Suasana pagi Ghadira disambut dengan tangisan semesta yang sepanjang malam turun dengan derasnya. Ghadira melirik ke arah jam dinding, dan membelalakkan matanya kala melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Saat hendak bangkit dari kasur, tiba-tiba Ghadira merasa kepalanya terasa pusing.
Ghadira menahan tubuhnya agar tidak oleng, Tangannya terus berusaha menjangkau kursi roda yang terletak di samping kasur. Setelah berhasil meraihnya, dengan hati-hati Ghadira mendudukkan dirinya di kursi roda itu.
Hampir 10 menitan Ghadira bersiap-siap, ia pun keluar dari kamar dan pergi ke meja makan. Dapat ia lihat sudah ada Lira dan juga Fia di sana. Ghadira mengambil roti dan mulai mengolesinya.
"Mama, kenapa gak bangunin aku? Kalau aku telat gimana?"
Fia yang tengah sibuk bermain hp dengan mulut mengunyah itu pun langsung menatap ke arah Ghadira. "Udah SMA masih aja mau dibangunin orang tua. Kamu harusnya contoh adik kamu, Lira. Dia anaknya on time, gak kayak kamu suka telat."
Ghadira hanya mendengus tak suka. Hal yang paling ia benci ialah ketika dirinya dibanding-bandingkan, terlebih lagi jika itu dengan saudara sendiri. Rasanya muak!
Lira hanya memandangi sang kakak dengan perasaan tak enak. Dengan sopan ia pun menyodorkan segelas susu pada Ghadira.
"Lira, Mama udah mau berangkat. Kamu agak cepet makannya, nanti terlambat." Lira menganggukkan kepalanya.
Sekarang Lira sudah kelas 1 SMP, dan setiap harinya dia diantar oleh sang Mama ke sekolah karna kebetulan tempat kerja Fia dan sekolah Lira se-arah.
Selesai makan dan berpamitan pada Fia, Ghadira pun menelpon Sandy agar laki-laki itu bisa menjemputnya lebih cepat. Berkali-kali Ghadira menelpon, tapi tak ada respon. Ia pun memutuskan untuk berangkat sendiri saja, seperti saat dia masih SMP dulu.
Ghadira ingin berangkat bersama Fia dan juga Lira, tapi sayang bagaimana caranya? Mereka pergi dengan hanya naik motor, sedangkan Ghadira tak mungkin naik motor juga. Naik mobil saja sudah repot karna dirinya harus diangkat, apalagi naik motor.
Di pertengahan jalan tiba-tiba saja Ghadira merasa kepalanya kembali pusing. Namun, rasanya dua kali lipat lebih sakit dari yang tadi. Bibir Ghadira mengelupas, dan tenggorokannya juga terasa kering, padahal dia belum jauh dari area rumahnya.
Terlihat juga ada beberapa ruam muncul dari lengan Ghadira, bahkan terasa gatal sehingga Ghadira merasa tak tahan. Ghadira kembali menggerakkan kursi rodanya dengan sekuat tenaga. Sampai akhirnya, ia tak bisa mengontrol kursi roda tersebut, sehingga tak sengaja menabrak sebuah batu besar dan berakhir terjatuh.
Beberapa orang yang berlalu lalang pun segera membantu Ghadira yang sudah pingsan.
(◕ᴥ◕)
Kedua mata Ghadira terbuka, dan satu hal yang pertama kali ia lihat ialah atap ruangan rumah sakit. Ghadira menoleh ke samping, dan terlihat ada dokter serta suster juga di sana.
"Dok," panggil Ghadira dengan suaranya terdengar serak.
Dokter dan Suster itu kemudian mendekati Ghadira yang masih terbaring di atas brankar rumah sakit. "Apa ada yang sakit?" tanya Dokter perempuan itu dengan ramah.
Ghadira menggeleng pelan. "Ehm, saya sakit apa ya, Dok? Tiba-tiba kok kepala saya pusing banget."
Dokter dan juga Suster itu langsung membantu Ghadira yang ingin bangun dari tidurnya. Ghadira menyandarkan tubuhnya di bantal.
Dokter memberikan selembar kertas pada Ghadira. "Dari hasil pemeriksaan kami tadi ... mbak terkena penyakit HIV."
Ghadira terbelalak lebar. Mana mungkin ia bisa terkena, melakukannya saja ia tidak pernah. Dokter itu kemudian menyentuh pundak Ghadira sambil membuang napas kasar.
"Seharusnya kamu bisa menjaga tubuhmu agar tetap sehat. Apalagi kamu masih SMA, masa depan kamu masih panjang. **** bebas itu sangat berbahaya, dan kematianlah resikonya."
Ghadira menggeleng, seolah menepis pikiran buruk dokter itu tentangnya. Sekali lagi, Ghadira tidak pernah melakukan perbuatan zina itu. Tapi ... dari ciri-ciri yang Ghadira dapat dari Dokter dan juga internet, semuanya tertuju peda penyakit tersebut.
Muncul ruam? Sakit kepala? Mudah lelah? Ghadira merasakan semuanya.
"Orang yang biasanya terkena penyakit HIV, kalau bukan melakukan hubungan ****, dia pasti sudah tertular. Entah itu karna sesudah sulam alis, bibir, atau pun sehabis menerima transfusi darah."
Ghadira mencoba mengingat-ingat kembali. Dia tidak pernah melakukan sulam atau pun transfusi darah sekali pun.
Ghadira kemudian meminta obat agar penyakitnya itu bisa berkurang. Hal yang membuat Ghadira kembali syok lagi ialah, harga obat tersebut ternyata sangat mahal. Dengan sangat terpaksa Ghadira pun menggunakan uang tabungannya di bank, untuk menebus obat itu.
Ghadira keluar dari rumah sakit dengan raut wajah masam. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, namun Ghadira masih ingin berangkat ke sekolah.
(◕ᴥ◕)

Hari ini semua guru sedang rapat di kantor, karna sebentar lagi akan diadakan ujian kelulusan untuk kelas XII nanti. Ghazwan memilih untuk datang ke Perpustakaan dan melanjutkan kembali aksaranya, seperti biasa.
"Akan ku perkenalkan padamu frasa baru yang belum pernah terucap, jika kau perlakukan aku seperti tanda koma. Terpisah, namun masih bisa berhubungan."
Keadaan Perpus yang sunyi, damai, tak banyak orang membuat Ghazwan lebih fokus lagi dalam menulis. Beruntung dua babunya itu, Ronald dan Syahdan tak ikut dengannya.
Agar feel dari cerita tersebut lebih dapat lagi, Ghazwan pun memutarkan musik dari ponselnya dan disambungkan ke headset.
Di tengah-tengah Ghazwan mengetik, pikirannya langsung tertuju pada Ghadira. Entah kenapa ia ingin sekali bertemu dengan Ghadira. Ghazwan ingin bercerita banyak tentang perkembangan novelnya pada Ghadira.
Kedua sudut bibir Ghazwan seketika terangkat, kala mengingat pertemuan pertamanya dengan Ghadira saat itu. Perpustakaan menjadi saksi utama saat mereka bertemu dengan tak sengaja.
"Ghazwan, anak kelas 12 MIPA 1."
"Aku Lauri, Kak. Dari kelas 11 MIPA 3."
"Namanya Lauri, tapi kok bisa-bisanya gue lebih suka dia dipanggil Ghadira?" tanya Ghazwan pada diri sendiri. Ghazwan terus tersenyum, sembari membayangkan wajah Ghadira ketika tersenyum padanya dengan kedua mata yang hampir tertutupi oleh poni.
Ghazwan melirik laptopnya lama. "Apa gue jadiin Ghadira sebagai pemeran utama ya? Tapi kan, ceritanya udah di tengah jalan. Kalo gue ubah, entar jadi gak nyambung gimana? Huft, bodo deh. Gue selesaiin cerita ini aja dulu, baru buatin Ghadira novel."
Di sini lain ada Ghadira yang tengah tergesa-gesa melewati lorong sekolah. Untuk saja Pak Satpam sedang tak berjaga di depan gerbang, jadi Ghadira bisa menyelinap masuk tanpa ketahuan.
Lorong sekolah tampak terlihat sunyi, membuat Ghadira semakin mempercepat gerakan kursi rodanya. Kalau sudah jam segini, biasanya di kelas Ghadira sudah ada guru yang tengah menjelaskan di depan papan kelas.
Setibanya di kelas, ternyata tak ada guru di sana. Semuanya di luar dugaan Ghadira. Tapi, Ghadira merasa lega karna dirinya tak berurusan dengan hukuman kali ini.
"Eh, Lauri udah dateng. Tumben telat? Jalan kaki ya?" tanya Dara sambil mendekat ke arah tempat duduk Ghadira.
Dara kemudian melirik ke arah Mega dan Wanda. "Ups, sorry! Gue lupa kalo lo gak bisa jalan. Lo kan biasanya ngesot hahah "
Sebagian murid yang ada di kelas tertawa ketika mendengar Dara. Ghadira yang lagi-lagi sudah kebal dengan olokan itu pun hanya bisa diam, lalu menghampiri Mauren yang tengah mencatat sesuatu dari buku latihannya.
"Ren, lagi nulis apa?" tanya Ghadira sembari meletakkan tasnya ke meja.
Mauren menoleh, dapat ia lihat kedua mata Ghadira yang berkaca-kaca karna hinaan Dara tadi. Mauren tadinya ingin membela Ghadira, namun ia masih ingin bersekolah di sekolah ini. Ia tak mau berurusan dengan Dara, dan berakhir dikeluarkan dari sekolah.
"Aku lagi ngerjain tugas biologi. Kamu udah selesai emang?" tanya Mauren dan Ghadira langsung mengangguk.
"Eh Ren, ke Perpus yuk. Nanti ngerjainnya di sana aja, gimana?" ajak Ghadira dengan antusias. Ia ingin meminjam buku dan mengembalikan buku yang telah ia pinjam beberapa hari yang lalu.
"Gak deh, Lau. Aku lagi males keluar. Trus juga kamu tau sendiri kan, kalo aku gak betah kalo lama-lama ada di ruangan ber-AC."
"Ohh yaudah gak papa. Tapi, nanti kalo misalnya ada guru yang masuk, kamu kabarin aku ya. Langsung telpon aku aja, oke?"
"Siap, dilaksanakan!" jawab Mauren sambil memberikan hormat.
Ghadira pun meninggalkan Mauren yang kembali melanjutkan catatannya. Setiba di Perpustakaan hanya ada beberapa murid saja di sana, itu pun sebagian dari mereka hanya bermain handphone, sebab penjaga perpustakaan sedang tidak ada.
Ghadira yang berniat ingin mengembalikan buku pun langsung tertunda. Ia memilih untuk membaca dan mulai menelusuri rak buku.
"Ghadira?" panggil seseorang dari arah belakang. Reflek, Ghadira pun menoleh dan mendapati Ghazwan di sana.
Karna tak ingin berurusan lagi dengan Dara dkk, Ghadira langsung membalikkan tubuhnya dan berniat untuk pergi. Namun, dengan segera Ghazwan menghampirinya dan menahan kursi roda milik Ghadira.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Ghadira."
Ghadira menatap takut ke arah laki-laki itu. "Kalo gak penting mending gak usah, kak. Soalnya aku buru-buru mau ke kelas-"
"Ini penting, Ghadira. Boleh ya? Bicara sama gue bentar aja. Gue janji gak bakal lama kok."
Ghadira mengalah dan ia pun mengikuti permintaan Ghazwan untuk berbicara sebentar. Ghadira sangat berharap sekarang, semoga saja Dara dkk tak melihatnya sedang bersama Ghazwan. Bisa-bisa ia ditindas lagi seperti waktu itu.
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments