Welcome back in my story...
“Apa Bi?” tanya Agatha.
“Eh gak, Non. Gak ada apa-apa, Non,” jawab Bi Momon.
Di dalam kamarnya, Agatha merenung dan membatin. Tatapannya nanar memandangi tembok kamarnya. Sungguh malang sekali nasibnya. Jika sang tembok dapat berbicara dan menangis, sudah pasti akan menangis bersama Agatha. Menangisi semua yang ada, menangisi semua yang telah terjadi dan berlalu.
Memang, kekayaan dan kesuksesan bukanlah hal untuk menjamin kebahagiaan, terlebih lagi cinta dan kasih sayang. Kasih sayang dan cinta dari orang tua, tidak dapat dibeli dan diukur dengan harta benda. Tidak dapat ditukar dengan uang atau pun emas berlian. Seperti yang Agatha rasakan saat ini, dia seperti bukan anak dari kedua orang tuanya. Dia merasa seperti orang asing yang terdampar di pulau yang tak berpenghuni barang seorang pun manusia. Sesibuk-sibuknya pekerjaan dan urusan lainnya, setidaknya luangkanlah sedikit waktu untuk keluarga, menciptakan kehangatan seperti yang terjalin sebelumnya, terlebih lagi Agatha adalah anak tunggal dari pasangan suami istri tersebut. Tak harus banyak sebenarnya, dengan waktu lima menit saja sudah cukup jika memang peduli dengan keluarga.
“Ah, masa bodo! Mana ada orang tua yang melupakan anaknya sendiri hanya demi pekerjaan dan kepentingannya, kecuali daddy dan mommy.” Batin Agatha berusaha membuang kesedihannya.
Orang tuanya adalah orang yang menurut anggapan dunia, adalah orang yang terbilang sukses dan berhasil di dalam usaha dan kerjanya, sehingga mereka sangat disegani oleh orang-orang di kotanya.
Mommy nya adalah seorang donatur serta motivator. Beliau juga adalah pendiri panti asuhan “Kasih Itu Berkat” yang menampung anak-anak yatim piatu, orang cacat (penyandang disabilitas), dan orang-orang yang bermasalah (pecandu obat-obatan terlarang).
Setiap hari, beliau selalu disibukan dengan kegiatannya di panti tersebut, terkadang pulang ke rumah jika sudah larut malam. Jika tidak menyibukkan diri di panti, beliau biasanya berkumpul dengan para wanita-wanita sosialita lainnya.
Memanglah sangat mulia niat dan perbuatannya. Bahkan perbuatan itu adalah suatu hal yang sangat patut untuk dicontoh dan dipuji bagi kebanyakan orang. Tetapi, alangkah baiknya utamakan dulu hal-hal yang menyangkut dengan keluarga. Bukankah keluarga adalah tempat untuk saling berbagi rasa? Atau, apakah makna keluarga yang sesungguhnya?
Tetapi tidak dengan kedua orang tua Agatha, mereka lebih mementingkan yang lain dibandingkan dengan keluarganya.
Agatha terduduk lemas di lantai kamarnya dengan tubuh bersandar pada badan ranjangnya. Ia merasa benci dengan sikap kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, hari ini saja tidak ada yang bisa mengantarnya ke sekolah. Yang ada malah berangkat dari rumah subuh sekali tanpa berpamitan sekalipun. Ia terkadang merasa iri dengan keharmonisan keluarga dari sahabat-sahabatnya.
Agatha teringat akan masa-masa indahnya dulu, yang mana dia dan kedua orang tuanya selalu beribadah bersama-sama ke Gereja setiap minggu pagi maupun sore, sarapan dan makan malam bersama, bahkan berlibur kemanapun yang ia mau. Tapi tidak dengan sekarang. Semuanya telah berubah seratus delapan puluh derajat bak dihantam gempa dengan kekuatan yang dahsyat. Kini ia merasa sunyi, sepi, dan sendirian.
Tanpa terasa bulir-bulir bening hangat membendung di manik matanya, perlahan mengalir membasahi pipinya. Betapa sepinya hidup ia saat ini. Ia rindu akan kehangatan keluarganya dulu. Ia menangis terisak-isak di dalam kamarnya.
“Apakah salahku ya Tuhan, sehingga kedua orang tuaku mengabaikan ku?” gumam Agatha di sela-sela isakan tangisnya.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.30. Akhirnya, Agatha merasa mengantuk setelah menangis, merenungi dan menangisi kisah hidupnya. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ranjang kesayangannya. Ia meraih bantal dan membekap mukanya dengan guling. Berperang dengan semua rasa yang ada hingga ia lupa belum makan malam, alhasil Agatha terlelap dengan melewati makan malamnya. Jika kebanyakan menangis, memang ada sebagian orang yang kehilangan selera makannya, mungkin itu juga yang Agatha rasakan saat ini.
🕊️🕊️🕊️
Pagi hari telah bersambut, Agatha terbangun lebih awal karena perutnya sudah menyanyikan lagu keroncong berulang-ulang.
Krak... kruk... krak... kruk. Kira-kira begitulah alunan lagunya. Lantas ia segera bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Setelah selesai berbenah diri dengan seragam dan kelengkapan sekolah lainnya, Agatha segera keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa karena sudah tak tahan ingin melahap makanan yang sudah duduk manis di atas meja makan.
“Eh, Non, selamat pagi. Bibi khawatir loh sama Non karena semalam Non gak turun makan malam,” sapa Bi Momon penuh kekhawatiran.
“Pagi juga, Bi. Udah, gak apa-apa. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Bi,” pungkas Agatha pada Bi Momon, lalu menarik kursi dan duduk di sana.
Agatha tau, Bi Momon sangat kasihan padanya. Bagaimanapun, hanyalah Bi Momon dan sopirnya lah yang peduli padanya saat ini.
“Yaudah. Non sarapan aja dulu ya. Bibi ke belakang sebentar,” ujar Bi Momon sembari berlalu dari hadapan Agatha.
“Iya, Bi. Terima kasih,” jawab Agatha singkat.
Di belakang, Bi Momon mengusap kedua pelupuk matanya yang terasa basah. Bagaimanapun, Bi Momon sangat kasihan pada Agatha.
Agatha menyantap sarapannya dengan sedikit rakus karena perutnya sama sekali tak diisi dengan sesuap nasi sedikitpun pada saat makan malam. Kini di pagi hari, ia seperti orang sesat yang kelaparan dan kehausan. Ia menghabiskan tiga potong roti bakar dan satu gelas susu hangat.
“Hm, kenyang,” ucapnya seraya mengelap mulut dengan selembar tissue, “Bi Momon, aku berangkat ya,” teriak Agatha ketika sarapannya selesai.
“Hahhh, siapa Non yang kumat?” tanya Bi Momon dengan sedikit mengeraskan suaranya.
Pendengaran Bi Momon yang salah sehingga membuat pertanyaannya menjadi aneh. Suara Agatha terdengar samar-samar karena Bi Momon sambil mencuci piring di wastafel. Bi Momon segera bergegas menuju ke meja makan. Di sana, Bi Momon mendapati Agatha yang sudah berkacak pinggang. Bi Momon baginya selalu membuat tingkah aneh.
“Ada apa, Non?” tanyanya, “siapa yang kumat?” sambung Bi Momon lagi.
“Astaganaga, Bi. Yang bilang kumat siapa sih? Aku bilang mau berangkat, bukan kumat!” dengus Agatha sambil menepuk jidatnya.
“Ooohhh berangkat. Iya, Non, hati-hati ya. Jitak aja Mang judas kalau-kalau dia sembrono ya!” jawab Bi Momon santai dengan nada memerintah.
“Tau ah. Bi Momon selalu aja bikin kesel.” Agatha berlalu pergi meninggalkan Bi Momon di meja makan.
Sepeninggalan Agatha, Bi Momon segera membereskan meja makan yang sedikit berantakan karena majikan kecilnya. Alangkah terkejutnya Bi Momon ketika melihat roti bakar yang masih tersisa dua potong saja di piring.
“Ee busetttttt! Banyak amat roti yang Non makan yak?” ucapnya, “jadi laper deh liat rotinya,” tambahnya lagi seraya mengambil roti bakar dari piring, lalu mengarahkan roti itu ke mulutnya untuk disantap.
Selesai menyantap roti itu, Bi Momon mengingat-ingat perkataan Agatha yang mengatakan bahwa dirinya selalu membuat nona kecil itu kesal.
“Aduh, kenapa ini mulut santai sekali ngejawabnya yak?” Bi Momon bergumam sendiri sambil menutup mulutnya.
Dukung terus ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀⸙ᵍᵏ
kalo liat komene ini karya taun 2020
lahhh sekarang taun berapa???
2023-01-06
1
ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀⸙ᵍᵏ
masih ada bibi mimomom yg nemenin 🥺🥺🥺 kadang orang tua sibuk kerja juga demi anak-anak...
2023-01-06
1
bi Momon latahan🤣🤣,
org bilang berangkat dia kira kumat jauh bner dahh🤣🤣
2023-01-06
1