Dalam diamnya Ghadira terus dibayangi oleh wajah Papanya tadi. Ghadira yakin, sangat yakin jika pria tersebut adalah Bagas. Ghadira memandangi langit yang kian mendung dan bersiap menurunkan tangisan semesta.
Sudah hampir satu tahun lebih ia dan Papanya tidak bertemu, tapi sekalinya bertemu, Bagas sama sekali tak mengenali Ghadira dan menganggap Ghadira sebagai orang asing.
Buliran air itu pun perlahan berjatuhan membasahi wajah Ghadira yang sedang menangis. Biarkan saja, agar orang-orang tidak tau jika dirinya tengah menangis. Menangisi hidupnya yang benar-benar menyedihkan.
Kini, awan hitam semakin menampung, hingga butiran air pun sudah tak bisa tertahan lagi. Menetes sedikit demi sedikit, hingga mengalir deras sampai ke dalam lubuk hati.
Pikiran Ghadira mulai berkecamuk memikirkan apa yang sudah terjadi. Angan Ghadira selalu tertuju pada pria itu, hingga memori-memori tentang mereka berdua dahulu kembali berputar dengan jelas.
Senyumnya yang terpatri, perkataan yang lembut, dan tatapan kasih sayangnya membuat Ghadira rindu akan hal itu. Ghadira ingin mendengar dan menyaksikan itu kembali, sebelum dirinya benar-benar pergi dari dunia.
Papa, engkau adalah satria tak berkuda.
Satria terhebat yang selalu membantuku.
Pangeran dan lelaki pertamaku.
Dan sang penolong disetiap aku terjatuh.
(◕ᴥ◕)
Kala kerlip lilin di malam yang sunyi dan dingin ini. Mata Ghazwan terpejam, dan berharap akan segera terbang ke alam mimpi secepatnya. Namun, nyatanya tidak. Pikirannya selalu tertuju pada Ghadira yang sedari tadi tak ia temui di sekolah.
Ponsel milik perempuan itu pun juga tidak aktif, dan kata sahabatnya —Mauren, ia tidak tau dimana keberadaan Ghadira. Sebab, Ghadira tak memberikan kabar oleh guru, ataupun ketua kelas jika dirinya tidak akan hadir ke sekolah.
Ghazwan bangkit dari tidurnya dengan hati-hati, dan menggunakan ponselnya sebagai penerangan. Rumah mereka mengalami mati lampu, mungkin karena korslet akibat hujan yang tak hentinya mereda.
Ghazwan membuka benda pipih yang berukuran lebar itu sambil menggunakan kacamatanya. Tiba-tiba saja Ghazwan teringat dengan perempuan pemilik lesung pipi dan berponi, yang selalu saja bergelandangan di pikirannya.
Ghadira
Biarkan aku terus mengingatmu.
Agar diriku tetap bahagia selalu.
Biarkan aku menuliskanmu dalam ceritaku.
Agar kau bisa abadi dalam lembar tulisanku.
Hadirmu selalu menjadi penyemangat hidupku.
Menjadi lentera, saat aku dilenyapkan oleh kegelapan
Aksara ini hanya kupersembahkan untukmu seorang.
Sebab, kau hanya tercipta satu dari banyaknya manusia di dunia.
Seiring waktu merangkak jauh.
Tak terasa aku sudah cukup lama mengenalmu.
Meyakinkan diri untuk mengutarakan perasaanku padamu adalah pilihan yang salah.
Sebab, tugasku hanya bisa mengangumi dari jauh.
(◕ᴥ◕)
Entah sudah berapa hari Sandy menginap di Apartemen Leo-sahabatnya. Tetapi, ia merasa lebih baik dan tenang berada di sini daripada di rumahnya. Sandy benar-benar muak melihat dua orang itu, dan memutuskan untuk tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana sebelum mereka pergi.
"Lo mau?" tawar Leo sambil menyerahkan segelas bir pada Sandy.
Tanpa menolaknya lagi, Sandy pun menerima gelas tersebut dan meneguknya beberapa kali. Ini bukan pertama kalinya bagi Sandy, setiap ia mempunyai banyak masalah, ia akan melampiaskan semuanya dengan meminum bir.
"Gimana? Nambah lagi?" Leo kembali berucap ketika melihat gelas milik Sandy telah habis.
Sandy mengangguk dengan menyandarkan tubuhnya pada sofa. Kepalanya terasa pening dan kesadarannya juga mulai hilang.
"Lo kalo punya masalah cerita sama gue, bukannya dipendem sendiri. Kita berdua kan udah sahabatan dari SMA, dan gue juga udah nganggep lo kayak adik gue sendiri." Leo kemudian memberikan segelas bir lagi kepada sahabatnya.
Sandy terdengar menghela napasnya kasar. "Gue muak sama mereka. Gue benci bokap gue, gue benci ****** itu. Dan orang yang dulunya paling gue sayang pun, sekarang gue benci juga."
Leo hanya mengangguk-ngangguk kecil mendengarnya. Ini bukan kali pertamanya Sandy seperti ini. Karna, setiap kali Sandy adalah masalah ia akan datang ke Apartemen milik Leo dan menginap. Leo sendiri tidak masalah dengan itu, sebab ia sudah menganggap Sandy seperti adik kandungnya.
Terlebih lagi Sandy sudah sangat banyak membantu Leo, ketika Leo sedang ada masalah keuangan.
"Lo masih belum izinin Om Alex buat nikah lagi?"
Sandy menolehkan kepalanya melirik ke arah Leo dengan tersenyum miring. "Sampai kapan pun, gue gak bakal izinin mereka nikah. Gak boleh ada yang gantiin posisi nyokap gue ... selamanya."
"Permasalahannya cuma itu?" tanya Leo sedikit penasaran. Tatapannya tak lepas dari Sandy yang sudah mabuk berat, akibat bir yang diminumnya.
Sandy menyeka rambutnya ke belakang, dengan posisi yang sudah terbaring di sofa. "Ada lagi. Lo tau kan status gue sama Lauri sekarang apa?"
"Tau. Lo berdua jadian kan?"
"Lauri, adalah anak dari ****** yang udah deketin bokap gue. Dan gue juga baru tau kemarin, kalo ****** itu hamil anak bokap gue." Sandy berucap dengan mata yang terpejam dan tangan yang terus memukuli sofa.
"Ini kan masalahnya ada di bokap lo, sama perempuan itu. Tapi, kenapa lo lampiasin juga ke Lauri? Menurut gue sih, dia gak ada salah apa-apa. Gak seharusnya lo marah ke dia."
Sandy merubah posisi ternyamannya menjadi tengkurap. Mata Sandy masih terpejam, namun mulutnya masih tetap mengoceh tak jelas.
"Gue tau. Tapi, tetep aja gue bakal benci sama siapa pun yang punya hubungan sama ****** itu. Karna, bagi gue dia cuma ngincer harta keluarga gue doang. Nanti juga, kalo bokap gue udah miskin atau udah gak ada, dia pasti bakal pergi ninggalin gue." Sandy berucap dengan sangat cepat, hingga membuat Leo sedikit sulit untuk memahaminya.
"Bukan cuma itu. Gue juga gak mau Lauri jadi saudara tiri gue. Kita cocoknya jadi suami istri, bukan kakak adik," sambungnya.
Leo menggelengkan kepalanya tak habis pikir, ketika tau isi pikiran dari sahabatnya itu. "Mau lo sama Lauri nantinya saudara'an, tapi kalian masih bisa nikah. Kan cuma saudara tiri, bukan saudara kandung."
Sandy tak membalas, membuat Leo penasaran dan langsung mengecek sahabatnya itu yang ternyata sudah tertidur pulas.
(◕ᴥ◕)
Bagas terlihat sedang sibuk membersihkan mobil itu dengan tergesa-gesa, sebab sebentar lagi ia akan mengantar anak perempuan dari majikannya ke sekolah. Ini sudah menjadi pekerjaan Bagas sejak dua tahun lalu, saat ia mengalami kebangkrutan akibat ditipu oleh rekan kerja sendiri.
"Lama banget sih? Udah telat nih saya!"
Bagas tersentak kaget, kala melihat majikannya datang dengan suara yang lantang.
"Maaf, Non Dara. Tunggu sebentar ya, ini sudah mau selesai."
Dara berdecak kesal. "Buruan!"
Tak lama ia mengatakan itu, Sabina kemudian datang dengan sedikit berlari.
"Sudah selesai. Mari Non, silakan masuk." Bagas segera membukakan pintu mobil untuk kedua kakak beradik itu.
•
•
•
Setelah berjam-jam proses belajar mengajar dilaksanakan, bel istirahat pun berbunyi dengan nyaring. Dara terus memperhatikan tempat duduk Ghadira yang kosong. Lantas, ia pun menghampiri Mauren dan bertanya di mana keberadaan Ghadira.
"Temen lo kemana?" tanya Dara dengan wajah galaknya.
Mauren yang tadinya tengah membereskan buku-bukunya pun, langsung terkejut dengan kedatangan Dara. "G-gue juga gak tau, Lauri kemana."
"Jangan bohong!" bentaknya, membuat semua murid yang ada di kelas langsung menatap mereka.
"Gue gak bohong. L-lauri emang gak ngasih gue kabar apa pun dari kemarin. Kalo gak percaya, cek aja hp gue." Dengan berani Mauren menyerahkan ponselnya pada Dara.
Tanpa berlama-lama pun Dara langsung mengambil ponsel tersebut, dan mulai mencari nomor atau chat dari Ghadira. Setelah lama mencari, Dara tak menemukan apa pun. Ia kemudian memberikan kembali ponsel itu ke pemiliknya.
Saat Mauren hendak meraihnya, Dara malah menariknya kembali, dan membuat Mauren mengerutkan keningnya bingung.
"Eitss, gue belum selesai." Dara terlihat sedang mengetik sesuatu dari benda pipih itu.
"Lo ngapain?" tanya Mauren berusaha melihat apa yang dilakukan oleh Dara.
"Gue cuma mau main-main bentar sama sahabat lo. Atau ... kalo lo penasaran dan mau ikutan, lo boleh kok datang ke gudang sekolah nanti malam." Dara tersenyum sinis, lalu pergi dari hadapan Mauren.
Merasa ada yang janggal, Mauren pun mengecek ponselnya, namun tidak ada yang salah. Semuanya terlihat seperti biasa. Tapi, apa yang dilakukan oleh Dara tadi? Dan ... Dara juga menyuruhnya untuk datang ke gudang sekolah malam ini.
Di sisi lain Ghadira berada di dalam kamar seharian penuh, karna merasa tubuhnya terasa sangat lemas. Mungkin ini karna ia kehujanan kemarin.
Ting!
Ghadira meraih ponselnya yang terletak di atas nakas, dengan sekuat tenaga. Melihat jika yang mengiriminya pesan adalah Mauren, ia pun segera membukanya.
_Nanti malam lo dateng ke gudang sekolah
_Ini penting banget soalnya
_Gue tadi diancem sama Dara dan temen-temennya
_Please, lo dateng. Kalo enggak, gue bakal abis sama mereka
Ghadira membelalakkan matanya, saat selesai membaca pesan dari Mauren yang sedang meminta bantuan padanya. Ia pun langsung menelpon sahabatnya, namun nihil, nomor Mauren tak aktif. Ghadira langsung dibuat cemas, ia pun bangkit dari kasurnya.
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments