matheo sembari mengguncangkan tubuh Reyasa. "Semalam kau kabur sebelum selesai. Sekarang bangunlah, aku akan melatihmu."

Reyasa bangkit dari tidurnya dengan ekspresi kesal. "Aku lelah. Bisakah kalian membiarkanku tidur sejenak?" ujarnya. "Aku tidak akan bisa menggunakan kekuatanku secara maksimal, jika aku kelelahan."

Matheo menghela napas pelan. "Hhh ... baiklah. Kau bisa tidur sekarang. Nanti aku bangunkan saat waktunya test."

Mendengar hal itu, Reyasa langsung saja kembali berbaring dan berusaha mengarungi alam mimpinya.

"Kita berlatih sedikit di sini," ucap Matheo sembari mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di dekat Reyasa. "Biarkan Reya tidur sebentar untuk saat ini."

Ketiga Ezard lainnya turut mendudukkan tubuh masing-masing di sofa yang lain. Mereka mulai melaksanakan latihan mereka.

"Selain menentukan lulus atau tidaknya kita untuk menghadapi ujian, test kali ini juga akan menentukan apa elemen yang menyatu dengan kita," terang Matheo. "Untuk itu, kita harus fokus."

Cahaya berwarna jingga muncul dari telapak tangan Matheo, membentuk bulatan yang semakin lama semakin besar. Warna itu serupa dengan warna rambutnya. "Sekarang, bulatkan kekuatan kalian. Kita akan saling melemparkan kekuatan, lalu mengubah kekuatan itu menjadi kekuatan milik kita sendiri."

Cahaya dengan warna kuning, hijau, dan biru muda mulai mengisi ruangan itu. Matheo melemparkan bola kekuatannya pada Azura. Dengan sigap, Azura mengubahnya, yang semula berwarna jingga menjadi biru. Tak hanya itu, Azura juga melemparkan kekuatan miliknya pada Savian dan berlanjut terus menerus hingga beberapa saat. Mereka saling melempar kekuatan dan mengubah cahayanya menjadi warna milik mereka masing-masing.

"Hey, bodoh! Bangunlah! Kakakmu sedang berlatih, kau malah tidur."

Aku malas melakukan apa pun. Jadi, diamlah! Sebelum aku membuangmu ke laut, balas Reyasa. Lagi pula, tanpa berlatih pun aku akan tetap berada di posisi Onezard.

"Itu karena kakakmu berusaha lebih keras, hingga nilaimu tidak terlalu berpengaruh pada nilai kelompok."

Aku tau. Maka dari itu, aku harus menggunakan kesempatan yang ada untuk bermalas-malasan.

"Ya, terserahmu saja," balas suara tak berwujud dengan nada pasrah. "Aku jadi penasaran, kira-kira elemen apa yang akan menyatu denganmu."

Memangnya kau tidak tau? tanya Reyasa.

"Tentu saja tidak, bodoh! Kau pikir aku Tuhan?"

Santai saja. Aku hanya bertanya.

"Aku juga hanya menjawab."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!