Langit tampak terlihat begitu cerah dari biasanya di pagi ini. Orang-orang mulai berlalu lawang menyebrangi jalanan besar untuk menuju ke halte yang sering kali memakan korban tersebut. Banyak rumor yang mengatakan jika di halte itu pernah ada sepasang kekasih yang mengakhiri hidupnya dengan cara menggantungkan diri.
Ghadira yang aslinya memang penakut terhadap sesuatu yang berbau dengan hal mistis pun, ia hanya bisa percaya. Ghadira memainkan ponselnya sembari menunggu Sandy yang akan menjemputnya seperti biasa.
Suara klakson mobil milik Sandy membuat Ghadira terkejut. Ia menampilkan senyum manisnya, kala melihat Sandy menghampirinya dan membantu Ghadira untuk naik ke mobil.
Kejadian dua hari yang lalu saat Sandy memukuli Ghazwan, membuat Ghadira benar-benar harus menjaga jarak dari laki-laki itu. Ia tidak mau jika Ghazwan di pukuli lagi oleh Sandy.
Namun, dihari yang sama ketika kejadian itu terjadi, Sandy kembali mengutarakan perasaannya pada Ghadira.
Ghadira mengangguk pelan. "Aku janji, gak bakal bohong lagi sama kak Sandy."
"Bagus. Gue suka kalo lo nurut gini ke gue."
Gadis itu hanya menganggukkan kepala. Ghadira dapat mendengar hembusan napas yang keluar dari Sandy.
"Gue mau nagih janji lo waktu itu."
Ghadira menoleh dan menatap Sandy yang kini menatap dirinya dengan lekat. Mulutnya terbungkam, sambil meremat jari-jarinya kuat. Sekilas Ghadira menatap Sandy yang kini menampilkan senyum manisnya, sebelum wajah datarnya itu ia tampilkan kembali.
"Harus berapa lama lagi gue harus nunggu, Lau? Gue udah naksir sama lo sejak dulu. Bahkan waktu pertemuan pertama kita waktu itu, gue udah ngerasa nyaman dan cocok banget sama lo. Gue akui gue pengecut, karna baru ngungkapinnya sekarang."
"Please, terima gue buat jadi pacar lo. Gue janji, gue bakal jagain lo dan selalu ada buat lo," lanjutnya, dengan menggenggam kedua tangan Ghadira yang tiba-tiba terasa dingin karna merasa gugup.
"Kak ... " Suara Ghadira terdengar sangat pelan. Bahkan untuk mengucapkan sepatah kata itu pun, ia harus bersusah payah untuk mengeluarkan keberaniannya.
"Jangan nolak gue, Lau. Gue janji bakal jagain lo. Gue janji bakal buat lo seneng. Dan gua juga janji, gue bakal ubah sifat emosian gue ini demi lo."
Ghadira mengerjakan matanya berkali-kali, sembari menatap laki-laki itu dengan serius. Tatapan sendu yang Sandy perlihatkan membuat Ghadira merasa yakin, jika apa yang diucapkan Sandy benar-benar tulus dari hatinya.
Ghadira terbatuk kecil, dan sedikit memperbaiki posisinya sebelum menjawab pernyataan laki-laki itu.
"Yang aku butuhin itu bukan cuma sekedar ucapan, Kak. Tapi juga pembuktian ... " Ghadira menjeda ucapannya sesaat. "Kalo emang kak Sandy serius sama aku, aku bakal terima kakak. Tapi, aku mau hubungan kita ini dirahasiain. Kakak, bisa kan?"
"Bisa, gue bisa!" jawab Sandy cepat. Terlihat raut wajah laki-laki itu tampak senang, dan entah sadar atau tidak, ia mencium punggung tangan Ghadira berkali-kali.
(◕ᴥ◕)
Setibanya di sekolah dengan tepat waktu, Ghadira bersama dengan sahabatnya yaitu Mauren pergi ke lapangan sekolah. Karna, sebentar lagi akan diadakan upacara penaikan bendera merah putih. Ghadira dan Mauren berbaris dibarisan depan, sebab teman-teman sekelasnya tidak ada yang mau berdiri paling depan. Jadilah, Ghadira yang harus mengalah.
"Lauri mah enak, upacara cuma duduk doang." Salah satu temannya mulai menyindir dengan sedikit berbisik.
"Iya. Mau Berjam-jam berdiri pun, kakinya gak bakal pegel tuh sampe upacara selesai." Salah satu dari mereka ikut menimpali sambil menatap Ghadira dengan tatapan tak suka.
"Gue heran, kenapa ya sekolah kita bisa nerima murid cacat kayak Lauri. Jelas-jelas dia kan beda dari kita semua."
Ghadira yang mendengar hal tersebut hanya bisa diam dan tak memberikan respon apapun. Ingin menegur? Mana mungkin. Posisinya kali ini berada di barisan paling depan, dan ia tidak ingin para guru melihatnya mengobrol atau menegur mereka.
Upacara berjalan dengan lancar, bahkan hari ini tumben sekali tidak ada drama ada murid yang pingsan di tengah-tengah kepala sekolah sedang memberikan amanat.
"Lau, temenin gue ke toilet bentar ya," ujar Mauren seraya mendorong kursi roda Ghadira.
"Iya."
Keduanya tiba di depan toilet, Mauren menyuruh Ghadira untuk menunggunya di luar saja. Sambil menunggu sahabatnya, Ghadira memperhatikan sekitar hingga sorot matanya tertuju pada kedua gadis yang kini berjalan ke arahnya.
"Bagus. Baru juga gue mau nemuin lo di kelas, kita udah ketemu di sini ternyata."
Ghadira perlahan memutar kursi rodanya saat kedua kakak beradik itu mendekat ke arahnya dengan tersenyum sinis.
"Eitss, lo mau kemana hah? Urusan kita belum selesai," ucap Dara lalu mencekal lengan Ghadira agar berhenti menggerakkan kursi roda tersebut.
"Kayaknya kita butuh tempat yang bagus buat ngobrol deh," kata Sabina sambil melirik ke arah Dara dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Yuk, biar gue bantuin." Dara meraih kursi roda Ghadira dan mendorongnya meninggalkan area toilet. "Jarang-jarang kan gue baik sama lo. Tapi, kebaikan gue bukan cuma ini sih. Masih ada yang lain, dan gue bakal tunjukkin sisi baik gue yang sebenarnya pas kita sampe," bisiknya, tepat di telinga Ghadira.
Ghadira sesekali melirik Sabina dan Dara secara bergantian. Ia ingin berteriak untuk meminta pertolongan, namun ia sadar bahwa saat ini dirinya tengah berurusan dengan mereka. Orang yang paling diistimewakan di sekolah, dan tak ada murid yang berani dengan mereka berdua.
"Kalian mau bawa aku kemana? Please lepasin aku, aku mau ke kelas," lirih Ghadira ketika mereka sudah berada di depan pintu gudang.
Sabina dan Dara hanya tertawa sinis, dan tak memperdulikan permintaan Ghadira. Mereka terus mendorong kursi roda Ghadira hingga ketiganya tiba di dalam gudang.
Pintu gudang ditutup rapat oleh Dara, sedangkan Sabina mengambil seutas tali yang berada di dalam lemari usang itu. Keduanya mendekat ke arah Ghadira, lalu mengikatnya kuat.
"Kalian berdua mau apa? Please, lepasin aku!" Ghadira terus memberontak agar ikatan itu bisa terlepas.
Plak!
"Banyak tingkah banget sih lo! Diem bisa gak sih?!" bentak Sabina, setelah berhasil melesatkan satu tamparan yang cukup kuat pada pipi Ghadira.
Gadis tak sanggup untuk menahan cairan bening yang akan jatuh dari kelopak matanya. Kedua mata Ghadira berkaca-kaca sambil terus berteriak meminta tolong, dan berharap seseorang datang untuk menolongnya.
"Sampe pita suara lo putus pun, gak bakal ada orang yang datang nolongin lo," ucap Sabina dengan mencengkram pipi Ghadira kuat. "Mending lo diem, dan nikmatin air pel ini."
Byur!
Se-ember air kotor bekas pel tersebut langsung ia tumpahkan dari atas kepala Ghadira. Tercium bau busuk yang mulai menyeruak masuk di penciuman, dan kedua kakak beradik itu langsung menutup hidungnya masing-masing.
Ghadira hanya bisa menangis tersedu-sedu, semuanya terlambat. Seragam miliknya sudah basah kuyup, begitu pun dengan rambutnya yang saat ini ia kuncir satu.
Setelah puas menyirami Ghadira dengan air pel, Sabina beralih menarik telinga Ghadira kuat. "Ini tuh cocok buat cewek budek kayak lo. Udah berapa kali gue peringatin hm, JAUHIN GHAZWAN! Lo kenapa masih deket-deket sih sama dia? Mau ganjen lo, hah?!"
Ghadira merasa telinganya semakin ditarik kuat oleh Sabina. Ia terus meminta mohon agar dilepaskan, namun keduanya seolah tuli dan tak memperdulikan tangisan Ghadira.
"Gue ingetin baik-baik, jangan pernah lo deketin Ghazwan lagi. Ngerti?!" tekan Sabina lalu mendorong tubuh Ghadira kuat hingga terpental ke dinding.
"Dar, pegang dia!" suruh Sabina dan adiknya langsung mengangguk patuh.
"Aku mohon kak, lepasin aku. Aku janji gak bakal deket-deket lagi sama, kak Ghazwan." Ghadira terus berusaha memberontak dengan sekuat tenaga.
"Gak semudah itu," balas Sabina sambil tersenyum miring.
Plak!
Satu tamparan kuat mendarat pada pipi kanan Ghadira hingga meninggalkan bekas merah di sana.
Plak!
Tamparan itu lagi-lagi ia layangkan tepat di pipi kiri Ghadira hingga tubuh gadis itu sedikit terhuyung ke samping.
Plak!
Sabina dan Dara menampar Ghadira secara bergantian. Setelah puas menamparnya, Sabina menarik seragam Ghadira yang sudah basah itu agar duduk di lantai dengan posisi kedua kaki selonjoran ke depan.
Paha Ghadira kemudian diinjak kuat oleh Sabina.
"Arghh ... sakit, kak! Please, berhenti! S-sakit ... " jerit Ghadira, dengan kedua pipinya yang sudah basah karna air mata.
"Anggap ini peringatan terakhir dari gue! Kalo sampe lo masih deketin Ghazwan, lo bakal habis sama gue!" ancam Sabina, menatap Ghadira dengan begitu tajam.
Sabina dan Dara lalu pergi meninggalkan Ghadira di gudang sendirian. Ghadira lagi-lagi hanya bisa meratapi nasibnya. Sekuat tenaga ia berusaha agar bisa menduduki kursi rodanya lagi, namun rasanya itu sangatlah sulit. Terlebih lagi kakinya terasa nyeri akibat ulah dari Sabina tadi.
"T-tolong ... " Dengan suara lirih Ghadira berusaha meminta pertolongan.
"Mauren ... tolong ... "
"Siapa pun tolong aku ... " Ghadira hanya bisa menangis pilu, keadaannya benar-benar menyedihkan sekarang.
"Kak Sandy, tolongin aku ... "
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments