Kecanggungan terjadi di ruang kerja Nash. Ruangan yang berukuran 30m² itu di penuhi orang. Pavo, tetap berjaga di pintu sedangkan Callisto mulai berjalan menduduki kursi yang tersedia. Seiren dan Rigel berpandangan dan terdiam. Kaku di tempat. Hanya Nash dan Keiyona saja yang menghampiri Callisto.
"Kalian berdua, duduklah." Tegur Callisto dengan suaranya yang berat.
Mereka berdua segera bergerak kaku dan duduk di samping Nash. Sedangkan Seiren berdiri di samping Rigel dengan tangan basah bergerak memelintir roknya.
"Dengarkan! Jika pembicaraan di ruangan ini sampai bocor, maka nyawa kalianlah taruhannya." Seiren dan Rigel mengangguk bagai mainan pada dashboard mobil yang bergerak karena guncangan.
"Kau telah mengambil keputusan Mr. Nash?"
"Dadda, tidak bisa seenaknya. Ingat, ulang tahunku masih beberapa hari lagi," protes Keiyona.
"Kei...."
"Dadda, tidak menepati janji," Keiyona mengomeli sang ayah tanpa rasa ragu walau di hadapan banyak orang.
"Tapi apa bedanya sekarang dan beberapa hari?"
"Beda, Nash akan berpikir dua sampai 3 kali lipat lebih matang ketimbang di todong sekarang. Benar kan?" Keiyona menoleh ke arah Nash, memintanya untuk memperkuat pendapatnya.
"Omong kosong, sebuah pemikiran yang konyol. Percayalah jawabannya akan sama."
"Dadda sok tahu!" Keiyona mencibirnya.
"Dadda tahu segalanya, Kei hanya bocah ingusan yang sok," timpal Callisto tidak mau kalah dari putrinya.
"Dadda menyebalkan."
"Cukup!" Teriak Nash menengahi keributan di antara ayah dan putrinya.
"Benarkah kau seorang Callisto yang tersohor menikam musuhnya?" Tanya Rigel telah sadar dari kekagetannya betapa kekanakannya seorang Callisto di hadapan putrinya. Dan putrinya, tidak terlihat sebagai pewaris klan Meadow yang terkenal sadis ketika berada di kasino.
Nash memelototi temannya itu, agar menutup mulutnya dan tidak mencampuri urusannya. Sedangkan Callisto dengan sorot matanya menyadarkan Rigel agar bertindaklah sebagai penonton, jangan melewati batas.
"Maaf, silahkan lanjutkan. Kami berdua ini anggaplah patung," Rigel pasrah.
"Benar kata putri anda, aku butuh waktu berpikir. Dan kesepakatan kita ketika ulang tahunnya," Nash berkata santai. Rigel menarik bajunya dan mendekatkan bibir ke telinganya.
"Sebaiknya tarik ucapanmu sebelum bisnismu kembali hancur," bisik Rigel.
Nash menghadapnya, dan menggedikkan bahu. "Aku tidak peduli."
"Aku tidak terima penolakan jika begitu." Callisto memperingatkan Nash dengan tatapannya.
"Dadda, itu tidak adil," Keiyona tetap memprotesnya.
"Bagiku adil. Aku meminta jawaban sekarang tapi ia mengundurnya. Betul kan!" Callisto menggedikkan dagunya.
"Anda licik seperti biasanya!" Nash tak segan menyindirnya. Kedua penonton tersebut membelalakan matanya.
"Karenanya klan Meadow bertahan hingga kini."
"Aku tidak memuji," Nash membalasnya.
"Tidak butuh pujianmu, ketika kau lahir aku sudah menakkukan puluhan kasino."
"Hah!" Nash berseru. Antara kaget dan kagum.
"Tidak usah takjub. Aku mengetahui kehebatanku."
"Lantas kapan menaklukkan Blackthorn?" Seketika Callisto terdiam.
Keiyona segera menyikut Nash. Memelototinya, Nash acuh akan sikapnya hingga ia menginjak sepatu Nash dengan heelsnya yang bisa di bilang menyebabkan Nash meringis.
"Kau...." Keiyona memotong ucapan Nash.
"Jaga mulutmu bila kau tidak mengetahui apapun."
"Baik wanita culun," Nash mengejeknya..
"Kau notaris serampangan," balas Keiyona.
"Apa!"
"Kalian pacaran?" Rigel menyambung obrolan kami.
"Mana mungkin!" Jawab mereka berbarengan.
"Hanya bertanya." Rigel bertanya sembari tersenyum curiga.
"Temanmu butuh kelas etika," Keiyona menyarankan.
"Dan kau butuh kelas feminisme." Nash melirik fashion yang dikenakannya sangat ketinggalan zaman.
"Aku tidak butuh. Kau yang membutuhkan kelas agar menjaga omonganmu."
"Kalian serasi!" Callisto berkomentar di tengah panasnya perang mulut Nash dan Keiyona.
"Dadda!" Sentak Keiyona.
"Terima kasih tapi saat ini, aku menolaknya."
Callisto tertawa keras, mulutnya sampai terbuka lebar, tubuhnya yang besar bergetar. Ia menikmati ocehan diantara mereka. Dalam hatinya senang, bisa melihat putrinya berinteraksi tanpa canggung.
Pria pilihanmu luar biasa sayang, dadda harap kau bisa menaklukannya.
"Kalian menghiburku, setelah sekian lama aku tidak tertawa. Sebaiknya kalian menikah saja. Itu ide yang menarik, benar 'kan?" Callisto mengedipkan mata ke arah Rigel.
"Ya." Rigel menyahut dengan semangat, kemudian mengunci kembali mulutnya setelah 3 pasang mata menatapnya. Seiren, Pavo, dan Callisto.
Keiyona dan Nash segera menolah ke arah Rigel. Tatapan membunuh keduanya berhasil menyebabkan Rigel menundukkan kepalanya, walau mulutnya sering menimpali tapi nyalinya seciut semut.
"Tidak ada pernikahan, tidak ada pengasuhan. Semua tawaranmu aku menolaknya dengan tegas. Jadi silahkan tinggalkan kantorku dan jangan pernah kembali," Nash menolaknya sekali lagi.
"Kau yakin menolaknya, ia adalah kenalan..."
"Dadda!"
Dengan sigap Keiyona menghampiri Callisto dan membekap mulutnya dengan tangannya. Pavo hendak beranjak, namun ujung mata Keiyona segera meliriknya tajam dan memberikan perintah.
Nash, Rigel dan Seiren menganga melihat aksinya yang sekejap mata tersebut.
"Jangan berani membantu paman Pavo."
"Dadda, itu adalah rahasia. Jangan pernah sekalipun memberitahukannya." Setelah berbisik dan Callisto mengerti akan maksudnya, Keiyona baru melepaskannya dan duduk kembali dengan tenang seolah tidak terjadi apapun.
"Kau menyebabkan ayahmu kehabisan napas," Nash memarahinya.
"Dan apa pedulimu," Keiyona membalasnya dengan sinis.
"Wanita barbar!"
"Pria plinplan!"
"Lihatlah mereka serasi, saling melengkapi." Rigel menoleh pada Callisto meminta perlindungan ketika ia berkomentar.
"Rigel," panggil Nash dan Keiyona berbarengan. Mereka terkejut akan kekompakannya dan saling bertatapan. Sebelum akhirnya Keiyona menambahkan.
"Beritahu temanmu agar menutup mulutnya, sebelum aku membantingnya."
"Tidak usah kau lakukan, aku bisa melakukannya sendiri." Nash tidak mau kalah mengancamnya, Rigel menelan ludahnya mendengar mereka saling melontarkan ancaman dengan santainya.
Kriing... Kriing....
Telepon berdering menghentikan semua obrolan yang sedang terjadi.
"Seiren! Angkat teleponnya," perintah Nash.
"Pengeras suara!" Callisto menambahkan.
"Mengapa?"
"Pavo!" Setelah tuannya memberikan perintah, Pavo berjalan dan melongok ke jendela. Ia menggunakan bahasa isyarat tangan yang di mengerti Callisto dan Keiyona.
"Angkat menggunakan pengeras suara, maka kau akan mengetahuinya," Callisto memberikan perintahnya sekali lagi. Perkataannya itu jelas tidak menerima penolakan.
Nash menganggukkan kepalanya kepada Seiren, mendadak suasana berganti tegang. Nash akan beranjak dari duduknya, tapi tangan Keiyona menahannya dan ia menambahkan dengan menggelengkan kepalanya.
Seiren menarik napas dalam dan menghembuskan napasnya perlahan. Mengatur nada suaranya sebelum menekan tombol telepon.
"De Jure, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku hanya perlu bicara dengan atasanmu!" Jawab suara di ujung sana. Suara khas yang serak namun syarat penekanan di setiap katanya.
"Dengan siapa saya bicara?" Seiren berusaha menjaga nada suaraanya agar tidak goyah.
"Blackthorn, Lucius Blackthorn. Kau tahu kan siapa aku."
Sejenak Seiren membeku mendengar nama lain yang di takuti di Carleon Metropolis. Nash datang mendekati dan memberikan senyumannya, berharap bisa meredakan kepanikannya.
"Akan saya hubungkan!" Akhirnya Seiren bisa mengucapkan kalimatnya.
Callisto menganggukkan kepalanya. Menyuruh Nash menjawab. Ia pun bergabung dengannya.
"Nash Orlando!" Suaranya dalam dan penuh percaya diri. Keiyona yang berada jauh darinya merasakan bahwa suaranya saja bisa membuat detak jantungnya melonjak.
"Meadow! Mereka menemuimu?" Lucius bertanya tanpa basa-basi.
"Ya. Sekarangpun masih ada."
"Untuk apa?"
"Mengurus surat-surat tentu saja." Callisto menjawabnya sendiri. Kekehan halus terdengar dari ujung telepon.
"Kau mencariku Lucius! Singkirkan mobil yang membuntutiku. Jika kau butuh bicara denganku maka datanglah." Callisto mengancam yang menghentikan kekehan di ujung telepon.
"Tentu. Tapi bukan saat ini." Telepon di putus begitu saja.
"Pavo, bagaimana?" Callisto bertanya ingin mengetahui mobil yang mengikutinya.
"Mereka telah pergi."
"Kau tidak bisa pulang sayang," ujar Callisto. Raut kesedihan sekilas tampak di wajahnya. Ia berjalan kembali ke kursinya.
"Jadi sudah terbongkar?"
"Belum semuanya. Kau masih bisa bermain di kafemu, tapi kau tidak bisa pulang."
"Apartemen?" Keiyona menyarankan.
"Terlalu mudah di akses. Tidak ada yang 100% menjamin keamananmu. Kecuali...." Callisto melirik Nash.
"Wow... Tidak!" Nash menyahut cepat. Menolak apapun yang ada di pikiran Callisto.
"Aku belum mengatakan apapun!" Callisto membela dirinya dari tatapan Nash yang menuduhnya.
"Aku tahu pikiranmu. Kau memintaku menampungnya bukan!" Nash meliriknya tajam, Callisto mengalihkan pandangan pada Rigel, mencari sekutu baru.
"Bagaimana pendapatmu Rigel?" Callisto bertanya.
"Tempat yang aman." Rigel menambahkan dan mendapat isyarat kematian dari Nash serta Keiyona.
"Setuju!" Callisto menjawabnya sembari tersenyum jahil.
"Dadda sudah kehilangan kewarasan. Aku bisa tinggal sendiri, hotel untuk sementara. Atau di kasino tempat lebih aman."
"Sayang, keduanya malah mengundang Lucius."
"Lucius tidak mengenalku."
"Ia mengenalmu." Keiyona terkejut. Begitu pula dengan Nash. Rigel dan Seiren tidak mau berkomentar, tapi ekspresinya jelas mengatakan segalanya.
"Kapan?" Keiyona bertanya.
"Pavo!"
Bawahan Callisto bergerak mendekati mereka dengan membawa sesuatu di tangannya.
"Seseorang mengirim ini." Pavo meletakkan beberapa foto Keiyona ketika berada di kasino.
Foto Keiyona menggenakan seragam Stardust Cassino. Kasino terbesar di Carleon Metropolis. Potret tersebut di ambil ketika Keiyona menjadi dealer * pada permainan blackjack**.
Pakaian rapih, polesan riasan tipis, rambut di gelung, kaca mata tidak bertengker di wajahnya, sungguh potret yang berbeda di bandingkan dirinya kini.
Rigel mengambil foto tersebut, memperhatikan Keiyona dari atas ke bawah kemudian ia bersiul dan berkata, "Bagai bumi dan langit."
Nash kembali memelototinya dan hawa membunuhnya kembali membungkam Rigel. Entah mengapa temannya tersebut hari ini begitu aktif berbicara.
"Foto ini datang berikut surat ancaman. Kei, kau tidak bisa pulang. Dadda juga tidak bisa menyuruh salah satu pengawal untuk mengawasimu. Maka kaulah satu-satunya harapanku untuk menjaganya. Aku tulus memohon bantuanku!" Callisto menatap Nash.
Tatapan yang diperlihatkan Callisto bukan sebagai seorang pimpinan klan Meadow, tapi tatapan sayang seorang ayah, menyebabkan Nash bimbang.
....•♫•♬•.•♫•♬••♬•♫•.♬•♫•....
* (bertanggung jawab mengoperasikan permainan meja di kasino)
** (permainan kartu dimana pemain harus memiliki kartu lebih tinggi dari dealer tanpa melebihi angka 21).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments