Hii! happy reading🖤
"Ghadira ... belakangan ini namamu terus berputar dipikiran ku. Kehadiranmu, tentu membuat hidupku lebih berwarna bagaikan pelangi."
Aghazwan C.A
Pukul 7 malam, Ghazwan duduk termenung di balkon rumah sembari menatap bintang-bintang yang begitu indah menghiasi langit. Pikiran Ghazwan terus mengarah pada sosok perempuan yang belakangan ini terus bergelandangan di ingatannya. Sang pemilik lesung pipi, dan poni sebatas kelopak mata yang mampu membuat seorang Ghazwan terus tersenyum ketika mengingatnya.
Ghadira dengan tak tau dirinya berhasil mendobrak isi hati Ghazwan yang sempat membeku itu. Bergentayangan ke sana kemari, dan perlahan membuatnya sedikit melupakan kejadian kelam beberapa minggu yang lalu.
Entah mengapa, memikirkan Ghadira membuat sudut bibir Ghazwan tertarik ke atas. Ia terus memandangi secarik kertas yang berada di tangannya, sembari menikmati alunan musik dari handphone miliknya.
Tok tok tok!
Terdengar suara ketukan pintu beberapa kali. Ghazwan beranjak dari kursi dan segera membuka pintu kamar. Terlihat Karin berdiri dengan mukena biru tua bermotif bunga-bunga masih ia kenakan. Sepertinya Oma baru saja selesai salat isya.
"Kenapa, Oma?" tanyanya, seraya memperbaiki kacamata yang hampir melorot itu.
"Di bawah ada anak perempuan, katanya temen sekolah kamu," jawab Karin.
Kening Ghazwan berkerut bingung. "Temen?"
"Iya. Sekarang kamu temuin, dia udah nunggu di ruang tamu."
•
•
•
Ghazwan dibuat heran dengan Sabina. Bagaimana dia bisa tau alamat rumahnya? Dan apa tujuannya datang malam-malam begini? Jika memang ada urusan penting, tidakkah ia mengatakannya lewat SMS saja. Bukan apa-apa. Ia takut para tetangga melihat kedatangan Sabina, dan mulai menyebarkan gosip yang aneh-aneh tentangnya.
"Gue dapet alamat rumah lo dari, Ronald. Soalnya kan ini malam minggu ya, dan gue gak tau mau ngapain. Jadi, gue berinisiatif buat ngajak lo jalan-jalan. Tenang deh, malam ini gue yang bakal traktir lo makan enak. Lo mau kan?" cerocos Sabina, setelah Ghazwan melemparkan banyak pertanyaan padanya.
Dengan sedikit tak enak hati, Ghazwan tersenyum canggung. "Sebelumnya makasih buat niat baik lo. Tapi, gue udah kenyang. Gak lama lo datang tadi, gue sama Oma udah makan. Jadi, gue gak bisa iyain ajakan lo barusan."
Terlihat mimik wajah Sabina yang awalnya tersenyum, kini berubah masam. Sebenarnya bisa-bisa saja Ghazwan mengiyakan permintaan perempuan itu. Akan tetapi, berduaan dengan seorang perempuan membuatnya sedikit tak nyaman.
Terkecuali, Ghadira?
Tak lama dari itu, Karin datang menghampiri kami berdua. Wanita tua tersebut membawa sebuah rantang di tangannya. Ia kemudian menyodorkannya padaku.
"Ghazwan, Oma minta tolong kamu bawa rantang ini ke rumahnya, Ronald. Tadi Irma telpon Oma, dan dia bilang lagi ngidam mau makan sup buatan Oma. Kamu bawa ya."
Irma merupakan kakak perempuan Ronald yang saat ini tengah hamil muda. Kehamilannya sudah memasuki satu bulan lebih. Di rumah Ronald hanya tinggal berdua bersama sang kakak, sedangkan orang tua mereka berada di luar kota. Begitu pun dengan suami Irma sendiri, laki-laki itu hanya akan pulang seminggu sekali karna pekerjaannya yang juga berada di luar kota.
Sekilas Ghazwan melihat Sabina tersenyum senang ke arahnya. "Biar aku temenin ya, Ghazwan. Boleh kan, Oma?" tanya Sabina, pada Karin yang sedari tadi tengah tersenyum.
Karin mengangguk, dan itu membuat Ghazwan lengah. "Yaudah, kalo gitu kita pergi ya, Oma," ucapnya, lalu pamit pada wanita tua yang berada dihadapannya itu.
(◕ᴥ◕)
Lira terus mendorong kursi roda milik sang kakak menuju warung nasi goreng yang berada tak jauh dari rumah mereka. Fia menyuruh Ghadira untuk membelikannya nasi goreng, namun karna tak tega, Lira pun ikut menemani.
Ghadira menggosok-gosok kedua telapak tangannya karna merasa kedinginan. Angin malam kali ini seolah-olah menusuk kulitnya yang sudah dibaluti oleh jaket.
"Kan udah kakak bilang, kamu di rumah aja. Biar kakak yang pergi ke warung," ucap Ghadira, karna merasa tak enak pada adiknya.
Lira hanya menyengir, keduanya sebentar lagi akan sampai di warung tersebut yang saat ini sudah terlihat depan mata.
Bahan masakan di rumah telah habis, maka dari itu Fia menyuruhnya untuk membeli nasi goreng saja.
"Nasi gorengnya 3 porsi, dibungkus ya kak," ucap Ghadira, kepada sang pemilik warung.
Sembari menunggu pesanan mereka selesai, Ghadira serta adiknya menatap langit yang tampak indah malam ini. Ghadira tersenyum, matanya terpejam kala melihat ada bintang jatuh. Mungkin tidak ada salahnya jika ia meminta permohonan.
Tuhan, tolong pertemukan aku lagi dengan Papa.
Singkat saja, hanya itu permohonan Ghadira.
Dari kejauhan, Ghazwan melihat Ghadira yang berada di depan warung yang akan ia lewati nantinya. Segera ia menghampiri Ghadira yang membuat Sabina langsung bertanya. "Kok ke sini? Lo mau beli nasi goreng?"
Ghazwan menoleh sekilas pada Sabina, lalu turun dari motor. "Iya. Gak tau kenapa, tiba-tiba mau makan nasi goreng. Lo gak papa kan, kalo nunggu bentar?"
Sabina mengangguk antusias. "It's okey."
Ghazwan hanya manggut-manggut, ia lalu memanggil nama Ghadira, hingga perempuan itu menoleh dan tersenyum ke arahnya.
"Ghadira!!"
Sabina yang mendengar Ghazwan memanggil nama perempuan pun, langsung menatap ke arah dimana mata laki-laki itu tertuju. Rahang Sabina mengeras, kedua tangannya mengepal kuat kala melihat orang yang ia taksir ternyata terlihat begitu dekat dengan adik kelasnya.
"Cewek itu bukannya temen kelas, Dara?" gumam Sabina, lalu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya.
Tiba-tiba Sabina mempunyai ide licik untuk perempuan yang tengah mengobrol asik dengan Ghazwan. Ia menyunggingkan senyumnya, lalu menghampiri mereka.
"Kak Ghazwan, kok bisa ada di sini?" tanya Ghadira, heran.
"Ehm ... Gue tadi habis ke rumah Ronald, trus gak sengaja liat lo di sini. Makanya mampir bentar," sahutnya, membuat Ghadira beroh-ia.
"Oh iya, kenalin Kak. Ini adik aku, namanya Lira. Lira kenalin, ini Ghazwan senior kakak di sekolah."
Keduanya pun berkenalan.
(◕ᴥ◕)
Setibanya Ghazwan di rumah Irma dan mengetuk beberapa kali pintu tersebut, Irma pun keluar dan membukanya. Ia segera mempersilahkan Ghazwan beserta perempuan yang berada di belakangnya untuk duduk.
"Ini teh, sup-nya," ucap Ghazwan, sembari menyodorkan rantang tersebut pada Irma.
Ibu hamil itu terlihat begitu semangat ketika meraih rantang yang diberikan Ghazwan. "Wah, makasih ya kamu udah mau bawain sup ini. Titip makasih juga buat, Oma. Maaf, teteh belum bisa main ke rumah, Oma. Lagi sibuk soalnya."
"Iya. Nanti, Ghazwan sampein ke Oma."
Tatapan Irma langsung tertuju pada Sabina yang kini berada di samping Ghazwan. Mungkin ia sedang bertanya-tanya, siapa perempuan yang datang bersamanya itu.
"Ini siapa kamu, Ghazwan?" tanya Irma, dan Sabina yang tadinya tengah memperhatikan beberapa barang antik terpajang di meja, sontak menatap Irma.
"Saya temen kelasnya, Ghazwan kak." Sabina mengulurkan tangannya berniat untuk berkenalan, dan Irma pun membalasnya.
Kedua perempuan itu sesekali tertawa ringan kala mendengar cerita lucu dari Irma tentang Ghazwan saat masih kecil. Berbeda dengan Ghazwan, ia hanya acuh tak peduli. Ghazwan hanya bingung, sebab sedari tadi tidak melihat keberadaan Ronald. Entah dimana sepupu laknatnya itu berada.
"Ronald, kemana teh?" tanya Ghazwan, sontak obrolan kedua perempuan itu langsung terhenti.
"Biasa, paling lagi main game di kamarnya."
"Kalo gitu gue ke kamar Ronald ya. Sabina, Lo ngobrol-ngobrol aja dulu di sini. Gue mau temuin Ronald bentar." Ghazwan pun meninggalkan mereka dan segera naik ke tangga, menuju kamar Ronald.
Mata Ghazwan melirik sekitar, hingga nampak terlihat jelas ada foto keluarga besar yang terpajang sempurna di dinding. Sorot matanya menangkap kedua pasangan suami istri, dan dua bocah laki-laki yang tengah tersenyum lebar kala itu.
Melihatnya sungguh membuat dada Ghazwan seperti ditimpa batu berat. Kepergian mereka bertiga tentu menyisakan luka yang begitu dalam untuk Ghazwan dan keluarga lainnya.
Tanpa sadar mata laki-laki itu mulai berkaca-kaca. Kejadian beberapa minggu yang lalu kini kembali terekam jelas dipikirannya.
Kedua orang tua Ghazwan, serta adik laki-lakinya meninggal dengan keadaan tragis. Mereka mengalami kecelakaan saat ingin mengantar Devan-adik Ghazwan ke sekolah.
Ghazwan yang saat itu sudah lebih dulu berada di sekolah, tiba-tiba harus mendapat kabar yang begitu menyayat hati. Adiknya yang masih berumur 11 tahun, begitu pula dengan kedua orang tuanya meninggal dunia di tempat.
"Muka lo kenapa kayak gitu?" tanya Ronald ketika mengetahui jika Ghazwan yang masuk ke kamarnya.
Ghazwan menatap sepupunya itu dengan tajam, membuat konsentrasi Ronald terganggu saat sedang asyik-asyiknya bermain game dari komputer miliknya.
"Duduk dulu, duduk!" titah Ronald dan Ghazwan pun mematuh. Ia duduk di pinggiran ranjang dan bersiap mengintrogasi laki-laki itu.
"Lo yang ngasih alamat rumah gue ke, Sabina?"
Dengan tatapan yang masih fokus pada layar komputer, Ronald mengangguk. "Iya, gue yang ngasih. Kenapa emang? Mau ngomong makasih?"
"Pede banget. Gue justru mau ngehajar lo sekarang, karna udah ngasih tau alamat rumah Oma ke orang lain. Untuk nomor telpon yang lo kasih ke Sabina waktu itu, gak papa lah. Tapi ini, alamat? Gue ngerasa gak nyaman tau gak, pas dia datang ke rumah malam-malam gini."
Ronald bukannya merasa bersalah malah terkekeh pelan. Ia kemudian menatap sepupunya. "Come on, Ini Jakarta, Wan. Harusnya lo seneng karna ada cewek yang naksir sama Lo. Apalagi ceweknya, Sabina. Dia itu udah cantik, kaya, terkenal di sekolah pula."
Ghazwan memutar bola matanya lengah, ia kemudian berdiri dari duduknya. "Jadi, menurut lo perempuan yang punya paras cantik itu, baik?"
Kedua bahu Ronald terangkat bersamaan. "Ya lo liat aja. Muka dia cantik, gimana sama hatinya."
Ghazwan tersenyum singkat. "Gak semua perempuan cantik itu baik, Nal. Percuma kan kalo mukanya cantik, tapi hatinya enggak."
Ronald merangkul pundak Ghazwan lalu menatapnya dengan sinis. "Jangan muna, Wan. Gue tau lo demennya juga sama cewek cantik kan?"
Ghazwan melepaskan rangkulan tersebut. "Gue bukan lo yang mandang perempuan dari fisiknya aja."
Mata Ronald menyipit, ia memandang Ghazwan penuh kecurigaan. "Lo ... gay?"
Sontak Ghazwan yang mendengarnya pun langsung terbelalak lebar. "Enggaklah! Gila aja, masa gue naksirnya sama cowok."
"Ya terus, lo kenapa gak mau di deketin sama cewek?"
Ghazwan menghela nafasnya kasar. "Bukannya gak mau, tapi risih aja."
"Alah, alesan," cibir Ronald tak percaya. Ia kembali menatap Ghazwan dengan curiga. "Lo gak naksir sama gue kan?" sambungnya, membuat kedua mata Ghazwan terbelalak.
"Bacot lo!" geram Ghazwan
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments